Bel sekolah berbunyi dengan nyaring. Menandakan bahwa
pelajaran terakhir di Sma Northville telah berakhir. Jenna dengan gerak mata
lemah memandang teman-temannya mulai mengemasi buku-buku mereka. Tapi ia masih
terdiam, merasa begitu cemas ketika sedetik lagi ia harus keluar dari
sekolahnya itu.
Jenna tidak pernah merasakan
kecemasan untuk pulang sekolah seperti ini sebelumnya. Kejadian yang terjadi
pada hari ulang tahunnya beberapa minggu yang lalu seolah menjadi semacam
katalis, kenapa kini ia begitu enggan untuk meninggalkan tempat yang ia anggap
begitu nyaman itu.
Kecemasannya bukan tanpa alasan.
Selama beberapa minggu, ia merasa seperti ada yang mengawasinya ketika ia
pulang dari sekolah. Mungkin kecemasannya ini tak beralasa, namun ia sangat
yakin bahwa ada seseorang yang diam-diam selalu mengawasinya dari kejauhan.
Seseorang, yang bukan murid sekolahannya, dan juga bukan seseorang yang ia
kenal.
“Kenapa denganmu? Kau tidak
mau pulang?” tanya Mary, salah satu teman yang duduk dekat dengannya. Jenna
hanya membalas dengan senyuman tipis, seraya meraih buku-bukunya dan
memasukkannya ke dalam tas. Dengan gerak perlahan, seolah ingin terus berada di
kelas itu, Jenna pun akhirnya melangkah pergi.
Ia bergerak cukup pelan.
Bahkan kini tinggal ia sendiri yang berjalan di koridor yang akan membawanya
keluar dari gedung sekolahannnya itu. Untuk sesaat ia berhenti tepat di samping
sebuah jendela, dan memandang ke arah pintu gerbang sekolah. Disana yang
terlihat hanyalah puluhan murid lain yang bergerak keluar dari area sekolah.
Namun Jenna merasa bahwa diantara puluhan orang itu, ada seseorang yang telah menunggunya.
Jenna awalnya mengira bahwa
ketakutannya itu hanya berasal dari perasaannya saja. Sebuah ketakutan yang
tidak beralasan, dan terdengar cukup konyol. Ia berpikir begitu, paling tidak
hingga seminggu yang lalu. Saat itu ia tengah melakukan olahraga di lapangan
sekolahan, ketika ia melihat dengan jelas ada seorang pria dalam balutan mantel
berdiri tak jauh dari dinding sekolah. Awalnya ia mengira hanya orang biasa.
Namun saat ia pulang dari sekolah, ia kembali melihat orang yang sama, yang
terus mengawasinya itu.
Mulai sejak saat itu, Jenna
ini selalu wasapada dengan keadaan di sekelilingnya. Ia terus mengamati sekitarnya
ketika ia keluar dari gedung sekolah, sama seperti saat ini. Ia bergerak cepat,
berusaha untuk berjalan bersama rombongan murid lainnya. Namun hal itu hanya
dapat ia lakukan hingga gerbang sekolah. Selepas itu, ia harus berjalan
sendirian pulang ke rumahnya.
Jenna menrik nafas
dalam-dalam sesaat sebelum ia melangkahkan kakinya keluar dari area sekolah.
Kedua matanya memandang cepat ke beberapa tempat, mencoba mencari sosok
bermantel itu. Dan ia dapat bernafas lega ketika ia tidak menemukan keberadaan
pria misterius itu. Untuk sesaat, ia merasa bahwa perjalanan pulangnya akan
mulus. Tapi…
Jenna baru berjalan kurang
lebih lima ratus meter dari sekolahnya ketika perasaannya menjadi tidak tenang.
Jantungnya kembali berdegup kencang, dan seolah ada orang yang berbisik di
telinga, memperingatkan bahwa penguntitnya itu telah kembali.
Jenna mencoba untuk memutar
kepalanya, melihat ke arah belakang. Dan seketika kedua matanya membesar, saat
ia dengan jelas melihat kembali sosok misterius yang selalu mengikutinya itu.
