Wednesday, January 25, 2017

THE PASSENGER



Alan Crayford berusaha untuk memegang roda kemudinya dengan erat. Perjalanan menembus hujan lebat di tengah kawasan hutan itu adalah suatu hal yang benar-benar tidak Alan harapkan. Mobilnya berkali-kali mengepot di tikungan jalan karena hujan yang membasahi aspal, membuat jalanan licin dan benar-benar berbahaya.
Lebih buruknya lagi, mobil yang Alex tumpangi adalah sebuah mobil tua dengan lampu sorot yang tidak dapat benar-benar menembus kegelapan malam. Cahaya kuning dari lampu mobil itu hanya dapat menyorot beberapa meter di depan. Dan di tengah hujan yang sangat lebat, apapun bisa terjadi. Baru beberapa menit yang lalu Alan hampir saja terperosok ke arah tepian jalan saat sebuah dahan pohon besar tergeletak di tengah jalan. Ia sudah tidak tahu lagi apa yang mungkin akan ia temui selama dalam perjalanan malamnya itu.
Tujuan utamanya adalah Blackwood. Sebuah kota kecil yang terletak begitu jauh dari keramaian kota besar, terletak di tengah antah berantah dan benar-benar tak terjamah oleh dunia luar. Seperti sebuah setting yang cocok untuk sebuah film slasher. Mungkin Alan hanya berpikiran terlalu jauh. Ia memang sudah banyak medengar cerita-cerita mengerikan mengenai Blackwood. Yang ia akui, memang menyeramkan. Dan sempat membuatnya ragu untuk pergi ke kota itu. Jika saja bukan karena tuntuan pekerjaannya, ia mungkin tidak akan mengambil resiko berkendara di tengah hutan di malam hari dalam hujan lebat seperti itu.
Alex merasa benar-benar bosan dengan keadaan di sekelilingnya. Yang ia lihat hanyalah deretan pohon-pohon besar yang membuat hutan itu semakin terlihat mencekam. Hanya suara musik dari radio yang dapat memecah kesunyian di dalam mobil itu. Meski begitu, pikiran Alan tidak fokus dengan apa yang ia dengarkan. Pikirannya melayang-layang, membayangkan kasur yang hangat, karena ia sudah merasa begitu lelah.
Alan melepaskan satu tangannya dari roda kemudi saat ponselnya berdering. Ada telepon masuk dari salah satu temannya. Yang membuat Alan merasa sedikit beruntung karena ia bisa sedikitnya menghilangkan kebosanan.
“Yaa, aku sedang dalam perjalanan ke sana.” Ucap Alan menjelaskan keadaan pada temannya itu. “Buruk. Benar-benar buruk. Siang tadi saat aku bernagkat dari Arcadia langit begitu cerah. Tapi begitu aku memasuki bokoye hujan tiba-tiba saja turun dengan deras. Dan mobil sialan ini sulit untuk dikendalikan.”
“Tunggu dulu!” balas temannya dengan nada keterkejutan. “Jangan katakan kau masuk bokoye lewat jalur selatan!”
“Aku melewati jalur itu.” Balas Alan. “Memangnya kenapa?”
“Jalur itu buruk, Alen. Lebih buruk dari jalur lain. Akan lebih baik jika kau memilih jalur memutar.”
“Aku tidak bisa melakukannya.” Ucap Alan. “Aku ahrus tiba di Blackwood besok pagi untuk acara peluncuran novelku itu. Dan jalur ini adalah jalur tercepat.”
“Aku tidak menyangka kau mau menerima undangan ke kota itu.” Ucap temanya itu kemudian. “Kau tidak pernah medengar soal Blackwood? Segala cerita ‘kacau’ mengenai apa yang ada disana?”
“Ya, tentu saja aku tahu.” Balas Alan. “Hal-hal supranatural dan yang lain-lain, ‘kan? Itu sebabnya novelku laris di kota itu. Mereka suka dengan hal-hal berbau horor.”
“Jangan bercanda!” ucap temannya serius. “Akhir-akhir ini ada rumor mengenai seorang maniak yang lepas dari rumah sakit jiwa. Kau sudah dengan ceritanya?”
