Barry kembali menegakkan kepalanya setelah beberapa saat
meletakkannya di roda kemudi. Ia, sekali lagi, terbangun oleh mimpi yang tidak ia
sukai itu, yang telah ia alami selama kurang lebih dua minggu terakhir.
Barry saat itu tengah duduk
di dalam kabin sedan kecilnya di tepian kota Blackwood. Ia sengaja memarkir
mobilnya di tepi jalan saat ia sudah merasa mulai lelah setelah menempuh
perjalanan belasan kilometer dari Arcadia. Namun ia belum sampai ke kota Santa
Lucia yang berada di selatan. Bahkan kenyataannya, ia baru berkendara setengah
jalan.
Langit sudah mulai sore saat
Barry terbangun dari mimpi buruk itu. Sekali lagi ia desahkan nafasnya, dengan
otak kembali berputar mengingat kembali kenangan pahit yang terjadi padanya
selama beberapa minggu terakhir.
Minggu itu merupakan minggu
terparah dalam kehidupan Barry. Ia beru saja bercerai dengan istrinya, Rhonda,
karena sebuah alasan yang sebenarnya cukup sepele namun dalam kenyataannya
malah menghancurkan kehidupan rumah tangganya. Sebenarnya bukan masalah
perceraian itu sendiri yang memusingkan. Namun Barry lebih memikirkan soal
Candy, putri kecilnya, yang kini terombang-ambing diantara dirinya dan Rhonda.
Barry baru saja menyelesaikan persidangan beberapa hari yang lalu, yang
memutuskan bahwa Candy akan tinggal dengan ibunya, paling tidak hingga ia
berusia 18 tahun.
Tidak dapat melihat
keceriaan di wajah Candy menejadi sebuah siksaan yang berat bagi Barry, meski
ia tahu Candy akan baik-baik saja di tangan Rhonda. Namun rasa kesepian yang
melandannya selama dua minggu terakhir membuat Barry nyaris gila. Itu sebabnya
kini ia mencoba mengarah kembali ke Santa Lucia, kota dimana istrinya itu
tinggal. Jika memungkinkan, ia mau melihat Candy lagi.
Tapi ia kini masih berada di
kawasan Blackwood. Sebuah kota kecil di tengah kawasan hutan yang terasa begitu
asing bagi Barry. Ia sadari kemudian bahwa langit mulai menghitam. Menandakan
bahwa hujan akan segera turun. Dan benar saja. Beberapa saat kemudian, gerimis
mulai turun.
Barry akhirnya memutuskan
untuk melanjutkan kembali perjalanannya meski tubuhnya serasa mau hancur. Ia
sempat berpikir untuk mencari penginapan di Blackwood, namun ia ingin segera
bertemu dengan putrinya. Mungkin jika malam itu ia terus berkendara, ia akan
sampai di kota tujuan besok pagi.
Hujan semakin deras saat
mobil yang Barry tumpangi bergerak membelah sebuah kawasan hutan dengan satu
jalan yang terlihat begitu sepi. Tidak ada mobil lain kecuali mobil yang Barry
tumpangi. Dalam perjalanan yang panjang dan sepi itu, Barry hanya ditemani oleh
musik yang keluar dari radio mobil itu.
Hujan semakin menjadi-jadi
saat jarum jam menunjukkan pukul sembilan malam. Weper yang berada di akca
mobil bergerak cepat membersihkan kaca, memberikan Barry sedikit kesempatan
untuk melihat jalanan yang gelap di depannya. Hujan yang deras si kawasan penuh
dengan pohon itu membuat Barry sedikit kesulitan untuk mengendalikan laju
mobilnya karena kadang jalanan licin.
Baru seketike menundukkan
kepalanya dengan spontan saat terlihat satu kilat menyambar. Cahayanya menerangi
keadaan sekitar selama sepersekian detik, sebelum akhirnya bunyi halilintar
yang dahsyat membahana, memekakkan telinga. Barry bahkan dapat merasakan
getarannya dari dalam mobil yang ia tumpangi.