Seorang pria berbadan besar dengan balutan mantel. Wajahnya tidak begitu
terlihat karena pria itu memakai topi dan masker. Hal-hal tersebut sepertinya
sudah cukup mayinkan bagi Jenna untuk mengecap pria itu sebagai pria yang
berbahaya. Dan tanpa pikir panjang, ia pun berlari.
Ia sampai di rumah dengan
nafas tersengal-sengal. Yang membuat ibunya mengernit heran dengan tingkahnya.
“Kau tidak apa-apa?” tanya
ibu Jenna. Jenna hanya menganggukkan kepalanya, meski ia tahu bahwa keadaannya
tidak sebaik apa yang ia sebutkan. Setelah melepas sepatu, ia bergerak ke arah
jendela dan memandang ke arah jalanan. Apakah pria itu masih mengikutinya?
Tidak. Pria itu sudah menghilang seperti asap.
Kenapa Jenna tidak pernah
membicarakan masalah ini dengan kedua orang tuanya? Jawabannya cukup mudah.
Orang tua Jenna adalah tipe orang tua yang hanya sedikit peduli dengan anak
mereka. Bukan contok orang tua yang baik. Dan Jenna malas untuk membahas hal
yang mengganggu pikirannya itu, jika yang ia dapatkan nantinya hanyalah sebuah
anggukan tak berarti.
Meski begitu, kedua orang
tua Jenna sepertinya sadar dengan perubahan sikapnya. Jenna lebih banyak dia
saat makan malam, karena selalu memikirkan sosok misterius itu. Kenapa sosok
itu mengikutinya? Siapa sebenarnya sosok itu?
“Kau terlihat tidak sehat.”
Ucap ayahnya saat makan malam. “Kau sakit?”
“Apa pedulimu?” balas Jenna
kesal. Sudah berulang kali orang tuanya bertanya, namun rasanya tidak
benar-benar peduli.
“Jenna! Begitukah caramu
berbicara di depan ayahmu?” sentak ibunya sedikit emosi. Jenna yang kesal
dengan segera mendorong piringnya yang masih separuh penuh dan berlari ke arah
kamarnya.
“Dasar orang tua tidak
berguna!” gumam Jenna kesal. Ini bukanlah pertama kalinya Jenna kecewa dengan
kedua orang tuanya. Sudah berkali-kali terjadi. Saat ia terjatuh dalam masalah
dan meminta pertolongan, kedua orang tuanya selalu mementingkan adiknya, Josh,
yang beberapa tahun lebih muda darinya. Seolah Jenna sudah tidak berarti lagi
di dalam keluarga itu. Dan sejak saat itu, Jenna bersumpah bahwa ia tidak akan
meminta pertolongan lagi pada kedua orang tuanya.
Namun ia berada dalam dilema
juga saat ini. Bagaimana ia bisa keluar dari permasalahan penguntit itu jika ia
tidak mau membicarakannya dengan kedua orang tuanya? Jenna tidak tahu apa yang
harus ia lakukan. Ia bergerak ke arah jendela setiap malam, untuk memastikan
pria mencurigakan itu tidak menunggu di depan rumah. Setelah itu, barulah ia
bisa pergi tidur dengan tenang.
Pagi yang sama selalu
dimulai dengan sebuah rutinitas yang sama. Sebuah kekacauan di dalam rumah.
Ayah Jenna selalu terburu-buru seperti orang kebakaran jenggot, dan ibunya
selalu sibuk mempersiapkan Josh untuk pergi ke sekolah. Jenna hanya dapat duduk
di meja makan sambil memakan roti lapisnya yang terasa begitu hambar. Inikah
keluarga yang sesungguhnya?
Jenna pun mendapatkan
kecemasan saat ia harus berjalan lagi ke sekolahnya yang memang terletak tak
begitu jauh. Ia harus selalu mengawasi sekitarnya, memastikan pria misterius
itu tidak muncul lagi. Dan seperti bisanya, pria aneh itu tidak pernah muncul
di pagi hari.
Jenna kadang merasa takut
untuk pergi ke sekolah. Ia sudah pernah meminta ayahnya untuk mengantarkannya
ke sekolah, tapi…, Jenna sudah dapat menebak apa jawaban ayahnya.
“Tidak terlalu jauh. Jalan
kaki saja. Ayah sibuk.”
Jenna hanya dapat mendengus.