“Mengenai maniak yang memburu orang-orang tak bersalah dan membantai mereka itu, ‘kan?” ucap Alan. “Cerita itu berasal dari Blackwood. Mungkin hanya hoax, atau semacamnya. Mereka perlu publikasi untuk kota kecil mereka yang nyaris terlupakan oleh dunia luar.”
“Kau tidak percaya dengan berita itu?”
“Sejauh ini apa yang diberitakan di koran dan media tidak terbukti. Tidak ada foto atau semacamnya. Aku yakin hanya hoax. Tenang saja! Aku akan baik-baik saja.”
“Aku sudah memperingatkanmu, Alan. Kau harus berhati-hati!”
Alan tahu benar dengan apa yang ia hadapi. Mengenai cerita soal maniak itu, ya. Alan memang sudah mendengarnya. Sebuah cerita mengerikan yang mungkin bisa dijadikan sebuah naskah untuk film atau novel fiksi. Namun Alan tidak sepenuhnya mempercayai bahwa rumor itu benar-benar terjadi. Sejauh apa yang dapat ia ketahui mengenai Blackwood, semua cerita horor yang berkembang di kota kecil itu tidak pernah terbukti secara nyata. Yang ia dengar hanyalah cerita dari mulut ke mulut. Yang dapat dengan mudah sengaja dibuat untuk menarik perhatian turis ke kota kecil itu.
Namun harus Alan akui, bahwa segala cerita misterius soal Blackwood adalah salah satu inspirasinya menulis novel horor. Dan hasilnya, novelnya terjual laris. Kini ia tidak tahu apakah ia harus membenci Blackwood atau tidak. Yang jelas, semakin banyak ia mendengar cerita aneh dari Blackwood, maka ia akan mendapatkan banyak inspirasi. Mungkin ia akan menulis buku-buku lain berdasarkan cerita-cerita misterius itu.
Suara musik dari radio masih mengalun pelan di dalam mobil yang ia kendarai. Dan tak ia sangka, musik itu membuainya. Dalam keadaan yang monoton dan sunyi, rasa kantuk mulai meneyrang keuda matanya. Dan ia nyaris saja tertidur, saat secara tiba-tiba mobilnya terguncang.
Alan memelankan laju mobilnya. Apa yang terjadi? Alan seperti baru saja menginjak sesuatu di tengah jalan. Ia menoleh ke belakang, melihat melalui kaca belakang. Namun tidak ada apapun di tengah jalan. Ia membuka pintu mobilnya dan melongok ke luar. Lagi-lagi ia tidak dapat menemukan apapun yang dapat membuat mobilnya berguncang seperti itu. Apa mungkin rodanya kempes?
Alan terpaksa harus keluar dari mobilnya. Sambil membawa payung, ia memeriksa roda-roda mobilnya itu. Tapi…, tidak. Semuanya masih terlihat begitu normal. Ia memutuskan untuk masuk kembali ke dalam mobil. Namun ketika ia akan menginjak pedal gas lagi, sesuatu mendobrak pintu penumpang. Yang membuat Alan melonjak di atas kursi yang ia duduki.
Sebuah wajah tiba-tiba saja muncul di balik kaca mobil yang terletak di seberang tempatnya duduk. Seorang pria secara tiba-tiba muncul disana, dengan wajah menempel pada kaca mobil. Wajah seorang pria dengan rambut panjang kumal, dan sorot mata yang tajam.
“Maaf!” ucap pria itu sedetik kemudian. Alan berusaha untuk memenangkan dirinya kembali. Tidak apa-apa. Hanya seorang pria. Alan kemudian menurunkan kaca mobil hingga ia dapat melihat jelas sosok pria dengan dandanan kumal itu.
“Maaf mengagetkanmu!” ucap pria itu kemudian. “Aku sedang dalam masalah. Mobilku mogok, dan aku butuh tumpangan hingga kota terdekat. Jika kau tidak keberatan, boleh aku menumpang?”
Ada sedikit keraguan di dalam diri Alan ketika melihat pria itu. Ia sama sekali tidak menyadari kehadiran pria itu. Seolah pria itu baru saja muncul dari udara. Namun ketika Alan dapat memproses lebih lanjut apa yang terjadi, ia segera membuang perasaan aneh di dalam hatinya. Pria itu terlihat ‘normal’ menurutnya. Meskipun terlihat sedikit mencurigakan.
