Alan Crayford berusaha untuk memegang roda kemudinya
dengan erat. Perjalanan menembus hujan lebat di tengah kawasan hutan itu adalah
suatu hal yang benar-benar tidak Alan harapkan. Mobilnya berkali-kali mengepot
di tikungan jalan karena hujan yang membasahi aspal, membuat jalanan licin dan
benar-benar berbahaya.
Lebih buruknya lagi, mobil
yang Alex tumpangi adalah sebuah mobil tua dengan lampu sorot yang tidak dapat
benar-benar menembus kegelapan malam. Cahaya kuning dari lampu mobil itu hanya
dapat menyorot beberapa meter di depan. Dan di tengah hujan yang sangat lebat,
apapun bisa terjadi. Baru beberapa menit yang lalu Alan hampir saja terperosok
ke arah tepian jalan saat sebuah dahan pohon besar tergeletak di tengah jalan.
Ia sudah tidak tahu lagi apa yang mungkin akan ia temui selama dalam perjalanan
malamnya itu.
Tujuan utamanya adalah
Blackwood. Sebuah kota kecil yang terletak begitu jauh dari keramaian kota
besar, terletak di tengah antah berantah dan benar-benar tak terjamah oleh
dunia luar. Seperti sebuah setting yang cocok untuk sebuah film slasher.
Mungkin Alan hanya berpikiran terlalu jauh. Ia memang sudah banyak medengar
cerita-cerita mengerikan mengenai Blackwood. Yang ia akui, memang menyeramkan.
Dan sempat membuatnya ragu untuk pergi ke kota itu. Jika saja bukan karena
tuntuan pekerjaannya, ia mungkin tidak akan mengambil resiko berkendara di
tengah hutan di malam hari dalam hujan lebat seperti itu.
Alex merasa benar-benar
bosan dengan keadaan di sekelilingnya. Yang ia lihat hanyalah deretan
pohon-pohon besar yang membuat hutan itu semakin terlihat mencekam. Hanya suara
musik dari radio yang dapat memecah kesunyian di dalam mobil itu. Meski begitu,
pikiran Alan tidak fokus dengan apa yang ia dengarkan. Pikirannya
melayang-layang, membayangkan kasur yang hangat, karena ia sudah merasa begitu
lelah.
Alan melepaskan satu
tangannya dari roda kemudi saat ponselnya berdering. Ada telepon masuk dari
salah satu temannya. Yang membuat Alan merasa sedikit beruntung karena ia bisa
sedikitnya menghilangkan kebosanan.
“Yaa, aku sedang dalam
perjalanan ke sana.” Ucap Alan menjelaskan keadaan pada temannya itu. “Buruk.
Benar-benar buruk. Siang tadi saat aku bernagkat dari Arcadia langit begitu
cerah. Tapi begitu aku memasuki bokoye hujan tiba-tiba saja turun dengan deras.
Dan mobil sialan ini sulit untuk dikendalikan.”
“Tunggu dulu!” balas
temannya dengan nada keterkejutan. “Jangan katakan kau masuk bokoye lewat jalur
selatan!”
“Aku melewati jalur itu.”
Balas Alan. “Memangnya kenapa?”
“Jalur itu buruk, Alen.
Lebih buruk dari jalur lain. Akan lebih baik jika kau memilih jalur memutar.”
“Aku tidak bisa
melakukannya.” Ucap Alan. “Aku ahrus tiba di Blackwood besok pagi untuk acara
peluncuran novelku itu. Dan jalur ini adalah jalur tercepat.”
“Aku tidak menyangka kau mau
menerima undangan ke kota itu.” Ucap temanya itu kemudian. “Kau tidak pernah
medengar soal Blackwood? Segala cerita ‘kacau’ mengenai apa yang ada disana?”
“Ya, tentu saja aku tahu.”
Balas Alan. “Hal-hal supranatural dan yang lain-lain, ‘kan? Itu sebabnya
novelku laris di kota itu. Mereka suka dengan hal-hal berbau horor.”
“Jangan bercanda!” ucap
temannya serius. “Akhir-akhir ini ada rumor mengenai seorang maniak yang lepas
dari rumah sakit jiwa. Kau sudah dengan ceritanya?”
“Mengenai maniak yang
memburu orang-orang tak bersalah dan membantai mereka itu, ‘kan?” ucap Alan.
“Cerita itu berasal dari Blackwood. Mungkin hanya hoax, atau semacamnya. Mereka
perlu publikasi untuk kota kecil mereka yang nyaris terlupakan oleh dunia
luar.”
“Kau tidak percaya dengan
berita itu?”
“Sejauh ini apa yang
diberitakan di koran dan media tidak terbukti. Tidak ada foto atau semacamnya.
Aku yakin hanya hoax. Tenang saja! Aku akan baik-baik saja.”
“Aku sudah memperingatkanmu,
Alan. Kau harus berhati-hati!”
Alan tahu benar dengan apa
yang ia hadapi. Mengenai cerita soal maniak itu, ya. Alan memang sudah
mendengarnya. Sebuah cerita mengerikan yang mungkin bisa dijadikan sebuah
naskah untuk film atau novel fiksi. Namun Alan tidak sepenuhnya mempercayai
bahwa rumor itu benar-benar terjadi. Sejauh apa yang dapat ia ketahui mengenai
Blackwood, semua cerita horor yang berkembang di kota kecil itu tidak pernah
terbukti secara nyata. Yang ia dengar hanyalah cerita dari mulut ke mulut. Yang
dapat dengan mudah sengaja dibuat untuk menarik perhatian turis ke kota kecil
itu.
Namun harus Alan akui, bahwa
segala cerita misterius soal Blackwood adalah salah satu inspirasinya menulis
novel horor. Dan hasilnya, novelnya terjual laris. Kini ia tidak tahu apakah ia
harus membenci Blackwood atau tidak. Yang jelas, semakin banyak ia mendengar
cerita aneh dari Blackwood, maka ia akan mendapatkan banyak inspirasi. Mungkin
ia akan menulis buku-buku lain berdasarkan cerita-cerita misterius itu.
Suara musik dari radio masih
mengalun pelan di dalam mobil yang ia kendarai. Dan tak ia sangka, musik itu
membuainya. Dalam keadaan yang monoton dan sunyi, rasa kantuk mulai meneyrang
keuda matanya. Dan ia nyaris saja tertidur, saat secara tiba-tiba mobilnya
terguncang.
Alan memelankan laju
mobilnya. Apa yang terjadi? Alan seperti baru saja menginjak sesuatu di tengah
jalan. Ia menoleh ke belakang, melihat melalui kaca belakang. Namun tidak ada
apapun di tengah jalan. Ia membuka pintu mobilnya dan melongok ke luar.
Lagi-lagi ia tidak dapat menemukan apapun yang dapat membuat mobilnya
berguncang seperti itu. Apa mungkin rodanya kempes?
Alan terpaksa harus keluar
dari mobilnya. Sambil membawa payung, ia memeriksa roda-roda mobilnya itu.
Tapi…, tidak. Semuanya masih terlihat begitu normal. Ia memutuskan untuk masuk
kembali ke dalam mobil. Namun ketika ia akan menginjak pedal gas lagi, sesuatu
mendobrak pintu penumpang. Yang membuat Alan melonjak di atas kursi yang ia
duduki.
Sebuah wajah tiba-tiba saja
muncul di balik kaca mobil yang terletak di seberang tempatnya duduk. Seorang
pria secara tiba-tiba muncul disana, dengan wajah menempel pada kaca mobil.
Wajah seorang pria dengan rambut panjang kumal, dan sorot mata yang tajam.
“Maaf!” ucap pria itu sedetik
kemudian. Alan berusaha untuk memenangkan dirinya kembali. Tidak apa-apa. Hanya
seorang pria. Alan kemudian menurunkan kaca mobil hingga ia dapat melihat jelas
sosok pria dengan dandanan kumal itu.
“Maaf mengagetkanmu!” ucap
pria itu kemudian. “Aku sedang dalam masalah. Mobilku mogok, dan aku butuh
tumpangan hingga kota terdekat. Jika kau tidak keberatan, boleh aku menumpang?”
Ada sedikit keraguan di
dalam diri Alan ketika melihat pria itu. Ia sama sekali tidak menyadari
kehadiran pria itu. Seolah pria itu baru saja muncul dari udara. Namun ketika
Alan dapat memproses lebih lanjut apa yang terjadi, ia segera membuang perasaan
aneh di dalam hatinya. Pria itu terlihat ‘normal’ menurutnya. Meskipun terlihat
sedikit mencurigakan.
“Ya, tentu. Masuklah!” ucap
Alan sedetik kemudian. Pria itu tersenyum, lalu masuk ke dalam mobil. Pria itu
memakai sebuah mantel kulit yang terlihat basah kuyup. Sepertinya ia sudah
berada cukup lama di tengah hujan.
“Terima kasih.” Ucap pria
itu ketika ia sudah duduk di samping Alan. Alan hanya tersenyum, lalu menginjak
pedal gasnya lagi.
“Apa yang terjadi? Kenapa
dengan mobilmu?” tanya Alan beberapa menit kemudian. Disatu sisi ia merasa
senang karena pada akhirnya ia memiliki teman untuk diajak bicara.
“Ah! Mobil tua. Mogok secara
tiba-tiba. Aku sudah menunggu mobil lewat cukup lama. Tapi jalur ini sepertinya
jalur yang jarang dilewati mobil. Lalu aku melihatmu. Aku merasa beruntung.”
“Ya. Jalurnya memang sepi.”
Balas Alan.
Sempat terjadi keheningan
selama satu menit. Yang terdengar hanyalah suara hujan yang menghantam atap
mobil. Hingga akhirnya penumpang itu membuka mulutnya lagi.
“Jadi, kemana kau mau
pergi?”
“Aku? Aku menuju Blackwood.”
“Blackwood?”
“Ya.”
“Kau tinggal disana?”
“Tidak.” Jawab Alan.
“Pekerjaan. Aku penulis novel. Dan aku datang ke Blackwood untuk menemui fans
dan melakukan tanda tangan.”
“Kau sudah pernah ke
Blackwood sebelumnya?”
“Belum. Ini baru pertama
kalinya.”
“Tapi kau sudah tahu soal
Blackwood, ‘kan?” ucap pria itu. “Mengenai segala sesuatu yang terjadi di kota
kecil itu?”
“Ya.” Balas Alan. “Mengenai
cerita-cerita hantu, kisah misterius lainnya, dan kudengar ada maniak
akhir-akhir ini. Sungguh, sebuah kota yang cocok untuk menulis cerita horor.”
“Kau tidak percaya dengan
semua itu.” Ucap pria itu, seolah dapat membaca apa yang ada di dalam kepala
Alan.
“Belum ada yang terbukti,
‘kan? Maksudku soal hantu atau kutukan-kutukan lain. Kurasa hanya hoax.”
“Tapi tidak dengan maniak
itu.” Ucap pria rambut kumal itu dengan nada yang dalam dan serius. Untuk sesaat,
Alan merasakan ada perasaan dingin mengalir di punggungnya. Entah karena apa.
Ia biasanya tidak akan merinding hanya dengan mendengar cerita horor.
“Aku bisa memberikanmu
keterangan mengenai maniak itu jika kau mau.” Ucap pria itu lagi. “Kau bodoh jika
menganggap bahwa cerita itu hanya cerita bohongan.”
“Oh, ya?” balas Alan.
“Bagaimana kau tahu bahwa cerita itu benar?”
“Karena aku pernah
melihatnya dengan mata kepalaku sendiri.”
*
Alan menatap serius pada
wajah kumal yang ada di sampingnya itu. Hingga akhirnya ia tersadar bahwa ia
sudah terlalu lama mengalihkan perhatiannya dari jalanan yang ada di depannya.
Dan seketika, Alan mengeluarkan tawanya. Sebuah tawa yang hampa, karena ia
merasa antara percaya dan tidak dengan ucapan pria kumal itu.
“Aku tinggal di Blackwood.”
Ucap pria itu kemudian. “Aku tahu dengan segala sesuatu yang ada di kota itu.”
Alan belum dapat mengucapkan
apapun. Pikirannya bergerak dengan cepat. Haruskan ia mempercai ucapan pria
itu? Atau pria itu hanya mencoba untuk menakutinya? Namun pada akhirnya Alan
menerima kenyataan janggal itu, dan mengijinkan pria itu untuk bercerita. Ia
hanya menganggap cerita ini sebagai cara untuk menghilangkan kebosanan.
“Segalanya berawal dari
tragedi lebih dari dua puluh tahun yang lalu.” Ucap pria kumal itu memulai
ceritanya. “Di sebuah kota kecil yang tenang, jauh dari keramaian, dan seolah
polos tanpa dosa. Sebuah tragedi memilukan menjadi noda bagi kota Blackwood.
“Seorang remaja berusia lima
belas bernama Eugene Handerson membantai seluruh anggota keluarganya di suatu
malam berhujan. Jeritan memilukan korbannya ternggelamoleh suara guntur dan
terpaan angin. Dan dari situlah cerita mengenai maniak ini dimulai.
“Eugene Handerson adalah
seorang bocah yang sejak awal memiliki masalah dengan kejiwaan. Sejak kecil,
Eugene sering diperlakukan kasar oleh ayahnya yang pemabuk dan ibunya yang
bekerja sebagai seorang psk. Eugene adalah anak terakhir dari lima bersaudara.
Dan keempat saudaranya pun memperlakukan Eugene sama buruknya dengan ayah dan ibunya.
Eugene adalah anak yang pendiam dan tidak pernah menceritakan masalahnya pada
siapapun. Ia menjadi anak yang pemurung, tertekan, dan kadang sering mengamuk
dengan alasan yang tidak jelas. Mungkin kau bisa mengerti bagaimana rasanya
hidup di tengah keluarga yang berantakan dan tidak pernah menyayangimu. Itulah
yang terjadi pada soso Eugene.
“Di usianya yang kesepuluh
ia secara tak sengaja menikam kakak perempuannya dengan obeng saat dia sedang
dalam amukan amarah. Ayahnya meledak, kesal dengan apa yang sudah Eugene
lakukan. Dan memutuskan untuk mengurung anaknya sendiri itu di ruang bawah
tanah yang gelap selama sepuluh hari. Dan hanya memberikan anak itu makanan
satu kali setiap harinya.
“Penderitaan Eugene seperti
menumpuk selama tahun-tahun selanjutnya. Di usianya yang ketiga belas, ia
mengikat keempat saudaranya dan melempar mereka ke ruang bawah tanah saat ibu
dan ayahnya sedang pergi. Lagi-lagi Eugene harus menerima amukan amarah dari
ayahnya. Kali ini ia diikat dengan rantai pada traktor di garasi, dan
membiarkan Eugene berada di sana selama sehari.
“Dia tahun berikutnya,
Eugene mendapatkan begitu banyak siksaan dari kedua orang tua dan keempat
saudaranya baik secara fisik maupun psikologis. Kurasa hal itulah yang seolah
mulai membangkitkan iblis yang tinggal di dalam tubuhnya. Di suatu malam yang
dipenuhi dengan hujan dan angin, Eugene keluar dari garasi sambil membawa
sebuah kapak, dan mengarah pada anggota keluarganya yang sedang makan malam.
Dan kau tahu apa yang terjadi selanjutnya. Eugene membantai keenam orang itu
dengan sadis. Kabar yang kudengar, ia memenggal kapala ibunya sendiri dan
menancapkannya pada pagar rumah. Dan dia melakukan hal-hal yang tak dapat
diucapkan pada anggota keluarganya yang lain. Eugene bahkan memasukkan jenasah
ayahnya pada perapian dan membakarnya.
“Eugene tidak mencoba untuk
lari setelah apa yang ia lakukan. Keesokan harinya, polisi datang setelah
mendengar laporan dari warga mengenai kegaduhan yang terjadi di kediaman
Handerson. Polisi menemukan kepala Ny. Handerson di pagar. Dan ketika mereka
memasuki rumah, mereka merasa seperti masuk ke dalam naraka. Ruang tamu dan
ruang makan berwarna merah dipenuhi dengan darah. Dan organ dalam manusia
berceceran di segala tempat. Dan di perapian, jenasah Tn. Handerson ditemukan
menghitam, terbakar.
“Eugene ditemukan duduk di
kaki tangga. Ketika polisi mendekatinya dalam todongan pistol, Eugene hanya
menyeringai dan tertawa. Dia sama sekali tidak mencoba melawan saat ditangkap.
Kemudian di kantor polisi saat polisi menanyakan alasannya membantai
keluarganya, Eugene hanya berkata, ‘Setan memintaku untuk melakukannya’. Eugene
kemudian dinyatakan memiliki gangguan mental yang serius, kemudian dikirim ke
sebuah penjara khusus pelaku kejahatan kelas kakap. Disana pun Eugene menjadi
ancaman bagi narapidana lain. Ia tinggal di dalam sel khusus yang dijaga ketat
oleh penjaga penjara.”