Ia tinggal bersama orang-orang yang ia sayangi, namun ia merasa seperti hidup
sendirian. Barulah ketika ia bisa sampai di sekolah dan bertemu kembali dengan
teman-temannya, ia baru bisa merasa hidupnya sempurna. Dan untuk sesaat,
kecemasannya mengenai sosok misterius itu menghilang.
Jenna tentu saja juga sudah
menceritakan mengenai apa yang ia takuti itu pada teman-temannya. Dan respon
yang ia dapatkan lebih bagus bila dibandingkan dengan respon kedua orang
tuanya.
“Tidakkah kau mau
melaporkannya?” tanya salah seorang teman Jenna saat di kelas.
“Entahlah. Mungkin.” Jawab
Jenna. “Selama ini memang ia belum melakukan tindakan aneh terhadapku. Mungkin
jika ia berbuat demikikan…”
Namun sepertinya tinggal
menunggu waktu saja hingga pria misterius itu melakukan hal yang aneh dan
mencurigakan. Hari itu Jenna berolahraga di luar kelas seperti biasanya. Dan
alangkah kagetnya ia ketika ia menyadari bahwa pria itu lagi-lagi mengawasinya
dari balik pagar.
Jenna langsung melaporkan
hal ini pada guru kelas olahraga. Dan guru itu sepertinya berhasil mengusir
pria mencurigakan itu dari area sekolah.
“Kau kenal dengannya?” tanya
guru itu pada Jenna setelah kelas usai.
“Tidak.” Jawab Jenna. “Tentu
saja tidak.”
Ketika bel tanda pelajar
terakhir kembali berbunyi, kecemasan Jenna kembali meluap seperti arus pasang
di dalam dadanya. Ia bisa saja meminta salah satu temannya untuk menemaninya
pulang. Namun sialnya, hari itu teman-temannya memiliki agenda lain setelah
sekolah. Yang memaksa Jenna untuk sekali lagi berjalan pulang sendirian.
“Seandainya saja ada yang
menjemputku.” Pikir Jenna.
Jenna kembali merasakan ketegangan
yang luar biasa ketika ia keluar dari area sekolah. Teman itu ramai dengan
orang, tapi entah kenapa ia merasa begitu kesepian. Seolah ia sudah berteriak
keras namun tidak ada yang menolehkan kepala.
Jenna, dengan jantung masih
berdegup kencang, kembali bergerak menyusuri trotoar yang akan mengantarnya ke
rumah. Dan ketika ia menoleh ke belakan…
Pria itu berdiri tidak
begitu jauh darinya. Seorang pria bermantel yang memakai masker di wajahnya.
Sorot kedua mata pria itu menunjukkan bahwa pria itu tidak memiliki niat baik.
Pria itu memicing, dan dengan perlahan bergerak mengikuti Jenna.
Jenna mempercepat
langkahnya. Sialnya ia saat itu berada di kawasan perumahan yang sedikit sepi.
Tidak ada gunanya berteriak dalam keadaan seperti itu. Ia malah hanya akan
membuat pria bermasker itu menjadi beringas.
Langkah Jenna rasanya secepat
detak jantungnya. Ketika ia membelok di tikungan jalan, Jenna kembali mencoba
melirik ke arah penguntitnya itu. Dan…, ya. penguntitnya itu masih membuntut di
belakang. Jenna yang sudah merasa tidak tahan dengan perasaan takut itu segera
saja berlari. Tepat ketika ia mendengar namanya diserukan oleh pria bermasker
itu. Apa artinya? Apakah pria itu sudah cukup lama mengincarnya?
“Kenapa kau selalu
terengah-engah seperti itu?” tanya ibunya ketika Jenna sampai di rumah. Jenna
yang awalnya tidak mau menjelaskan apapun pada kedua orang tuanya, kini merasa
sudah putus asa. Ia akhirnya menceritakan sola penguntitnya itu pada ibunya.
“Kau yakin?” tanya ibunya
dengan sikap kurang percaya seperti biasa. Jenna bisa saja meledak marah saat
itu juga. Namun ia masih dapat menahannya, dan mencoba menjelaskan masalahnya
lebih terperinci.
“Sejak kapan kau melihat
pria itu?” tanya ibunya. Yang anehnya, kini bersikap lebih peduli dari
biasanya. Apakah Jenna sedang beruntung?