“Ya, tentu. Masuklah!” ucap Alan sedetik kemudian. Pria itu tersenyum, lalu masuk ke dalam mobil. Pria itu memakai sebuah mantel kulit yang terlihat basah kuyup. Sepertinya ia sudah berada cukup lama di tengah hujan.
“Terima kasih.” Ucap pria itu ketika ia sudah duduk di samping Alan. Alan hanya tersenyum, lalu menginjak pedal gasnya lagi.
“Apa yang terjadi? Kenapa dengan mobilmu?” tanya Alan beberapa menit kemudian. Disatu sisi ia merasa senang karena pada akhirnya ia memiliki teman untuk diajak bicara.
“Ah! Mobil tua. Mogok secara tiba-tiba. Aku sudah menunggu mobil lewat cukup lama. Tapi jalur ini sepertinya jalur yang jarang dilewati mobil. Lalu aku melihatmu. Aku merasa beruntung.”
“Ya. Jalurnya memang sepi.” Balas Alan.
Sempat terjadi keheningan selama satu menit. Yang terdengar hanyalah suara hujan yang menghantam atap mobil. Hingga akhirnya penumpang itu membuka mulutnya lagi.
“Jadi, kemana kau mau pergi?”
“Aku? Aku menuju Blackwood.”
“Blackwood?”
“Ya.”
“Kau tinggal disana?”
“Tidak.” Jawab Alan. “Pekerjaan. Aku penulis novel. Dan aku datang ke Blackwood untuk menemui fans dan melakukan tanda tangan.”
“Kau sudah pernah ke Blackwood sebelumnya?”
“Belum. Ini baru pertama kalinya.”
“Tapi kau sudah tahu soal Blackwood, ‘kan?” ucap pria itu. “Mengenai segala sesuatu yang terjadi di kota kecil itu?”
“Ya.” Balas Alan. “Mengenai cerita-cerita hantu, kisah misterius lainnya, dan kudengar ada maniak akhir-akhir ini. Sungguh, sebuah kota yang cocok untuk menulis cerita horor.”
“Kau tidak percaya dengan semua itu.” Ucap pria itu, seolah dapat membaca apa yang ada di dalam kepala Alan.
“Belum ada yang terbukti, ‘kan? Maksudku soal hantu atau kutukan-kutukan lain. Kurasa hanya hoax.”
“Tapi tidak dengan maniak itu.” Ucap pria rambut kumal itu dengan nada yang dalam dan serius. Untuk sesaat, Alan merasakan ada perasaan dingin mengalir di punggungnya. Entah karena apa. Ia biasanya tidak akan merinding hanya dengan mendengar cerita horor.
“Aku bisa memberikanmu keterangan mengenai maniak itu jika kau mau.” Ucap pria itu lagi. “Kau bodoh jika menganggap bahwa cerita itu hanya cerita bohongan.”
“Oh, ya?” balas Alan. “Bagaimana kau tahu bahwa cerita itu benar?”
“Karena aku pernah melihatnya dengan mata kepalaku sendiri.”

*

Alan menatap serius pada wajah kumal yang ada di sampingnya itu. Hingga akhirnya ia tersadar bahwa ia sudah terlalu lama mengalihkan perhatiannya dari jalanan yang ada di depannya. Dan seketika, Alan mengeluarkan tawanya. Sebuah tawa yang hampa, karena ia merasa antara percaya dan tidak dengan ucapan pria kumal itu.
“Aku tinggal di Blackwood.” Ucap pria itu kemudian. “Aku tahu dengan segala sesuatu yang ada di kota itu.”
Alan belum dapat mengucapkan apapun. Pikirannya bergerak dengan cepat. Haruskan ia mempercai ucapan pria itu? Atau pria itu hanya mencoba untuk menakutinya? Namun pada akhirnya Alan menerima kenyataan janggal itu, dan mengijinkan pria itu untuk bercerita. Ia hanya menganggap cerita ini sebagai cara untuk menghilangkan kebosanan.
“Segalanya berawal dari tragedi lebih dari dua puluh tahun yang lalu.” Ucap pria kumal itu memulai ceritanya. “Di sebuah kota kecil yang tenang, jauh dari keramaian, dan seolah polos tanpa dosa. Sebuah tragedi memilukan menjadi noda bagi kota Blackwood.