Alan mendengar cerita itu
dengan perasaan berdesir di dadanya. Setiap kata yang keluar dari mulut pria
itu terdengar begitu jahat dan mengerikan. Sesekali ia melirik ke arah pria
itu. Berharap pria itu tertawa dan mengatakan bahwa semua yang dikatakannya
hanyalah rekaan. Namun pria itu terlihat begitu serius.
“Lalu mengenai maniak yang
sekarang?”
“Eugene berhasil meloloskan
diri dari penjara itu.”
“Bagaimana?”
“Tidak ada yang pernah tahu
soal itu, ‘kan?” balas pria itu sambil terkekah. “Tapi ini nyata. Dia ada
diluar sana, menunggu korban selanjutnya.”
“Apa sudah ada korban sejak
dia keluar dari penjara?” tanya Alan penasaran. Sebab yang ia dengar selama ini
hanya rumor. Dan tidak pernah terbukti mengenai keberadaan Eugene.
“Sudah ada terlalu banyak
korban selama dia keluar dari penjara.” Ucap pria itu. “Dalam perjalanannya
pulang kembali ke Blackwood, ia membunuh beberapa orang yang ia temui. Namun bukan
itu bagian yang mengerikan. Bagian paling mengerikan adalah caranya membunuh
korban.”
“Bagaimana?”
“Pertama dia akan
memancingmu untuk mengikutinya. Seolah Eugene adalah seseorang yang sedang
berada dalam masalah dan membuuthkan pertolongan. Kemudian ketika ia merasa
sudah cukup aman, dia langsung menyerang korban. Dia tidak langsung membunuh
korban. Itulah bagian paling menariknya. Dia hanya akan menikammu beberapa kali
di bagian tubuh yang tidak vital. Kaki, lengan, bahu, dan ia membiarkan korbannya
menjerit dalam rasa sakit yangluar biasa saat Eugene perlahan merobek perut
korban dengan senjata yang ia miliki. Eugene begitu menikmati setiap sensasi
yang ia dapatkan ketika ia dapat mendengar korbannya menjerit dan tidak dapat
melakukan apapun.”
Alan menggelengkan
kepalanya. Hanya dengan membayangkannya saja ia merasa mual. Cerita dari pria
itu benar ditail dan cukup kuat untuk bisa membuatnya muntah.
“Kenapa dia melakukan hal
itu?” tanya Alan pada akhirnya. “Aku tahu dia benci dengan anggota keluarganya.
Tapi kenapa ia membunuh orang-orang tak bersalah itu?”
“Satu hal yang Eugene sadari
setelah membunuh anggota keluarganya adalah, ia mendapatkan kesenangan yang
selama ini tidak pernah ia rasakan. Selama masa kecilnya ia terus berada dalam
tekanan. Dan ketika ia dapat menyalurkan rasa sakit hatinya pada para korbannya,
dia merasa begitu hidup. Dan dia sudah ketagihan dengan rasa menyenangkan itu.
Jeritan pada korbannya, dan darah…”
Alan memproses sekali lagi
seluruh kisah dari mulut pria itu. Benar-benar tidak terkira. Sepertinya memang
cocok dijadikan plot untuk sebuah novel horor. Tapi, apakah semua cerita itu
benar?
“Lalu dia kini berada di
Blackwood?” tanya Alan.
“Dia kembali ke rumahnya.”
Jawab pria itu. “Tapi kurasa dia tidak menetap di Blackwood saat ini. Ia
mungkin sedang mengembara, menunggu korban selanjutnya.”
“Jadi ini kisah nyata?”
Pria kumal itu hanya
menyeringai saat melihat raut ketakutan dan kecemasan di wajah Alan. Ya. Cerita
itu memang membuat isi eprutnya berputar-putar. Tapi satu hal yang aneh adalah
cerita dari pria kumal itu sendiri.
“Kenapa kau bisa tahu semua
ini?” tanya Alan sedetik kemudian. “Seolah kau selalu berada di dekatnya setiap
detik.”
“Oh, tidakkah aku
memperkenalkan diriku?” ucap pria itu. Kedua mata Alan seketika membelalak dan
dengan cepat menoleh pada pria yang ada di sampingnya itu. Sebuah pisau belati
sudah berada di depan matanya. Pria kumal itu menyerangi sambil berkata,
“Namaku Eugene Handerson.
Akulah pria dalam cerita itu.”
****
49
ReplyDeleteLuar biasa kereeen :) cerita tentang blackwood emang the best ^_^ lanjuuut
ReplyDelete