Berkendara dalam keadaan
hujan lebat dan dipenuhi dengan petir sebenarnya sangat berbahaya. Namun Baary
tidak punya pilihan lain selain terus menyetir. Ia sudah terlalu juah dari
Blackwood, dan tidak mungkin ia akan kembali.
Perjalanan yang panjang dan
sedikit membosankan itu membuat Barry kadang merasakan kelopak matanya berat,
dan bisa saja tertutup setiap saat. Ia sudah terlalu lelah, mengantuk, dan
rasanya ia ingin tidur diatas ranjang yang hangat dan empuk. Tapi…, disinilah
dia. Di tengah kemelut hujan lebat bercampur petir, di tengah kegelapan
suasana, dan di tengaj jalan yang…
“TIDAK!!”
Barry membanting setirnya
seketika saat ia melihat sebuah siluet di tengah jalan setelah belokan. Mobil
yang ia tumpangi mengepot, berputar di jalanan yang licin, dan kemudian
berhenti saat mobil itu nyaris terperosok ke dalam sebuah parit dalam.
Nafas Barry memburu. Apa?
Apa yang sebenarnya ia lihat di tengah jalan tadi? Barry memutar kepalanya,
mencoba untuk melihat sekelilingnya. Mungkin saja ia sudah menabrak sosok itu.
Tapi keadaan yang gelap membuat Barry tidak dapat menemukan apapun di
sekitarnya.
“HALO?” teriak Barry setelah
menurunkan sedikit kaca samping, yang membuat sedikit air masuk ke kabin mobil.
Suaranya memantul di tengah kegelapan hutan itu. Dan tidak ada jawaban. Tapi
sedetik kemudian…
Barry berjingkat di kursi
yang ia duduki saat sebuah wajah tiba-tiba saja muncul di jendela bagian
penumpang. Terdapat sebuah wajah putih pucat memandangnya dari tengah
kegelapan. Barry mengira bahwa ia mungkin saja melihat hantu, tapi…
Bukan.
Seorang wanita berambut
pirang basah dalam balutan blouse putih yang juga basah terlihat memnadang
Barry dair luar mobil. Barry untuk sesaat tidak dapat menggerakkan tubuhnya
karena keterkejutannya. Namun sedetik kemudian, ia sadar bahwa ia ahrus
bertindak. Barry kemudian membuka kaca jendela dan menyapa wanita yang berdiri
di tengah hujan itu.
“Kau tidak apa-apa?” tanya
Barry. Karena ia tadi yakin ia hampir menabrak tubuh wanita itu. Wanita itu
hanya tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. Wajahnya memang benar-benar
terlihat begitu pucat.
“Boleh aku menumpang?” tanya
wanita itu sedetik kemudian. Ada sedikit keraguan dalam hati Barry untuk
menerima wanita itu di mobilnya. Namun kemudian, ia membiarkan wanita itu masuk
ke dalam kabin mobil. Barry segera mengulurkan sebuah kaos kering untuk wanita
itu, agar wanita itu dapat mengeringkan tubuhnya yang basah.
“Maaf!” ucap wanita itu.
Barry hanya tersenyum, lalu mulai menjalankan mobilnya yang nyaris keluar jalur
itu.
Sempat terjadi keheningan
selama beberapa saat setelah mobil itu kembali berjalan. Barry masih belum
dapat menghilang keterkejutannya tadi. Bahkan jantungnya masih berdetak cukup
cepat.
“Terima kasih.” Ucap wanita
itu kemudian memecah keheningan. Barry mengerling pada wanita itu sambil
melepaskan senyum.
“Apa yang kau lakukan di sana
tadi?” tanya Barry langsung ke pokok permasalahan. Sebab terasa aneh melihat
seorang wanita berdiri di tengah jalanan sepi di tengah kegelapan.
“Mobilku mogok.” Jawab
wanita itu. “Sudah berjam-jam aku menunggu mobil lewat. Hingga akhirnya aku
melihat mobil ini.”