“Seorang remaja berusia lima belas bernama Eugene Handerson membantai seluruh anggota keluarganya di suatu malam berhujan. Jeritan memilukan korbannya ternggelamoleh suara guntur dan terpaan angin. Dan dari situlah cerita mengenai maniak ini dimulai.
“Eugene Handerson adalah seorang bocah yang sejak awal memiliki masalah dengan kejiwaan. Sejak kecil, Eugene sering diperlakukan kasar oleh ayahnya yang pemabuk dan ibunya yang bekerja sebagai seorang psk. Eugene adalah anak terakhir dari lima bersaudara. Dan keempat saudaranya pun memperlakukan Eugene sama buruknya dengan ayah dan ibunya. Eugene adalah anak yang pendiam dan tidak pernah menceritakan masalahnya pada siapapun. Ia menjadi anak yang pemurung, tertekan, dan kadang sering mengamuk dengan alasan yang tidak jelas. Mungkin kau bisa mengerti bagaimana rasanya hidup di tengah keluarga yang berantakan dan tidak pernah menyayangimu. Itulah yang terjadi pada soso Eugene.
“Di usianya yang kesepuluh ia secara tak sengaja menikam kakak perempuannya dengan obeng saat dia sedang dalam amukan amarah. Ayahnya meledak, kesal dengan apa yang sudah Eugene lakukan. Dan memutuskan untuk mengurung anaknya sendiri itu di ruang bawah tanah yang gelap selama sepuluh hari. Dan hanya memberikan anak itu makanan satu kali setiap harinya.
“Penderitaan Eugene seperti menumpuk selama tahun-tahun selanjutnya. Di usianya yang ketiga belas, ia mengikat keempat saudaranya dan melempar mereka ke ruang bawah tanah saat ibu dan ayahnya sedang pergi. Lagi-lagi Eugene harus menerima amukan amarah dari ayahnya. Kali ini ia diikat dengan rantai pada traktor di garasi, dan membiarkan Eugene berada di sana selama sehari.
“Dia tahun berikutnya, Eugene mendapatkan begitu banyak siksaan dari kedua orang tua dan keempat saudaranya baik secara fisik maupun psikologis. Kurasa hal itulah yang seolah mulai membangkitkan iblis yang tinggal di dalam tubuhnya. Di suatu malam yang dipenuhi dengan hujan dan angin, Eugene keluar dari garasi sambil membawa sebuah kapak, dan mengarah pada anggota keluarganya yang sedang makan malam. Dan kau tahu apa yang terjadi selanjutnya. Eugene membantai keenam orang itu dengan sadis. Kabar yang kudengar, ia memenggal kapala ibunya sendiri dan menancapkannya pada pagar rumah. Dan dia melakukan hal-hal yang tak dapat diucapkan pada anggota keluarganya yang lain. Eugene bahkan memasukkan jenasah ayahnya pada perapian dan membakarnya.
“Eugene tidak mencoba untuk lari setelah apa yang ia lakukan. Keesokan harinya, polisi datang setelah mendengar laporan dari warga mengenai kegaduhan yang terjadi di kediaman Handerson. Polisi menemukan kepala Ny. Handerson di pagar. Dan ketika mereka memasuki rumah, mereka merasa seperti masuk ke dalam naraka. Ruang tamu dan ruang makan berwarna merah dipenuhi dengan darah. Dan organ dalam manusia berceceran di segala tempat. Dan di perapian, jenasah Tn. Handerson ditemukan menghitam, terbakar.
“Eugene ditemukan duduk di kaki tangga. Ketika polisi mendekatinya dalam todongan pistol, Eugene hanya menyeringai dan tertawa. Dia sama sekali tidak mencoba melawan saat ditangkap. Kemudian di kantor polisi saat polisi menanyakan alasannya membantai keluarganya, Eugene hanya berkata, ‘Setan memintaku untuk melakukannya’. Eugene kemudian dinyatakan memiliki gangguan mental yang serius, kemudian dikirim ke sebuah penjara khusus pelaku kejahatan kelas kakap. Disana pun Eugene menjadi ancaman bagi narapidana lain. Ia tinggal di dalam sel khusus yang dijaga ketat oleh penjaga penjara.”