“Sejak aku mengadakan pesta
ulang tahun di kafe beberapa minggu yang lalu.” Jawab Jenna. “Pria itu muncul
beberapa hari setelahnya. Dan sejak saat itu, ia terus membuntutiku. Bahkan
hari ini. Dan dia tahu namaku!”
Jenna merasa sedikit lega
setelah mengeluarkan apa yang ada di pikirannya, ayng sempat terpendam selama
beberapa waktu. Untuk pertama kalinya ia merasa senang saat ibunya itu mau
mendengarkan ceritanya dengan serius.
“Kita bicarakan hal ini
dengan ayah nanti.” Ucap ibunya. “Kini aku harus menjemput adikmu dari
sekolah.”
“Apa?!”
Jenna hampir saja tidak
mempercayai apa yang ia dengar. Ibunya itu akan pergi meninggalkannya sendirian
setelah apa yang ia ceritakan?
“Tidak akan lama.” Ucap
ibunya seraya bergerak keluar dari rumah.
Kecemasan yang Jenna rasakan
dtang kembali dengan cepat. Ia sendriian di rumah, tanpa ada seseorang yang
menemaninya. Ia tidak pernah merasa setakut ini dalam hidupnya. Bagaimana jika
pria itu sampai mencoba menerobos masuk ke dalam rumah?
Suara mesin mobil menjauh,
menandakan bahwa ibunya sudah pergi dari kawasan itu. Jenna dengan cepat
mengarah ke pintu depan, lalu dengan cepat memutar kuncinya. Ia juga memeriksa
semua jendela dan pintu belakang. Semua terkunci. Bagus.
Dengan langkah cepat Jenna
mengarah ke kamarnya yang terletak di lantai dua. Ia juga mengunci jendela
kamarnya. Meski ia yakin penguntit itu tidak akan bisa terbang hingga ke lantai
dua. Dari balik kaca, ia memperhatikan ujung jalan tempat dimana ia tadi
terakhir kali melihat pria bermasker itu. Kini pria itu sudah hilang.
Jenna menghembuskan
nafasnya. Namun ia belum merasa lega. Di tangan kanannya ia memagang sebuah
tongkat baseball. Berjaga-jaga seandainya pria itu muncul dan masuk ke dalam
rumah. Namun hingga ibunya kembali, sosok itu tidak juga muncul.
“Benarkah apa yang kau
katakan, Jenna?” tanya ayahnya saat makan malam. “Itukah sebabnya kau terlihat
berbeda akhir-akhir ini?”
“Memang begitu.” Jawab Jenna
lirih. Ia memainkan makanan di piringnya dengan garpu.
“Kenapa kau tidak menceritakannya
pada kami?” tanya ibunya cepat. “Aku dan yahku mungkin…”
“Karena kalian sepertinya
tidak peduli.” sahut Jenna cepat. “Setiap kali aku bercerita kalian hanya
menanggapiku dengan entang, dan benar-benar tidak…, apa untungnya?”
“Jenna…” ucap ibunya lagi.
Kali ini ibunya mencoba untuk meraih tangan Jenna.
“Kami peduli padamu.”
Lanjutnya. “Hanya saja akhir-akhir ini aku dan ayahmu banyak pekerjaan yang
menyita waktu dan pikiran kami…, mungkin itu sebabnya kami terlihat begitu
dingin padamu.”
“Itu benar, ratu kecil.”
Sahut ayahnya. Jenna seketika mengangkat wajahnya. Ayahnya sudah lama tidak
menggunakan kata ‘ratu kecil’ padanya. Mungkin sejak ia masih tk. Dan kini
Jenna merasa sudah cukup tenang, karena kini ia tahu bahwa kedua orang tuanya
masih peduli dengannya.
“Lalu bagaimana dengan
penguntit itu?” tanya Jenna kemudian. “Dia menggangguku. Aku tidak bisa tennag
di sekolah, atau saat tidur…”
“Kita akan melaporkannya
pada polisi.” Ucap ayahnya. Yang membuat Jenna merasa begitu tenang dan damai.
Paling tidak, untuk saat itu.
**
Jenna seharusnya sudah dapat
tidur dengan tenang malam itu mengingat ia sudah menceritakan kegelisahannya
pada kedua orang tuanya. Namun kenyataannya, ia tidak bisa tidur.
Jarum jam menunjukkan pukul
sepuluh malam, dengan keadaan sudah sangat sepi. Hujan turun di luar, dengan
petir beberapa kali menyambar. Membuat Jenna semakin cemas dan tidak bisa
tidur.
Jenna akhirnya bangkit ke
posisi duduk. Kedua matanya benar-benar tidak bisa tertutup untuk malam itu,
entah karena apa. Padahal besok pagi ia ada tes di sekolahnya, dan ia harus
datang pagi.
Jenna bergerak melewati
jendelanya yang terbuka tanpa tirai, mencoba mengarah ke meja untuk minum air,
saat tiba-tiba saja kilat menyambar. Dan dalam waktu sepersekian detik itulah
Jenna melihat sosok itu berdiri di depan rumahnya.
Mata Jenna membelalak, dan
tubuhnya terasa kaku. Pria dalam balutan mantel dan masker itu, berdiri di
tengah hujan, memandang lurus ke arah rumahnya. Ya. Akhirnya situasi yang Jenna
takutkan itu terjadi juga.
Jenna langusng saja berlari
keluar dari kamarnya dan langusng mengarah ke kamar kedua orang tuanya. Dengan
nafas memburu, Jenna langsung mengatakan bahwa pria misterius itu ada di depan
rumah.
Ayahnya langsung merespon
dengan cepat. Ia dan Jenna bersama-sama turun ke lantai satu yang masih gelap,
lalu mengarah ke jendela. Jenna saat itu juga sudah membawa tongkat
baseball-nya lagi. untuk berjaga-jaga. Namun ketika mereka mengintip ke arah
jalan…
Hilang. Sosok itu telah
menghilang seperti asap!
“Tidak mungkin!” ucap Jenna.
“Baru beberapa menit yang lalu aku melihatnya tepat di dekat kotak pos!”
“Mungkin dia mulai mengitari
rumah ini.” Ucap ayahnya. Yang membuat Jenna semakin panik.
“Jangan turun!” ucap ayahnya
pada ibunya yang berdiri di pncak tangga. “Tetap disana dan temani Josh!”
Jenna tidak tahu lagi apa
yang harus ia lakukan saat itu. Ia hanya bisa menguntit ayahnya, sambil
berharap pria misterius itu tidak menerobos masuk ke dalam rumah dan melakukan
serangan yang membabi buta.
Jenna dan ayahnya memeriksa
beranda belakang, namun juga tidak terlihat adanya sosk misterius itu. Hujan
masih turun dengan deras. Namun bagian halaman belakang rumah tidak ada satupun
jejak manusia. Apakah mungkin sosok itu sudah pergi?
“Sebaiknya kita lapor
polisi.” Ucap ayah Jenna.
Keluarga kecil itu tidak
bisa tidur hingga pukul empat pagi. Semua orang, termasuk adik Jenna Josh,
duduk di meja makan sambil berharap bahwa keadaan cukup aman bagi mereka untuk
kembali tidur. Tetapi ketakutan masih merayapi tubuh setiap orang yang ada di situ.
“Polisi akan segera
menangani pria bermasker itu.” Ucap ayah Jenna. “Deskripisimu itu benar, ‘kan,
Jenna?”
“Ya.” jawab Jenna. “Pria
tinggi, dengan tubuh besar, bermasker, dan selalu memakai mantel tua itu.”
“Bagaimana polisi
menanggapinya?” tanya ibu Jenna.
“Tidak bagus.” Jawab ayah
Jenna. “Mereka mengatakan bahwa ada salah satu pelarian dari penjara. Mungkin
pria itu…”
“Tapi apa hubungannya dengan
Jenna?” tanya ibunya cepat. “Apakah pria itu memiliki gangguan mental, dan
mengincar Jenna untuk…, aku tidak percaya aku mengatakan hal ini.”
“Polisi akan segera
mengurusnya.” Ucap ayah Jenna lagi. “Dan besok, aku akan mengambil cuti. Aku
akan mengantarkan Jenna sampai sekolah.”
Jenna dapat merasa tenang
dengan keputusan ayahnya itu. Dan benar saja, selama seminggu, ayah Jenna
selalu mengantar dan menjemput Jenna. Perasaan Jenna sudah lebih tenang dari
sebelumnya, karena kini ia tidak perlu lagi khawatir dengan ada sosok itu.
Polisi akan mengurusnya.
Kabar yang menggembirakan
akhirnya datang di suatu sore saat Jenna dan anggota keluarganya yang lain
sedang duduk menonton tv. Sebuah telepon masuk dari kepolisian, yang mengatakan
bahwa pelarian dari penjara itu sudah berhasil tertangkap. Jenna dan kedua
orang tuanya berseru setelah merasa memang.
“Sudah berakhir.” Ucap
ayahnya. “Sepertinya besok aku bisa kembali ke kantor seperti biasa.”
Ya. Rutinitas kembali
seperti biasa. Pagi yang sama selalu terjadi di dalam rumah itu. Ayahnya yang
selalu tergesa-gesa, dan ibunya juga sibuk mempersiapkan Josh. Namun Jenna sudah
dapat menerima keadaan itu. Dengan satu senyum, ia memakan roti lapisnya, yang
rasanya lebih manis dari biasanya.
“Oh, jadi orang itu sudah
tertangkap?” tanya teman Jenna. Jenna dengan penuh kepercayaan diri langsung
menganggukkan kepalanya.
“Ya. Kemarin.” Jawab Jenna.
Apakah benar bahwa teror
sudah berakhir? Sepertinya semua hal telah berjalan sesuai dengan rencana.
Pelarian dari penjara itu sudah tertangkap. Lalu apa lagi yang Jenna
khawatirkan?
Jenna tidak mengerti. Siang
itu saat ia mengikuti pelajaran, kecemasannya kembali hadir. Sama seperti saat
ia masih berhadapan dengan sosok bermantel itu. Tapi itu tidak mungkin terjadi
lagi, ‘kan? Sosok itu sudah tertangkap. Tapi…
Jenna menoleh ke arah laur
jendela secara tidak sengaja. Dan apa yang dilihatnya saat itu membuat
jantungnya serasa berhenti berdetak seketika. Sosok bermantel itu, bergerak
memasuki area sekolah.
“TIDAK!!” teriak Jenna
seraya bangkit dari kursinya. Tatapan penuh tanya dari murid dan guru di kelas
itu mengarah padanya.
“Dia kesini! Tidak mungkin!
Dia kesini!”
Jenna dengan cepat, dan
seolah tak berpikir, langsung berlari dari kelas itu. Ia tidak habis pikir.
Kenapa satpam sekolah tidak menghentikan pria mencurigakan itu? Dan kemana ia
akan berlari?
Jenna bergerak cepat
menuruni tangga, dan dari tempat itu ia dapat melihat pintu depan gedung itu.
Yang sedetik kemudian terbuka, dan sosok bermasker itu bergerak masuk.
Jenna menyelinap dengan
cepat ke arah pintu belakang. Dan dari sana, ia langsung berlari pulang ke
rumah tanpa sedikitpun memelankan larinya.
“Oh, ibu! Dia ke sekolah!
Dia ke sekolah!”
“Siapa yang…”
“Pria itu! Pria bermasker
itu! Dia kembali!”
“Tidak mungkin!” ucap ibunya
tidak percaya. “Tapi kemarin polisi sudah…”
“Kita harus pergi.” Ucap
Jenna dengan kepanikan yang sudah tidak terkendali. Ia mencoba menarik lengan
ibunya, tapi ibunya juga tidak tahu apa yang harus dilakukan. Gerakan mereka
seketika terhenti saat terdengar ketukan dari pintu depan.
“Jangan!” ucap Jenna panik.
“Itu pasti dia! Pria itu! Jangan membukakan pintu!”
“Mungkin orang lain.” Ucap
ibunya.
“Jangan, ibu, kumohon!”
Jenna mendapatkan insting
bertahannya seketika. Ia mengarah ke kamarnya, meraih tongkat baseball-nya dan
kembali ke bawah. Ia dan ibunya bergerak perlahan ke arah pintu depan, dimana
suara ketukan itu masih terus terdengar.
“Siapa?” teriak ibu Jenna.
Namun sosok dibalik pintu itu sama sekali tidak menjawan. Ibunya perlahan mulai
meletakkan tangannya di handel pintu, dan Jenna siap dengan tongkat pemukulnya.
Dan ketika pintu itu terbuka…
“TIDAK!!!”
Sosok bermasker itu sudah
tepat berada di depan Jenna. Ia dan ibunya terjatuh ke belakang, dan tongkat
pemukul itu secara tidak sengaja terlepas dari tangan Jenna. Jenna berteriak
sekuat tenaga saat sosok itu mulai bergerak mendekat. Tubuhnya bergetar dengan
hebat.
“Kumohon!” ucapnya dengan
air mata sudah mengalir dari matanya. Jenna sudah merasa putus asa. “Jangan
sakiti kami!”
“Kami mohon!” ucap ibunya.
Tapi…
“Amber, tenang!” ucap sosok
itu. Jenna dan ibunya membeku seketika. Sorot mata tajam sosok itu masih
terarah pada keduanya.
“Ini aku, John.”
**
Jenna dan ibunya masih
membeku, seolah tidak percaya dengan apa yang mereka lihat. Sosok di depan
mereka itu mengangkat tangan, dan dengan perlahan melepaskan topi dan masker
yang ia kenakan. Dan ketika wajah itu muncul, satu desah kelegaan langsung
keluar dari mulut ibu Jenna.
“John!”
Jenna tahu siapa pria itu.
Paman John. Paman yang sudah tidak bertemu dengannya sejak ia berusia lima
tahun. Tapi Jenna masih ingat dengan wajah itu. Meski wajah itu kini terlihat
buruk karena ada bekas bakaran di wajah itu.
“Astaga!” Ibu Jenna berdiri
dengan bantuan pria itu. Jenna, masih terpuruk di lantai, tidak percaya dengan
apa yang ia lihat.
“Jenna, ini aku.” Ucap pria
itu sambil tersenyum. Ia mengulurkan tangan pada Jenna, dan…
“URGH!!!” Jenna menangis
dengan keras saat kesadaran sepenuhnya telah merayapi tubuhnya. Paman John?
Jadi selama ini sosok misterius itu adalah paman John?
“Kenapa?” tanya Jenna di
tengah isak tangis yang tidak juga berhenti. “Kenapa kau melakukan itu? Kenapa
kau menguntitku seperti itu?”
Paman John hanya terkekeh
sambil meminta maaf. Ia mengatakan, bahwa ceritanya cukup panjang.
Namun kemudian Jenna
mengerti dengan alasan kenapa paman John berusaha mendekatinya dengan cara yang
mencurigakan seperti itu. Paman John sudah tidak bertemu dengannya selama
sepuluh tahun lebih. Dan paman John ragu apakah keponakannya itu masih ingat dengannya
atau tidak.
Paman John sempat mengalami
kecelakaan beberapa tahun yang lalu. Yang membuat sebagian wajahnya terbakar
dan tidak pulih. Paman John merasa ragu dengan penampilannya yang baru itu. Ia
takut, mungkin Jenna tidak akan ingat dengannya.
“Jadi itukah alasanmu
mengawasiku?” tanya Jenna setelah ia dapat meredam tangisannya. “Mengawasiku?”
“Aku tidak tahu apa yang
harus kukatakan.” Ucap paman John. “Sudah lebih dari sepuluh tahun, dan kini
kau sudah remaja. Aku tidak yakin kau akan bisa mengenaliku. Jadi aku hanya
dapat mengawasi dari kejauhan. Aku menguntitmu pulang, karena aku ingin tahu
alamatmu.”
“Kenapa kau tidak datang
padaku, John?” tanya ibu Jenna, yang juga sudah tidak bertemu dengan adiknya
itu cukup lama. Ibu Jenna bahkan berpikir bahwa adiknya sudah meninggal akibat
kecelakaan itu. Slama kurang lebih delapan tahun, paman John memdekam di salah
satu rumah sakit karena cidera yang ia dapatkan.
“Maaf, Amber.” Ucapnya. “Aku
tidak yakin aku bisa hadir di depanmu, setelah kita bertengkar saat itu.”
“Aku sudah melupakannya.”
Jawab ibu Jenna. “Aku senang kau sudah kembali.”
Paman John tersenyum. Meski
wajahnya dipenuhi dengan luka bakaran, namun Jenna tetap tidak dapat melupakan
senyum yang selalu ia ingat itu. Saat ia masih kecil, ia sering bemain dengan
paman John.
“Maaf, Jenna!” ucap paman
John kemudian.
Jenna langsung saja bangkit
dari kursinya saat terdengar suara mobil di depan rumah. Ia kemudian mendengar
suara ayahnya berteriak.
“JENNA! JENNA!”
“Ayah!”
Ayah Jenna bergerak cepat
masuk ke dalam rumah dan memandang ke arah putrinya yang menyambutnya di
koridor depan.
“Oh, Jenna, kau baik-baik
saja? Aku dengar dari sekolah bahwa kau lari, dan sosok itu…”
“Ayah, semuanya sudah baik.”
Potong Jenna. Sedetik kemudian, wajah ayahnya dipenuhi dengan kerutan saat
paman John menunjukkan dirinya.
“John?”
“Halo, Arthur! Sudah lama
sekali, ‘kan?”
Ayah Jenna kemudian mengerti
dengan duduk permasalahannya setelah paman John menjelaskan segalanya. Mereka
malah tertawa, menertawai kecurigaan mereka pada sosok bermantel itu.
“Itu salahmu.” Ucap ayah
Jenna. “Kenapa kau harus berpenampilan seperti seorang penjahat?”
“Ah, uangku tipis.” Jawab
John. “Hanya ini yang bisa kudapat untuk sementara waktu. Dan masker ini, untuk
menyembunyikan luka di wajahku.”
Tidak ada yang lebih
membahagiakan bagi Jenna hari itu. Ya. Misteri mengenao sosok itu telah
benar-benar beakhir. Dengan munculnya paman John, hari itu menjadi hari yang
cukup sempurna.
“Lucu, ‘kan?” ucap ayah
Jenna saat makan malam. Paman John tertawa mendengar cerita-cerita dari Jenna
mengenai ketakutannya pada sosok paman John yang memakai mantel.
“Ya. Bahkan kami menghubungi
polisi.” Ucap ayah Jenna. “Kukira kau adalah…, kau tahu, pengincar gadis muda.”
“Lucu sekali.” Balas paman
John.
“Tapi sudah cukup keterlaluan,
kau tahu?” ucap Jenna. “Sampai-sampai kau rela berdiri di tengah hujan
mengawasri rumah ini?”
“Ah, ya. Itu!” tambah
ayahnya sambil tertawa. Tapi…
Paman John sama sekali tidak
tertawa. Ia malah terlihat bingung dengan apa yang keponakannya itu ucapkan.
“Tunggu dulu!” ucapnya. “Aku
berdiri di tengah hujan…, tidak. Aku tidak pernah melakukannya.”
“Apa maksudmu dengan ucapan
itu?” tanya ayah Jenna.
Jenna seketika merasakan
bulu kuduknya meremang lagi. Dia ingat dengan jelas malam itu, saat ia melihat
sosok bermantel itu berdiri di depan rumahnya saat malam.
“Tidak lucu, Arthur.” Ucap
paman John. “Kenapa kau mau melakukan hal aneh seperti itu?”
Jenna dan ayahnya seketika
saling pandang. Jadi, jika sosok malam itu bukan paan John, lalu siapa?”
“Ayah!” ucap Jenna seketika.
“Aku takut.”
Benar. Sosok itu adalah
sosok lain yang selama ini juga selalu mengawasi sosok Jenna. Seseorang, yang
hanya bisa berdiri di dalam bayang-bayang. Seperti malam itu. Sosok itu berdiri
di kegelapan, memadnang tajam ke arah rumah dimana Jenna tinggal.
“Jenna…” ucap sosok itu
sambil tersenyum. “Aku mengawasimu.”
****
60
ReplyDeletekereeenn... mungkin lebih seru kalo si paman merangkap sebagai penculik gadis muda & mengincar teman teman jenna. tapi yg ini endingnya juga bagus koq
ReplyDeleteTapi paman John bukan orang jahat lho... :D
DeleteSeru bgt ceritanya.. Keren... Keren...
ReplyDelete