“Aku hampir saja
menabrakmu.”
“Itu salahku.” Ucap wanita
itu. “Tidak seharusnya aku menghadang jalan.”
Barry hanya dapat tersenyum.
Ia kini merasa sedikit lega setelah ia dapat berbincang dengan wanita yang
basah kuyup itu. Wanita itu terlihat masih mencoba untuk mengeringkan rambut
pirangnya.
“Jadi?” ucap Barry kemudian.
“Sampai mana kau akan menumpang?”
“Kota terdekat.” Jawab
wanita itu.
“Tujuanmu?”
“Kota di selatan. Santa
Lucia.”
Barry menolehkan kepalanya
seketika. Seolah apa yang baru saja ia dengar adalah sebuah hal yang begitu
mengejutkan.
“Kebetulan sekali.” Ucap
Barry. “Itu juga tujuanku. Bagaimana jika kau kuberi tumpangan sampai disana?
kau tinggal di Santa Lucia?”
“Ada teman disana.” jawab
wanita itu. “Aku dalam urusan bisnis.”
Barry mengangguk-anguk. Kini
dengan ditemani seorang wanita, mungkin rasa kantuknya akan hilang. Sedikitnya
ia dapat merasa beruntung bisa mengangkut wanita itu dari tepi jalan.
“Ah, maaf!” ucap wanita itu
kemudian. “Namaku Hillary. Sudah seharusnya aku memperkenalkan diriku, ‘kan?”
“Aku Barry.” Ucap Barry.
Semakin lama Barry
berbincang dengan Hillary, maka ia semakin merasa akrab dengan wanita itu. Ia
bahkan sudah tidak sadar dengan keadaan cuaca ekstrim yang ada di luar. Angin
dan hujan masih turun dengan kencang. Jendela kaca mobil berkali-kali tersapu
oleh angin.
“Jadi begitu?” ucap Barry
setelah mendengar cerita panjang dari Hillary mengenai kehidupan awal Hillary.
Hillary ternyata dulunya adalah seorang aktris theater di New Himpton. Dan
Hillary bercerita banyak hal mengenai karirnya sebagai seorang aktris kecil.
Susah dan senangnya, dan segala hal yang membuat Barry lupa akan perjalanan
malam yang berbahaya itu.
“Aku tidak akan pernah
tahu.” Ucap Barry. “Lalu kenapa kau memutuskan untuk keluar dari dunia akting?
Kau sepertinya masih cukup muda dan wajahmu..., (Barry tertawa kecil.), penuh
dengan daya tarik.”
Wanita itu terkekeh setelah
mendengar pujian dari pria yang baru ia temui itu. Pandangan mata birunya itu
terpaku ke arah wajah Barry.
“Ada banyak hal.” Ucap
Hillary kemudian. “Aku…, menikah cukup muda. 25 tahun. Dan seandainya saja aku
tidak mengambil keputusan itu, mungkin aku saat ini masih menekuni bidangku di
dunia akting.”
“Oh, ya?” balas Barry. “Tapi
aku tidak mengerti. Kenapa kau ahrus keluar dari dunia akting, meski kau sudah
menikah? Apakah suamimu…, maaf! Sedikit ketat atau menginginkanmu bekerja di
tempat lain?”
“Tidak perlu minta maaf.”
Ucap Hillary. Entah kenapa wajahnya terlihat menegang seketika. Raut wajah
putih seperti bidadari itu kini berubah menjadi sedikit gelap.
“Dia hanya seorang pria
brengsek yang hanya menginginkan tubuhku.” Ucap Hillary sedetik kemudian. Jujur
Barry sedikit terkejut mendengar hal ini. Ia sama sekali tidak bermaksud untuk
mengorek masa lalu wanita di sampingnya itu.
“Awalnya ia terlihat manis.”
Lanjut wanita itu. “Tapi setelah dua tahun aku menikah dengannya, wajah iblis
itu mulai nampak. Kau tidak akan pernah bisa mengenal seseorang kecuali kau
tinggal bersama orang itu cukup lama. Dan dua tahun rasanya seperti sepuluh
tahun bagiku di bawah naungan pernikahanku dengan pria itu. Sungguh…”
Barry berdehem. Ia tidak
tahu ahrus bagaimana menanggapi cerita yang sedikit kikuk itu. Meski begitu,
Hillary tidak berhenti.
“Aku sempat mengandung.”
Ucap Hillary kemudian. “Tapi aku keguguran saat kandunganku mencapai usia tujuh
bulan. Semua, karena ulah lelaki itu yang memperkerjakanku di rumah seperti
pembantu.”
“Tidakkah kau mencoba untuk
mencari bantuan saat itu?” tanya Barry yang sedikit demi sedikit mulai merasa
penasaran.
“Ya.” Jawab Hillary. “Tapi
keputusanku menikah di usia muda sepertinya telah merusak hubunganku dengan
anggota keluargaku yang lain. Tidak ada yang peduli lagi. Bahkan kakakku yang
awalnya dekat denganku.”
Barry mengerling cepat ke
arah wajah Hillary. Wajah itu masih terlihat gelap dan sendu seperti
sebelumnya. Di tengah penerangan yang minim, wajah yang dipenuhi dengan luka
lama itu seolah berubah menjadi wajah setan.
“Semuanya menjadi neraka
bagi kehidupanku.” Lanjut Hillary. “Ketika kau begitu mencintai seseorang, tapi
ternyata keputusanmu salah, dan kau berusaha untuk meninggalkan orang itu tapi
masih terkekang…, kau tidak tahu bagaimana rasanya.”
“Aku tahu.” Balas Barry
seketika. Wajah Hillary menoleh ke arahnya, dipenuhi dengan banyak tanda tanya.
“Bisa kukatakan,” lanjut
Barry. “Bahwa posisiku kini sama denganmu. Aku baru saja bercerai dengan
istriku, karena masalah yang terlalu sepele. Aku berusaha untuk melupakan
kehidupan lamaku denganmu tapi…, seperti katamu, aku terkekang. Kekangan itu
berada dalam wujud seorang gadis kecil.”
“Putrimu?”
“Ya.”
“Paling tidak kau bisa
melihat putrimu lahir dan tumbuh.” Ucap Hillary. Yang seketika membungkam mulut
Barry. Terlihat sekali kepedihan di wajah Hillary saat wanita itu membicarakan
mengenai kandungannya yang gugur di tengah jalan.
“Aku heran,” ucap Hillary
kemudian. “Kenapa sebagian orang dapat menjalani hidup mereka dengan begitu
sempurna, dan ada sebagian orang seperti kita yang harus menderita?”
Barry tidak tahu apa yang
harus ia ucapkan. Ia sendiri pun sedang memikirkan soal itu. Kenapa dia harus
menjalani sebuah pernikahan yang hanya berakhir dengan sebuah perceraian?
Kenapa ia harus memiliki seorang putri yang ia cintai jika ia hanya akan
terpisah dengan gadis itu?
“Apakah kita bagian dari
ciptaan yang terkutuk?” tanya Hillary kemudian. Barry jujur tidak tahu
jawabannya. Namun ia menganggukkan kepalanya, menyetujui apa yang wanita itu
ucapkan.
Perbincangan Barry dan
Hillary sedikit terputus saat Barry melihat sebuah cahaya di depan, di tengah
kegelapan. Sebuah pom bensin di tengah antah berantah. Ketika ia melihat jarum
indikator tangki bensin, bensinnya juga hampir habis. Makan ia memutuskan untuk
mampir.
“Kau mau turun dan membeli
sesuatu?” tanya Barry ketika sudah memarkir mobilnya di dekat pompa bensin.
Wanita itu menggelengkan kepalanya.
Barry kemudian turun dari
mobilnya. Hujan masih turun dengan deras meski kini tidak ada petir lagi.
seorang pegawai pom membantu Barry mengisikan bensin sementara Barry pergi ke
arah swalayan untuk membeli beberapa bungkus makanan ringan.
Ia hanya menghabiskan waktu
kurang lebih lima menit, sebelum akhirnya ia kembali ke mobilnya. Tapi satu hal
aneh terjadi. Wanita itu sudah tidak ada di kursi penumpang.
Barry menoleh ke belakang,
melihat ke arah swalayan. Apakahw anita itu tadi sempat turun dari mobil? Barry
merasa sedikit ragu. Ia kemudian memanggil seorang pegawai yang berdiri tak
jauh darinya.
“Kau melihat kemana perginya
wanita berambut pirang itu?” tanya Barry. Bukan mendapat jawaban yang ia
inginkan, ia malah mendapat raut wajah kebingungan dari pegawai pom bensin itu.
“Tidak mungkin!” gumam
Barry. Apakah ia berhalusinasi di tengah hujan mengenai wanita itu? Rasanya
tidak mungkin, ‘kan? Ia tidak mungkin tertidur dan bermimpi? Apakah wanita itu
memutuskan untuk pergi begitu saja di tengah antah berantah itu?
Barry pada akhirnya masuk ke
dalam mobil. Ia lihat kaosnya yang basah tersampir di kursi penumpang. Itu
adalah kaos yang ia berikan pada wanita itu tadi untuk mengeringkan tubuhnya.
Jadi…, ia memang tidak berhalusinasi. Lalu kemana perginya wanita itu?
Perhatian kedua mata Barry
kemudian terebut oleh sesuatu yang tergeletak di kursi penumpang yang basah
itu. Sebuah dompet kecil yang sedikit terbuka. Milik wanita itu? Barry bukanlah
orang jahat yang akan seenaknya saja mengintip barang milik orang lain. Tapi
kebetulan, ada sebuah kartu yang keluar dari dompet kecil itu. Sebuah kartu
nama, yang bertuliskan,
HILLARY HARPER, Boston
Herald, Editor.
Jadi Hillary beekrja di
sebuah redaksi surat kabar sebagai seorang editor? Lalu apa lagi yang mau Barry
ketahui? Rasa penasarannya dengan sosok Hillary memaksanya untuk melihat apa
yang berada di di dalam dompet kecil itu. Tapi…
“Tidak ada uangnya di
dalam.”
Suara itu mengejtukan Barry,
yang seketika menjatuhkan dompet yang ia pegang itu. Ia angkat wajahnya, dan
Hillary sudah ada di depannya sambil membuka pintu samping.
“Maafkan aku!” ucap Barry
cepat-cepat. “Aku tidak bermaksud jahat, aku hanya…”
“Lupakan saja!” balas
Hillary sambil tersenyum, seolah ia tidak berpikiran buruk mengenai apa yang
baru saja Barry lakukan.
“Kau sudah berbaik hati
padaku mau mengangkutku.” Lanjut wanita itu. “Sudah semestinya kau tahu dengan
siapa kau berkendara, ‘kan?”
Barry hanya tersenyum.
Misteri mengenai menghilangnya wanita itu tidak akan terjawab sebelum Barry
bertanya. Dan Barry mendapatkan jawaban yang tak terduga.
“Ke toilet?” ucap Barry
sedikit terkejut. “Di swalayan? Tapi aku tidak melihatmu…, bahkan petugas pom
bensin…”
“Sudahlah!” uap Hillary.
“Sebaikany kita segera pergi.”
Barry hanya dapat menyetujui
ucapan wanita itu, dan kembali menjalankan sedan kecilnya di tengah kepekatan
hutan. Jarum jam perlahan bergerak melewati angka sebelas. Malam semakin larut.
“Jadi kau seorang editor di
kantor surat kabar itu?” tanya Barry beberapa saat kemudian.
“Ya.” Jawab Hillary.
“Berbanding terbalik dengan bakatku berakting, tapi kurasa cukup menyenangkan.