Alan mendengar cerita itu dengan perasaan berdesir di dadanya. Setiap kata yang keluar dari mulut pria itu terdengar begitu jahat dan mengerikan. Sesekali ia melirik ke arah pria itu. Berharap pria itu tertawa dan mengatakan bahwa semua yang dikatakannya hanyalah rekaan. Namun pria itu terlihat begitu serius.
“Lalu mengenai maniak yang sekarang?”
“Eugene berhasil meloloskan diri dari penjara itu.”
“Bagaimana?”
“Tidak ada yang pernah tahu soal itu, ‘kan?” balas pria itu sambil terkekah. “Tapi ini nyata. Dia ada diluar sana, menunggu korban selanjutnya.”
“Apa sudah ada korban sejak dia keluar dari penjara?” tanya Alan penasaran. Sebab yang ia dengar selama ini hanya rumor. Dan tidak pernah terbukti mengenai keberadaan Eugene.
“Sudah ada terlalu banyak korban selama dia keluar dari penjara.” Ucap pria itu. “Dalam perjalanannya pulang kembali ke Blackwood, ia membunuh beberapa orang yang ia temui. Namun bukan itu bagian yang mengerikan. Bagian paling mengerikan adalah caranya membunuh korban.”
“Bagaimana?”
“Pertama dia akan memancingmu untuk mengikutinya. Seolah Eugene adalah seseorang yang sedang berada dalam masalah dan membuuthkan pertolongan. Kemudian ketika ia merasa sudah cukup aman, dia langsung menyerang korban. Dia tidak langsung membunuh korban. Itulah bagian paling menariknya. Dia hanya akan menikammu beberapa kali di bagian tubuh yang tidak vital. Kaki, lengan, bahu, dan ia membiarkan korbannya menjerit dalam rasa sakit yangluar biasa saat Eugene perlahan merobek perut korban dengan senjata yang ia miliki. Eugene begitu menikmati setiap sensasi yang ia dapatkan ketika ia dapat mendengar korbannya menjerit dan tidak dapat melakukan apapun.”
Alan menggelengkan kepalanya. Hanya dengan membayangkannya saja ia merasa mual. Cerita dari pria itu benar ditail dan cukup kuat untuk bisa membuatnya muntah.
“Kenapa dia melakukan hal itu?” tanya Alan pada akhirnya. “Aku tahu dia benci dengan anggota keluarganya. Tapi kenapa ia membunuh orang-orang tak bersalah itu?”
“Satu hal yang Eugene sadari setelah membunuh anggota keluarganya adalah, ia mendapatkan kesenangan yang selama ini tidak pernah ia rasakan. Selama masa kecilnya ia terus berada dalam tekanan. Dan ketika ia dapat menyalurkan rasa sakit hatinya pada para korbannya, dia merasa begitu hidup. Dan dia sudah ketagihan dengan rasa menyenangkan itu. Jeritan pada korbannya, dan darah…”
Alan memproses sekali lagi seluruh kisah dari mulut pria itu. Benar-benar tidak terkira. Sepertinya memang cocok dijadikan plot untuk sebuah novel horor. Tapi, apakah semua cerita itu benar?
“Lalu dia kini berada di Blackwood?” tanya Alan.
“Dia kembali ke rumahnya.” Jawab pria itu. “Tapi kurasa dia tidak menetap di Blackwood saat ini. Ia mungkin sedang mengembara, menunggu korban selanjutnya.”
“Jadi ini kisah nyata?”
Pria kumal itu hanya menyeringai saat melihat raut ketakutan dan kecemasan di wajah Alan. Ya. Cerita itu memang membuat isi eprutnya berputar-putar. Tapi satu hal yang aneh adalah cerita dari pria kumal itu sendiri.
“Kenapa kau bisa tahu semua ini?” tanya Alan sedetik kemudian. “Seolah kau selalu berada di dekatnya setiap detik.”
“Oh, tidakkah aku memperkenalkan diriku?” ucap pria itu. Kedua mata Alan seketika membelalak dan dengan cepat menoleh pada pria yang ada di sampingnya itu. Sebuah pisau belati sudah berada di depan matanya. Pria kumal itu menyerangi sambil berkata,
“Namaku Eugene Handerson. Akulah pria dalam cerita itu.”

****


2 comments: