Thursday, May 18, 2017

A LITTLE PIECE OF HEAVEN



Barry kembali menegakkan kepalanya setelah beberapa saat meletakkannya di roda kemudi. Ia, sekali lagi, terbangun oleh mimpi yang tidak ia sukai itu, yang telah ia alami selama kurang lebih dua minggu terakhir.
Barry saat itu tengah duduk di dalam kabin sedan kecilnya di tepian kota Blackwood. Ia sengaja memarkir mobilnya di tepi jalan saat ia sudah merasa mulai lelah setelah menempuh perjalanan belasan kilometer dari Arcadia. Namun ia belum sampai ke kota Santa Lucia yang berada di selatan. Bahkan kenyataannya, ia baru berkendara setengah jalan.
Langit sudah mulai sore saat Barry terbangun dari mimpi buruk itu. Sekali lagi ia desahkan nafasnya, dengan otak kembali berputar mengingat kembali kenangan pahit yang terjadi padanya selama beberapa minggu terakhir.
Minggu itu merupakan minggu terparah dalam kehidupan Barry. Ia beru saja bercerai dengan istrinya, Rhonda, karena sebuah alasan yang sebenarnya cukup sepele namun dalam kenyataannya malah menghancurkan kehidupan rumah tangganya. Sebenarnya bukan masalah perceraian itu sendiri yang memusingkan. Namun Barry lebih memikirkan soal Candy, putri kecilnya, yang kini terombang-ambing diantara dirinya dan Rhonda. Barry baru saja menyelesaikan persidangan beberapa hari yang lalu, yang memutuskan bahwa Candy akan tinggal dengan ibunya, paling tidak hingga ia berusia 18 tahun.
Tidak dapat melihat keceriaan di wajah Candy menejadi sebuah siksaan yang berat bagi Barry, meski ia tahu Candy akan baik-baik saja di tangan Rhonda. Namun rasa kesepian yang melandannya selama dua minggu terakhir membuat Barry nyaris gila. Itu sebabnya kini ia mencoba mengarah kembali ke Santa Lucia, kota dimana istrinya itu tinggal. Jika memungkinkan, ia mau melihat Candy lagi.
Tapi ia kini masih berada di kawasan Blackwood. Sebuah kota kecil di tengah kawasan hutan yang terasa begitu asing bagi Barry. Ia sadari kemudian bahwa langit mulai menghitam. Menandakan bahwa hujan akan segera turun. Dan benar saja. Beberapa saat kemudian, gerimis mulai turun.
Barry akhirnya memutuskan untuk melanjutkan kembali perjalanannya meski tubuhnya serasa mau hancur. Ia sempat berpikir untuk mencari penginapan di Blackwood, namun ia ingin segera bertemu dengan putrinya. Mungkin jika malam itu ia terus berkendara, ia akan sampai di kota tujuan besok pagi.
Hujan semakin deras saat mobil yang Barry tumpangi bergerak membelah sebuah kawasan hutan dengan satu jalan yang terlihat begitu sepi. Tidak ada mobil lain kecuali mobil yang Barry tumpangi. Dalam perjalanan yang panjang dan sepi itu, Barry hanya ditemani oleh musik yang keluar dari radio mobil itu.
Hujan semakin menjadi-jadi saat jarum jam menunjukkan pukul sembilan malam. Weper yang berada di akca mobil bergerak cepat membersihkan kaca, memberikan Barry sedikit kesempatan untuk melihat jalanan yang gelap di depannya. Hujan yang deras si kawasan penuh dengan pohon itu membuat Barry sedikit kesulitan untuk mengendalikan laju mobilnya karena kadang jalanan licin.
Baru seketike menundukkan kepalanya dengan spontan saat terlihat satu kilat menyambar. Cahayanya menerangi keadaan sekitar selama sepersekian detik, sebelum akhirnya bunyi halilintar yang dahsyat membahana, memekakkan telinga. Barry bahkan dapat merasakan getarannya dari dalam mobil yang ia tumpangi.
Berkendara dalam keadaan hujan lebat dan dipenuhi dengan petir sebenarnya sangat berbahaya. Namun Baary tidak punya pilihan lain selain terus menyetir. Ia sudah terlalu juah dari Blackwood, dan tidak mungkin ia akan kembali.
Perjalanan yang panjang dan sedikit membosankan itu membuat Barry kadang merasakan kelopak matanya berat, dan bisa saja tertutup setiap saat. Ia sudah terlalu lelah, mengantuk, dan rasanya ia ingin tidur diatas ranjang yang hangat dan empuk. Tapi…, disinilah dia. Di tengah kemelut hujan lebat bercampur petir, di tengah kegelapan suasana, dan di tengaj jalan yang…
“TIDAK!!”
Barry membanting setirnya seketika saat ia melihat sebuah siluet di tengah jalan setelah belokan. Mobil yang ia tumpangi mengepot, berputar di jalanan yang licin, dan kemudian berhenti saat mobil itu nyaris terperosok ke dalam sebuah parit dalam.
Nafas Barry memburu. Apa? Apa yang sebenarnya ia lihat di tengah jalan tadi? Barry memutar kepalanya, mencoba untuk melihat sekelilingnya. Mungkin saja ia sudah menabrak sosok itu. Tapi keadaan yang gelap membuat Barry tidak dapat menemukan apapun di sekitarnya.
“HALO?” teriak Barry setelah menurunkan sedikit kaca samping, yang membuat sedikit air masuk ke kabin mobil. Suaranya memantul di tengah kegelapan hutan itu. Dan tidak ada jawaban. Tapi sedetik kemudian…
Barry berjingkat di kursi yang ia duduki saat sebuah wajah tiba-tiba saja muncul di jendela bagian penumpang. Terdapat sebuah wajah putih pucat memandangnya dari tengah kegelapan. Barry mengira bahwa ia mungkin saja melihat hantu, tapi…
Bukan.
Seorang wanita berambut pirang basah dalam balutan blouse putih yang juga basah terlihat memnadang Barry dair luar mobil. Barry untuk sesaat tidak dapat menggerakkan tubuhnya karena keterkejutannya. Namun sedetik kemudian, ia sadar bahwa ia ahrus bertindak. Barry kemudian membuka kaca jendela dan menyapa wanita yang berdiri di tengah hujan itu.
“Kau tidak apa-apa?” tanya Barry. Karena ia tadi yakin ia hampir menabrak tubuh wanita itu. Wanita itu hanya tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. Wajahnya memang benar-benar terlihat begitu pucat.
“Boleh aku menumpang?” tanya wanita itu sedetik kemudian. Ada sedikit keraguan dalam hati Barry untuk menerima wanita itu di mobilnya. Namun kemudian, ia membiarkan wanita itu masuk ke dalam kabin mobil. Barry segera mengulurkan sebuah kaos kering untuk wanita itu, agar wanita itu dapat mengeringkan tubuhnya yang basah.
“Maaf!” ucap wanita itu. Barry hanya tersenyum, lalu mulai menjalankan mobilnya yang nyaris keluar jalur itu.
Sempat terjadi keheningan selama beberapa saat setelah mobil itu kembali berjalan. Barry masih belum dapat menghilang keterkejutannya tadi. Bahkan jantungnya masih berdetak cukup cepat.
“Terima kasih.” Ucap wanita itu kemudian memecah keheningan. Barry mengerling pada wanita itu sambil melepaskan senyum.
“Apa yang kau lakukan di sana tadi?” tanya Barry langsung ke pokok permasalahan. Sebab terasa aneh melihat seorang wanita berdiri di tengah jalanan sepi di tengah kegelapan.
“Mobilku mogok.” Jawab wanita itu. “Sudah berjam-jam aku menunggu mobil lewat. Hingga akhirnya aku melihat mobil ini.”
“Aku hampir saja menabrakmu.”
“Itu salahku.” Ucap wanita itu. “Tidak seharusnya aku menghadang jalan.”
Barry hanya dapat tersenyum. Ia kini merasa sedikit lega setelah ia dapat berbincang dengan wanita yang basah kuyup itu. Wanita itu terlihat masih mencoba untuk mengeringkan rambut pirangnya.
“Jadi?” ucap Barry kemudian. “Sampai mana kau akan menumpang?”
“Kota terdekat.” Jawab wanita itu.
“Tujuanmu?”
“Kota di selatan. Santa Lucia.”
Barry menolehkan kepalanya seketika. Seolah apa yang baru saja ia dengar adalah sebuah hal yang begitu mengejutkan.
“Kebetulan sekali.” Ucap Barry. “Itu juga tujuanku. Bagaimana jika kau kuberi tumpangan sampai disana? kau tinggal di Santa Lucia?”
“Ada teman disana.” jawab wanita itu. “Aku dalam urusan bisnis.”
Barry mengangguk-anguk. Kini dengan ditemani seorang wanita, mungkin rasa kantuknya akan hilang. Sedikitnya ia dapat merasa beruntung bisa mengangkut wanita itu dari tepi jalan.
“Ah, maaf!” ucap wanita itu kemudian. “Namaku Hillary. Sudah seharusnya aku memperkenalkan diriku, ‘kan?”
“Aku Barry.” Ucap Barry.
Semakin lama Barry berbincang dengan Hillary, maka ia semakin merasa akrab dengan wanita itu. Ia bahkan sudah tidak sadar dengan keadaan cuaca ekstrim yang ada di luar. Angin dan hujan masih turun dengan kencang. Jendela kaca mobil berkali-kali tersapu oleh angin.
“Jadi begitu?” ucap Barry setelah mendengar cerita panjang dari Hillary mengenai kehidupan awal Hillary. Hillary ternyata dulunya adalah seorang aktris theater di New Himpton. Dan Hillary bercerita banyak hal mengenai karirnya sebagai seorang aktris kecil. Susah dan senangnya, dan segala hal yang membuat Barry lupa akan perjalanan malam yang berbahaya itu.
“Aku tidak akan pernah tahu.” Ucap Barry. “Lalu kenapa kau memutuskan untuk keluar dari dunia akting? Kau sepertinya masih cukup muda dan wajahmu..., (Barry tertawa kecil.), penuh dengan daya tarik.”
Wanita itu terkekeh setelah mendengar pujian dari pria yang baru ia temui itu. Pandangan mata birunya itu terpaku ke arah wajah Barry.
“Ada banyak hal.” Ucap Hillary kemudian. “Aku…, menikah cukup muda. 25 tahun. Dan seandainya saja aku tidak mengambil keputusan itu, mungkin aku saat ini masih menekuni bidangku di dunia akting.”
“Oh, ya?” balas Barry. “Tapi aku tidak mengerti. Kenapa kau ahrus keluar dari dunia akting, meski kau sudah menikah? Apakah suamimu…, maaf! Sedikit ketat atau menginginkanmu bekerja di tempat lain?”
“Tidak perlu minta maaf.” Ucap Hillary. Entah kenapa wajahnya terlihat menegang seketika. Raut wajah putih seperti bidadari itu kini berubah menjadi sedikit gelap.
“Dia hanya seorang pria brengsek yang hanya menginginkan tubuhku.” Ucap Hillary sedetik kemudian. Jujur Barry sedikit terkejut mendengar hal ini. Ia sama sekali tidak bermaksud untuk mengorek masa lalu wanita di sampingnya itu.
“Awalnya ia terlihat manis.” Lanjut wanita itu. “Tapi setelah dua tahun aku menikah dengannya, wajah iblis itu mulai nampak. Kau tidak akan pernah bisa mengenal seseorang kecuali kau tinggal bersama orang itu cukup lama. Dan dua tahun rasanya seperti sepuluh tahun bagiku di bawah naungan pernikahanku dengan pria itu. Sungguh…”
Barry berdehem. Ia tidak tahu ahrus bagaimana menanggapi cerita yang sedikit kikuk itu. Meski begitu, Hillary tidak berhenti.
“Aku sempat mengandung.” Ucap Hillary kemudian. “Tapi aku keguguran saat kandunganku mencapai usia tujuh bulan. Semua, karena ulah lelaki itu yang memperkerjakanku di rumah seperti pembantu.”
“Tidakkah kau mencoba untuk mencari bantuan saat itu?” tanya Barry yang sedikit demi sedikit mulai merasa penasaran.
“Ya.” Jawab Hillary. “Tapi keputusanku menikah di usia muda sepertinya telah merusak hubunganku dengan anggota keluargaku yang lain. Tidak ada yang peduli lagi. Bahkan kakakku yang awalnya dekat denganku.”
Barry mengerling cepat ke arah wajah Hillary. Wajah itu masih terlihat gelap dan sendu seperti sebelumnya. Di tengah penerangan yang minim, wajah yang dipenuhi dengan luka lama itu seolah berubah menjadi wajah setan.
“Semuanya menjadi neraka bagi kehidupanku.” Lanjut Hillary. “Ketika kau begitu mencintai seseorang, tapi ternyata keputusanmu salah, dan kau berusaha untuk meninggalkan orang itu tapi masih terkekang…, kau tidak tahu bagaimana rasanya.”
“Aku tahu.” Balas Barry seketika. Wajah Hillary menoleh ke arahnya, dipenuhi dengan banyak tanda tanya.
“Bisa kukatakan,” lanjut Barry. “Bahwa posisiku kini sama denganmu. Aku baru saja bercerai dengan istriku, karena masalah yang terlalu sepele. Aku berusaha untuk melupakan kehidupan lamaku denganmu tapi…, seperti katamu, aku terkekang. Kekangan itu berada dalam wujud seorang gadis kecil.”
“Putrimu?”
“Ya.”
“Paling tidak kau bisa melihat putrimu lahir dan tumbuh.” Ucap Hillary. Yang seketika membungkam mulut Barry. Terlihat sekali kepedihan di wajah Hillary saat wanita itu membicarakan mengenai kandungannya yang gugur di tengah jalan.
“Aku heran,” ucap Hillary kemudian. “Kenapa sebagian orang dapat menjalani hidup mereka dengan begitu sempurna, dan ada sebagian orang seperti kita yang harus menderita?”
Barry tidak tahu apa yang harus ia ucapkan. Ia sendiri pun sedang memikirkan soal itu. Kenapa dia harus menjalani sebuah pernikahan yang hanya berakhir dengan sebuah perceraian? Kenapa ia harus memiliki seorang putri yang ia cintai jika ia hanya akan terpisah dengan gadis itu?
“Apakah kita bagian dari ciptaan yang terkutuk?” tanya Hillary kemudian. Barry jujur tidak tahu jawabannya. Namun ia menganggukkan kepalanya, menyetujui apa yang wanita itu ucapkan.
Perbincangan Barry dan Hillary sedikit terputus saat Barry melihat sebuah cahaya di depan, di tengah kegelapan. Sebuah pom bensin di tengah antah berantah. Ketika ia melihat jarum indikator tangki bensin, bensinnya juga hampir habis. Makan ia memutuskan untuk mampir.
“Kau mau turun dan membeli sesuatu?” tanya Barry ketika sudah memarkir mobilnya di dekat pompa bensin. Wanita itu menggelengkan kepalanya.
Barry kemudian turun dari mobilnya. Hujan masih turun dengan deras meski kini tidak ada petir lagi. seorang pegawai pom membantu Barry mengisikan bensin sementara Barry pergi ke arah swalayan untuk membeli beberapa bungkus makanan ringan.
Ia hanya menghabiskan waktu kurang lebih lima menit, sebelum akhirnya ia kembali ke mobilnya. Tapi satu hal aneh terjadi. Wanita itu sudah tidak ada di kursi penumpang.
Barry menoleh ke belakang, melihat ke arah swalayan. Apakahw anita itu tadi sempat turun dari mobil? Barry merasa sedikit ragu. Ia kemudian memanggil seorang pegawai yang berdiri tak jauh darinya.
“Kau melihat kemana perginya wanita berambut pirang itu?” tanya Barry. Bukan mendapat jawaban yang ia inginkan, ia malah mendapat raut wajah kebingungan dari pegawai pom bensin itu.
“Tidak mungkin!” gumam Barry. Apakah ia berhalusinasi di tengah hujan mengenai wanita itu? Rasanya tidak mungkin, ‘kan? Ia tidak mungkin tertidur dan bermimpi? Apakah wanita itu memutuskan untuk pergi begitu saja di tengah antah berantah itu?
Barry pada akhirnya masuk ke dalam mobil. Ia lihat kaosnya yang basah tersampir di kursi penumpang. Itu adalah kaos yang ia berikan pada wanita itu tadi untuk mengeringkan tubuhnya. Jadi…, ia memang tidak berhalusinasi. Lalu kemana perginya wanita itu?
Perhatian kedua mata Barry kemudian terebut oleh sesuatu yang tergeletak di kursi penumpang yang basah itu. Sebuah dompet kecil yang sedikit terbuka. Milik wanita itu? Barry bukanlah orang jahat yang akan seenaknya saja mengintip barang milik orang lain. Tapi kebetulan, ada sebuah kartu yang keluar dari dompet kecil itu. Sebuah kartu nama, yang bertuliskan,
HILLARY HARPER, Boston Herald, Editor.
Jadi Hillary beekrja di sebuah redaksi surat kabar sebagai seorang editor? Lalu apa lagi yang mau Barry ketahui? Rasa penasarannya dengan sosok Hillary memaksanya untuk melihat apa yang berada di di dalam dompet kecil itu. Tapi…
“Tidak ada uangnya di dalam.”
Suara itu mengejtukan Barry, yang seketika menjatuhkan dompet yang ia pegang itu. Ia angkat wajahnya, dan Hillary sudah ada di depannya sambil membuka pintu samping.
“Maafkan aku!” ucap Barry cepat-cepat. “Aku tidak bermaksud jahat, aku hanya…”
“Lupakan saja!” balas Hillary sambil tersenyum, seolah ia tidak berpikiran buruk mengenai apa yang baru saja Barry lakukan.
“Kau sudah berbaik hati padaku mau mengangkutku.” Lanjut wanita itu. “Sudah semestinya kau tahu dengan siapa kau berkendara, ‘kan?”
Barry hanya tersenyum. Misteri mengenai menghilangnya wanita itu tidak akan terjawab sebelum Barry bertanya. Dan Barry mendapatkan jawaban yang tak terduga.
“Ke toilet?” ucap Barry sedikit terkejut. “Di swalayan? Tapi aku tidak melihatmu…, bahkan petugas pom bensin…”
“Sudahlah!” uap Hillary. “Sebaikany kita segera pergi.”
Barry hanya dapat menyetujui ucapan wanita itu, dan kembali menjalankan sedan kecilnya di tengah kepekatan hutan. Jarum jam perlahan bergerak melewati angka sebelas. Malam semakin larut.
“Jadi kau seorang editor di kantor surat kabar itu?” tanya Barry beberapa saat kemudian.
“Ya.” Jawab Hillary. “Berbanding terbalik dengan bakatku berakting, tapi kurasa cukup menyenangkan. Setelah aku berhasil meninggalkan pria yang menjadi suamiku itu, aku ahrus bisa menerima pekerjaan apapun untuk tetap hidup. Karena keluargaku sudah tidak peduli lagi denganku, jadi…”
“Aku turut prihatin.” Ucap Barry.
“Aku juga.” Balas Hillary. “Kau baru saja bercerai dan harus meninggalkan putrimu…, kurasa sangat berat bagiku.”
“Kita sama kalau begitu, ‘kan?” ucap Barry sambil tertawa. Wanita itu pun juga melepas tawanya.
“Kita terkutuk.” Ucap wanita itu sambil tertawa. “Seandainya saja surga mau melihat pada nasib kita…”
“Meski hanya sedikit bagian dari surga itu sendiri.” Balas Barry.
Ketika jarum jam mengancik pukul dua belas malam, perbincangan diantara Barry dan Hillary terhenti. Hillary sepertinya kelelahan dan tetidur dengan begitu cepat. Barry menyetir sendirian, dan masih berusaha untuk menghilangkan rasa kantuknya, tapi…
Sebuah kejadian aneh terjadi. Barry merasa mobil yang ia kendarai seperti melayang saat ia menabrak sebuah cahaya kecil di jalan. Dan tiba-tiba saja, mobilnya sudah berada di tengah hamparan rerumputan luas yang dipenuhi dengan bunga yang bermekaran, dan di siang hari.
Ini tidak mungkin!
Barry mencoba meneriakkan kata-kata itu di hatinya. Apa yang terjadi? Apakah ia tertidur dan bermimpi?
Jantung Barry meloncat seketika saat sebuah lubang di jalan membangunkannya dari mimpi sepersekian detik itu. Kedua matanya pedas, dan ia hampir saja terperosok ke dalam sebuah parit di tepi jalan.
“Bodoh, Barry!” ucap Barry apda dirinya sendiri sambil menampar pipinya.
Barry berusaha sekuat tenaga untuk tetap membuka kedua matanya tapi…, mimpi itu datang lagi. Hamparan bunga…, perbukitan…, sebuah pohon… sinar matahari yang hangat…, dan…
“Bangun!”
Barry seolah mendengar teriakan itu di telinganya. Dan ia sadari kemudian bahwa ia masih mengemudi dan lagi-lagi nyaris terperosok ke parit di tepi jalan.
“Ayolah!” ucap Barry kesal dengan dirinya sendiri. Apakah ia memang selelah itu sampai-sampai ia tertidur dua kali? Ia lihat Hillary masih tertidur pulas di bangku penumpang. Dan Barry…
Hamparan bunga…, perbuktikan…,udara segar dan bau rerumpytan basah itu… dan… ia melihat sebuah wajah yang begitu ia kenal di depannya. Wajah putih dengan sepasang mata biru itu…, Hillary…
“Bangun!”
Jantung Barry melonjak lagi. tidak! Kali ini malah lebih parah. Ketika barry tersadar dari tidurnya, ia mendengar suara sebuah klakson kerasd ari arah depan, dengan dua buah cahaya terang membutkana matanya. Sebuah truk mengarah tepat pada mobilnya, dan…
Barry seolah tidak dapat berpikir. Sudah terlambat. Ia sudah tidak bisa menjangkau rem atau membanting setir. Truk itu sudah begitu dekat. Tidak! Ia pasti akan menabrak, dan…, mati?
Barry menolehkan kepalanya seketika saat sebuah tangan yang terasa begitu hangat menyentuh lengannya. Ia lihat Hillary tersenyum ke arahnya di tengah terangnya sinar lampu truk. Lalu…
BRAK!
Barry kehilangan kesadarannya.

**

Barry dapat mendengar suara-suara ribut di sekelilingnya. Tapi ia masih tidak dapat membuka matanya. Dimana dia? Apakah dia sudah mati dan sedang dalam perjalanan ke alam maut? Apakah suara-suara itu berasal dari arwah-arwah yang menjemputnya?
Bukan.
Ia mendengar suara sirine di kejauhan, dan juga suara beberapa pria yang kedengarannya seperti petugas polisi atau ambulan. Ya. Ia kemudian teringat dengan truk yang menabraknya tadi. Kecelakaan itu. Apakah ia berhasil selamat?
“Dia sudah sadar!” teriak seorang pria yang merunduk pada Barry ketika Barry berhasil membuka kedua matanya. Yang ia sadari kemudian adalah ia terbujur di atas tanah yang basah di tepi jalan, dengan beberapa petugas medis mengelilinginya. Barry kemudian menegakkan tubuhnya seketika.
“Tenang! Kami harus memeriksamu!”
“Dimana wanita itu?” tanya Barry seketika. Ia teringat dengan Hillary. Apakah Hillary berhasil selamat?
“Siapa yang kau bicarakan?”
“Hillary! Wanita berambut priang itu, yang duduk denganku di mobil…, dia…”
“Kau berhalusinasi.” Ucap petugas medis. “Tapi kepalamu tidak terluka…”
Barry seketika menolah-nolehkan kepalanya. Dimana? Dimana mobilnya? Mungkinkan Hillary masih berada di dalam mobil? Namun pertanyaan yang begitu penting adalah, kenapa ia bisa berada di luar mobil? Apa ia terpental keluar?
“Hei!” petugas medis mencoba untuk menahan tubuh Barry di tempat, namun Barry seketika bangkit dari posisinya dengan tubuh penuh dengan lumpur. Anehnya, setelah kecelakaan itu, ia sama sekali tidak merasakan sakit seidkitpun. Mungkin ia terluka. Namun rasa penasarannya pada sosok Hillary dan dimana keberadaan wanita itu mengalahkan segalanya.
“HILLARY! HILLARY!” teriak Barry sambil mengarah pada mobil yang terbakar. Tidak! Apakah Hillary…
“Hei, Tuan!” ucap salah seorang petugas polisi sambil berusaha menahan tubuh Barry. “Anda tidak boleh mendekat! Berbahaya!”
“Wanita itu!” ucap Barry panik. “Hillary!”
“Tidak ada siapapun.” Ucap polisi itu.
“Dia masih di dalam mobil! Hillary…”
“Tuan, denganrkan aku!” ucap polisi itu dengan tegas. Barry, masih dengan jantung berdegup kencang, memandang ke arah polisi itu.
“Anda satu-satunya penumpang di sedan kecil itu.” Ucap polisi itu dengan sungguh-sungguh. “Dan aku tidak habis pikir, bagaimana kau bisa berada di luar mobil yang ringsek itu?
Benar. Barry melihat sedan kecilnya telah berubah menjadi semacam kaleng minuman yang diremas. Hancur tak berbentuk dan terbakar bersama dengan truk itu. Ya. Bagaimana ia bisa keluar? Dan kenapa polisi mengatakan bahwa ia adalah satu-satunya penumpang di mobilnya?
“Yang lebih aneh,” ucap petugas medis yang baru datang. “Sama sekali tidak ada satupun lecet di tubuhnya.”
Banyak sekali pertanyaan yang ada di dalam kepala Barry yang coba Barry pecahkan, namun malah membuatnya semakin merasa bingung. Kemana perginya wanita itu? Bagaimana ia bisa selamat dari kecelakaan maut itu? Apakah semua yang ia alami nyata?
Barry kemudian di bawa ke kantor polisi terdekat. Disana ia kemudian menjelaskan segala sesuatunya pada petugas kepolisian mengenai Hillary, penumpang yang ia temukan di pinggir jalan.
“Ini buktinya.” Ucap Barry sambil mengeluarkan kartu nama Hillary yang ia ambil saat di pom bensin itu. Polisi-polisi yang ada di depannya telrihat kebingungan.
“Tuan,” ucap polisi itu. “Kami sudah mencari dengan teliti di rongsoan mobil Anda, tapi tidak detemukan adanya jenasah lain. Andalah satu-satunya penumpang di mobil Anda.”
“Bagaimana dengan kartu ini? Ini buktinya?”
Jawabannya tidak dapat Barry temukan. Untuk menemkan jawaban, ia mencoba untuk menghubingi pom bensin di tengah antah berantah itu untuk melakukan konfirmasi mengenai adanya wanita berambut pirang saat semalam ia mampir ke tempat itu.
“Aku ingat denganmu, Tuan.” Ucap sang pegawai. “Tapi tidak ada satupun wanita yang kami lihat bersama dengan Anda.”
Apa yang terjadi? Apa maksud dari smeua kejanggalan ini? Barry seolah masih dapat merasakan genggaman tangan hangat dari wanita itu sesaat sebelum ia bertabrakan dengan truk. Senyuman itu…
Hanya tersisa satu cara untuk menemukan dimana keberadaan Hillary. Dari kartu nama yang ia ambil, ia menghubungi kantor redaksi Boston Herald, dan menanyakan keberadaan Hillary Harper. Tapi jawabannya tidak terduga.
“Anda keluarganya?” tanya kepala redasi di telepon.
“Aku temannya.” Jawab Barry.
“Seharusnya Anda sudah tahu,” ucap kepala redaksi itu lagi. “Bahwa Hillary sudah meninggal sejak dua tahun yang lalu karena kecelakaan mobil.”
Barry bisa saja berteriak saat itu. Namun ia hanya terpaku di tempat, tidak menghiraukan lagi ucapan-ucapan yang keluar dari telepon yang ia genggam. Apakah ini nyata? Hillary sudah meninggal sejak dua tahun yang lalu? Lalu siapa yang bersamanya semalam? Dan kartu itu…
Barry tidak henti-hentinya memikirkan soal hal itu hingga beberapa hari kemudian. Dari penelusuran yang ia lakukan, ternyata memang benar. Hillary Harper mengalami kecelakaan di tempat yang sama dimana Barry mengalami kecelakaan malam itu. Dan Barry percaya, bahwa sosok yang bersamanya malam itu adalah arwah Hillary.
Barry tidak ingin mempercayainya tapi…, itulah kenyatanyaan. Ia tidak tahu kenapa roh Hillary menumpang di mobilnya. Mungkin untuk menyelamatkannya dari kecelakaan yang akan ia alami? Barry masih ingat dengan senyuman Hillary sesaat sebelum tabrakan itu terjadi.
Memang masih ada begitu banyak pertanyaan soal Hillary. Barry dan Hillary mungkin memang tidak pernah bertemu secara fisik. Namun meski begitu, Barry telah menyediakan satu tempat di hatinya bagi sosok Hillary, karena roh Hillary telah menjadi temannya sejak malam itu. Di malam, dimana roh Hillary memutuskan untuk menyelamatkannya dari kecelakaan maut itu.
Barry masih ingat dengan kata-katanya pada Hillary malam itu. ‘Seandainya saja surga mau melihat nasib kita’. Hal itu sepertinya memang terjadi. Barry percaya bahwa malam itu sebuah kekuatan spiritual terjadi padanya. Mungkin, surga melihatnya malam itu, dan memutuskan bahwa ia masih memiliki banyak tujuan di dunia ini, dan ia dihindarkan dari kematian.
“Surga melihatku malam itu.” Ucap Barry pelan sambil tersenyum. “Terima kasih, Hillary.”

****

3 comments:

  1. keren bangeeet... menambah daftar panjang kemisteriusan Blackwood :) maaf ga bisa koment setiap ada cerita baru dikarenakan mbah gogel terlalu ketat dengan aturannya. Tapi shyva tetap reader setia di blig ini ^_^ terus berkarya ka

    ReplyDelete