Setelah aku berhasil meninggalkan pria yang menjadi suamiku itu, aku ahrus bisa
menerima pekerjaan apapun untuk tetap hidup. Karena keluargaku sudah tidak
peduli lagi denganku, jadi…”
“Aku turut prihatin.” Ucap
Barry.
“Aku juga.” Balas Hillary.
“Kau baru saja bercerai dan harus meninggalkan putrimu…, kurasa sangat berat
bagiku.”
“Kita sama kalau begitu,
‘kan?” ucap Barry sambil tertawa. Wanita itu pun juga melepas tawanya.
“Kita terkutuk.” Ucap wanita
itu sambil tertawa. “Seandainya saja surga mau melihat pada nasib kita…”
“Meski hanya sedikit bagian
dari surga itu sendiri.” Balas Barry.
Ketika jarum jam mengancik
pukul dua belas malam, perbincangan diantara Barry dan Hillary terhenti.
Hillary sepertinya kelelahan dan tetidur dengan begitu cepat. Barry menyetir
sendirian, dan masih berusaha untuk menghilangkan rasa kantuknya, tapi…
Sebuah kejadian aneh
terjadi. Barry merasa mobil yang ia kendarai seperti melayang saat ia menabrak
sebuah cahaya kecil di jalan. Dan tiba-tiba saja, mobilnya sudah berada di
tengah hamparan rerumputan luas yang dipenuhi dengan bunga yang bermekaran, dan
di siang hari.
Ini tidak mungkin!
Barry mencoba meneriakkan
kata-kata itu di hatinya. Apa yang terjadi? Apakah ia tertidur dan bermimpi?
Jantung Barry meloncat
seketika saat sebuah lubang di jalan membangunkannya dari mimpi sepersekian
detik itu. Kedua matanya pedas, dan ia hampir saja terperosok ke dalam sebuah
parit di tepi jalan.
“Bodoh, Barry!” ucap Barry
apda dirinya sendiri sambil menampar pipinya.
Barry berusaha sekuat tenaga
untuk tetap membuka kedua matanya tapi…, mimpi itu datang lagi. Hamparan
bunga…, perbukitan…, sebuah pohon… sinar matahari yang hangat…, dan…
“Bangun!”
Barry seolah mendengar
teriakan itu di telinganya. Dan ia sadari kemudian bahwa ia masih mengemudi dan
lagi-lagi nyaris terperosok ke parit di tepi jalan.
“Ayolah!” ucap Barry kesal
dengan dirinya sendiri. Apakah ia memang selelah itu sampai-sampai ia tertidur
dua kali? Ia lihat Hillary masih tertidur pulas di bangku penumpang. Dan Barry…
Hamparan bunga…,
perbuktikan…,udara segar dan bau rerumpytan basah itu… dan… ia melihat sebuah
wajah yang begitu ia kenal di depannya. Wajah putih dengan sepasang mata biru
itu…, Hillary…
“Bangun!”
Jantung Barry melonjak lagi.
tidak! Kali ini malah lebih parah. Ketika barry tersadar dari tidurnya, ia
mendengar suara sebuah klakson kerasd ari arah depan, dengan dua buah cahaya
terang membutkana matanya. Sebuah truk mengarah tepat pada mobilnya, dan…
Barry seolah tidak dapat
berpikir. Sudah terlambat. Ia sudah tidak bisa menjangkau rem atau membanting
setir. Truk itu sudah begitu dekat. Tidak! Ia pasti akan menabrak, dan…, mati?
Barry menolehkan kepalanya
seketika saat sebuah tangan yang terasa begitu hangat menyentuh lengannya. Ia
lihat Hillary tersenyum ke arahnya di tengah terangnya sinar lampu truk. Lalu…
BRAK!
Barry kehilangan
kesadarannya.
**
Barry dapat mendengar
suara-suara ribut di sekelilingnya. Tapi ia masih tidak dapat membuka matanya.
Dimana dia? Apakah dia sudah mati dan sedang dalam perjalanan ke alam maut?
Apakah suara-suara itu berasal dari arwah-arwah yang menjemputnya?
Bukan.
Ia mendengar suara sirine di
kejauhan, dan juga suara beberapa pria yang kedengarannya seperti petugas
polisi atau ambulan. Ya. Ia kemudian teringat dengan truk yang menabraknya
tadi. Kecelakaan itu. Apakah ia berhasil selamat?
“Dia sudah sadar!” teriak
seorang pria yang merunduk pada Barry ketika Barry berhasil membuka kedua matanya.
Yang ia sadari kemudian adalah ia terbujur di atas tanah yang basah di tepi
jalan, dengan beberapa petugas medis mengelilinginya. Barry kemudian menegakkan
tubuhnya seketika.
“Tenang! Kami harus
memeriksamu!”
“Dimana wanita itu?” tanya
Barry seketika. Ia teringat dengan Hillary. Apakah Hillary berhasil selamat?
“Siapa yang kau bicarakan?”
“Hillary! Wanita berambut
priang itu, yang duduk denganku di mobil…, dia…”
“Kau berhalusinasi.” Ucap
petugas medis. “Tapi kepalamu tidak terluka…”
Barry seketika menolah-nolehkan
kepalanya. Dimana? Dimana mobilnya? Mungkinkan Hillary masih berada di dalam
mobil? Namun pertanyaan yang begitu penting adalah, kenapa ia bisa berada di
luar mobil? Apa ia terpental keluar?
“Hei!” petugas medis mencoba
untuk menahan tubuh Barry di tempat, namun Barry seketika bangkit dari
posisinya dengan tubuh penuh dengan lumpur. Anehnya, setelah kecelakaan itu, ia
sama sekali tidak merasakan sakit seidkitpun. Mungkin ia terluka. Namun rasa
penasarannya pada sosok Hillary dan dimana keberadaan wanita itu mengalahkan
segalanya.
“HILLARY! HILLARY!” teriak
Barry sambil mengarah pada mobil yang terbakar. Tidak! Apakah Hillary…
“Hei, Tuan!” ucap salah
seorang petugas polisi sambil berusaha menahan tubuh Barry. “Anda tidak boleh
mendekat! Berbahaya!”
“Wanita itu!” ucap Barry
panik. “Hillary!”
“Tidak ada siapapun.” Ucap
polisi itu.
“Dia masih di dalam mobil!
Hillary…”
“Tuan, denganrkan aku!” ucap
polisi itu dengan tegas. Barry, masih dengan jantung berdegup kencang,
memandang ke arah polisi itu.
“Anda satu-satunya penumpang
di sedan kecil itu.” Ucap polisi itu dengan sungguh-sungguh. “Dan aku tidak
habis pikir, bagaimana kau bisa berada di luar mobil yang ringsek itu?
Benar. Barry melihat sedan
kecilnya telah berubah menjadi semacam kaleng minuman yang diremas. Hancur tak
berbentuk dan terbakar bersama dengan truk itu. Ya. Bagaimana ia bisa keluar?
Dan kenapa polisi mengatakan bahwa ia adalah satu-satunya penumpang di
mobilnya?
“Yang lebih aneh,” ucap
petugas medis yang baru datang. “Sama sekali tidak ada satupun lecet di
tubuhnya.”
Banyak sekali pertanyaan
yang ada di dalam kepala Barry yang coba Barry pecahkan, namun malah membuatnya
semakin merasa bingung. Kemana perginya wanita itu? Bagaimana ia bisa selamat
dari kecelakaan maut itu? Apakah semua yang ia alami nyata?
Barry kemudian di bawa ke
kantor polisi terdekat. Disana ia kemudian menjelaskan segala sesuatunya pada
petugas kepolisian mengenai Hillary, penumpang yang ia temukan di pinggir
jalan.
“Ini buktinya.” Ucap Barry
sambil mengeluarkan kartu nama Hillary yang ia ambil saat di pom bensin itu.
Polisi-polisi yang ada di depannya telrihat kebingungan.
“Tuan,” ucap polisi itu.
“Kami sudah mencari dengan teliti di rongsoan mobil Anda, tapi tidak detemukan
adanya jenasah lain. Andalah satu-satunya penumpang di mobil Anda.”
“Bagaimana dengan kartu ini?
Ini buktinya?”
Jawabannya tidak dapat Barry
temukan. Untuk menemkan jawaban, ia mencoba untuk menghubingi pom bensin di
tengah antah berantah itu untuk melakukan konfirmasi mengenai adanya wanita berambut
pirang saat semalam ia mampir ke tempat itu.
“Aku ingat denganmu, Tuan.”
Ucap sang pegawai. “Tapi tidak ada satupun wanita yang kami lihat bersama
dengan Anda.”
Apa yang terjadi? Apa maksud
dari smeua kejanggalan ini? Barry seolah masih dapat merasakan genggaman tangan
hangat dari wanita itu sesaat sebelum ia bertabrakan dengan truk. Senyuman itu…
Hanya tersisa satu cara
untuk menemukan dimana keberadaan Hillary. Dari kartu nama yang ia ambil, ia
menghubungi kantor redaksi Boston Herald, dan menanyakan keberadaan Hillary
Harper. Tapi jawabannya tidak terduga.
“Anda keluarganya?” tanya
kepala redasi di telepon.
“Aku temannya.” Jawab Barry.
“Seharusnya Anda sudah
tahu,” ucap kepala redaksi itu lagi. “Bahwa Hillary sudah meninggal sejak dua
tahun yang lalu karena kecelakaan mobil.”
Barry bisa saja berteriak
saat itu. Namun ia hanya terpaku di tempat, tidak menghiraukan lagi
ucapan-ucapan yang keluar dari telepon yang ia genggam. Apakah ini nyata?
Hillary sudah meninggal sejak dua tahun yang lalu? Lalu siapa yang bersamanya
semalam? Dan kartu itu…
Barry tidak henti-hentinya
memikirkan soal hal itu hingga beberapa hari kemudian. Dari penelusuran yang ia
lakukan, ternyata memang benar. Hillary Harper mengalami kecelakaan di tempat
yang sama dimana Barry mengalami kecelakaan malam itu. Dan Barry percaya, bahwa
sosok yang bersamanya malam itu adalah arwah Hillary.
Barry tidak ingin
mempercayainya tapi…, itulah kenyatanyaan. Ia tidak tahu kenapa roh Hillary
menumpang di mobilnya. Mungkin untuk menyelamatkannya dari kecelakaan yang akan
ia alami? Barry masih ingat dengan senyuman Hillary sesaat sebelum tabrakan itu
terjadi.
Memang masih ada begitu
banyak pertanyaan soal Hillary. Barry dan Hillary mungkin memang tidak pernah
bertemu secara fisik. Namun meski begitu, Barry telah menyediakan satu tempat
di hatinya bagi sosok Hillary, karena roh Hillary telah menjadi temannya sejak
malam itu. Di malam, dimana roh Hillary memutuskan untuk menyelamatkannya dari
kecelakaan maut itu.
Barry masih ingat dengan
kata-katanya pada Hillary malam itu. ‘Seandainya saja surga mau melihat nasib
kita’. Hal itu sepertinya memang terjadi. Barry percaya bahwa malam itu
sebuah kekuatan spiritual terjadi padanya. Mungkin, surga melihatnya malam itu,
dan memutuskan bahwa ia masih memiliki banyak tujuan di dunia ini, dan ia dihindarkan
dari kematian.
“Surga melihatku malam itu.”
Ucap Barry pelan sambil tersenyum. “Terima kasih, Hillary.”
****
59
ReplyDeletekeren bangeeet... menambah daftar panjang kemisteriusan Blackwood :) maaf ga bisa koment setiap ada cerita baru dikarenakan mbah gogel terlalu ketat dengan aturannya. Tapi shyva tetap reader setia di blig ini ^_^ terus berkarya ka
ReplyDeleteThanks:)
Delete