Friday, January 29, 2016

MISTERI HOTEL KOTA TUA

Mereka berkata,
“Harganya cukup murah untuk menginap semalam.”
Mungkin ucapan itulah yang membuat Elizabeth Dune memutuskan untuk tinggal di sebuah kamar hotel yang menurutnya terlalu biasa itu. Sebuah hotel dengan nama Diamond, adalah sebuah hotel kelas menengah yang ia dapatkan ketika ia mengunjungi Cherwood, sebuah kota tua yang terletak jauh di utara. Tapi, apa sebenarnya tujuan Elizabeth menginap di hotel itu?
Elizabeth merupakan seorang jurnalis bagi sebuah surat kabar yang sudah cukup terkenal di kotanya, Hauldnspring. Dan perjalanannya ke utara ini adalah salah satu upayanya dalam mencari berita, yang dapat ia rubah menjadi sebuah artikel menarik, seperti yang pernah ia lakukan di waktu-waktu sebelumnya. Namun ada satu hal yang menarik Liz untuk dapat ke kota itu. Yaitu mengenai legenda mengerikan yang melingkupi Cherwood, yang katanya sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu.
Jika dilihat-lihat, Cherwood tidak jauh berbeda dengan kota-kota lain. Kota itu memiliki jalur ekonominya sendiri. Kawasan industri, perumahan, dan distrik perbelanjaan. Semuanya komplit. Hanya saja, kota itu adalah kota tua yang jarang direnovasi. Bangunan-baungan dengan bata tua masih banyak berdiri di kawasan tengah kota. Dan hotel Diamond, merupakan salah satu peninggalan dari awal pada 20.
Hari itu merupakan hari pertama Liz menginap di hotel yang cukup murah itu. Tidak ada yang harus ia keluhkan mengenai pelayanan hotel atau semacamnya. Ada telepon di meja, yang dapat ia gunakan untuk memesan minuman atau makanan. Dan ia rasa, keadaan yang cukup tenang dapat membantunya dalam pekerjaan yang tengah ia lakukan.
Liz mencoba untuk mengorek misteri yang ada di Cherwood. Sejauh ini, ia sudah mendapatkan beberapa informasi menarik yang dapat ia sisipkan dalam artikelnya.
Cherwood dibangun sekitar tahun 1790, dimana kota ini dulu menjadi semacam kota singgah bagi orang-orang yang bergerak dari barat menuju New Himpton, di timur. Dan selain itu, Cherwood juga dikenal sebagai kota perdagangan.
Sejarah mengatakan, bahwa Cherwood pernah hampir hangus saat api melalap kota itu pada suatu malam tanggan 14 April 1850. Semua bagian kota itu hangus terbakar oleh api, dan yang tertinggal hanyalah batu-batu penyusun dindin bangunan yang selamat.
Cherwood kemudian secara perlahan dibangun kembali. Namun pembangunannya dipenuhi dengan berbagai masalah. Mengenai tanah, pajak, biaya untuk pembangunan, dan juga adanya sekte-sekte gelap yang mengatakan bahwa Cherwood terkutuk. Mereka mengatakan, kutukan itulah yang menyebabkan kebakaran besar di kota itu beberapa tahun yang lalu. Tapi, tentu saja masih banyak orang yang tidak mau percaya dengan takhayul seperti itu. Dan Cherwood berhasil diangun kembali, berdiri kokoh hingga abad-abad selanjutnya.
Cerita aneh yang Liz dengar mengenai Cherwood adalah, sering terjadinya penampakan di beberapa tempat kota tua itu. Ada yang mengatakan penampakan seekor anjing di pemakaman, lalu seorang gadis yang duduk di ayunan taman tengah kota, dan ada pula yang mengatakan bahwa kadang jam besar yang ada di menara balai kota bergerak mundur satu menit setiap tanggal 14, bulan April. Tidak ada yang pernah tahu mengenai alasan dibalik kemisteriusan jam besar itu. Ada yang mulai mengaitkan, bahwa mungkin arwah dari para penduduk yang terbakar kala itu masih menempati Cherwood hingga detik ini.
Liz, sebenarnya bukanlah seorang penulis cerita horor atau misteri. Namun ada permintaan pada redaksi dimana ia bekerja, untuk membuat sebuah kolom misteri dimana penduduk Hauldnspring menyukainya. Dan Liz mendapatkan tanggung jawab untuk menuliskan hal tersebut.
Liz masih duduk di depan komputernya di kamar hotel Diamond yang ia tempati. Jemarinya sudah siap untuk mengetik, namun berkali-kali ia terhenti saat ia seperti mendengar sebuah suara bisikan dari sebelahnya. Ia menolah berkali-kali, namun ia tidak melihat apapun. Hingga sore menjelang, Liz tidak dapat menuliskan satu katapun di komputernya.
Liz memutuskan untuk makan di restoran bawah hotel tersebut. Disana ia bertemu dengan seorang pria yang kebetulan saja bersanding dengannya. Pria tua itu mulai menceritakan segala hal mistis yang ada di Cherwood, seperti apa yang sudah Liz dengar.
“Mengenai hotel ini?” tanya Liz dengan santai. Ia tidak berpikir bahwa hotel yang ia tempati berhantu.
“Banyak pendapat mengenai hal itu.” Ucap sang pria tua sambil menggaruk-garuk dagunya yang ditumbuhi sedikit jenggot. Kedua matanya mendelik ke arah Liz.
“Ada alasan kenapa harga inap semalam di hotel ini begitu murah, ‘kan?”
Liz kembali ke kamarnya begitu perutnya kenyang. Dan siapa sangka bahwa ia mulai dapat menuliskan apa yang ada di pikirannya. Jemari tangannya itu berdansa diatas keyboard tanpa henti, dengan kedua mata terus terpicing ke arah layar monitornya yang menyala, menjadi satu-satunya penerangan di kamar yang ia biarkan gelap.
Tanpa ia sadari, jarum jam telah menunjukkan pukul sebelas malam. Namun ia belum merasakan lelah sedikitpun. Karena ia sudah terbiasa menulis artikel panjang, jadi tidak masalah baginya.
Liz terpaksa harus mengalihkan perhatiannya sejenak dari artikel yang tengah ia tulis saat sekali lagi ia mendengar suara bisikan di telinganya. Terdengar begitu jelas, bahkan ia sempat merasakan hembusan angin tipis di telinga. Namun siapa? Dia sendirian di kamar itu. Dan tidak mungkin ada orang lain, ‘kan?
Hantu?
Liz tertawa seketika. Yang benar saja! Hantu tidak dapat bernafas, ‘kan? Seharusnya ia tidak setakut itu. Ia tahu bahwa segala cerita buruk mengenai hantu dan monster berawal dari kekuatan imajinasi seseorang yang dapat terproyeksi melalui cerita mereka. Hantu, tidak pernah ada.
Liz memutuskan untuk menyudahi pekerjaannya saat waktu semakin larut. Ia tutup komputernya, lalu naik ke atas tempat tidur. Ia membiarkan kamarnya dalam keadaan gelap. Karena ia suka dengan suasana gelap dan tenang. Dan dalam beberapa detik, ia jatuh ke dalam alam bawah sadarnya.
Liz tiba-tiba saja terbangun saat ia mendengar suara benda jatuh. Kedua matanya terbuka, namun ia berada di tengah kegelapan yang tak memungkinkan dirinya untuk melihat. Ia arahkan tangannya ke arah samping tempat tidur dan meraih tali lampu. Sedetik kemudian, kamarnya itu telah diterangi oleh cahaya temaram yang terasa hangat.
Apa yang terjatuh?
Liz bangkit dari tempat duduknya lalu memandangi sekitar tempatnya duduk. Tidak ada yang aneh dengan kamar yang ia tempati. Tasnya masih berada di dekat lemari. Dan laptopnya masih ada di atas meja, seperti saat tadi ia tingalkan. Lalu suara apa itu?
Liz berpikir, mungkin suara itu berasal dari kamar sebelah. Ya. Sejak siang tadi ia memang mendengar tawa gadis-gadis dari kamar sebelah. Mungkin anak kuliahan yang menginap disana. Dan jujur saja, Liz merasa sedikit terganggu dengan tawa-tawa melengking itu.
Liz kembali berbaring dan melingkar di bawah selimutnya. Ia matikan lampu, dan kembali tidur. Hanya saja, baru beberapa menit ia bisa masuk ke dalam mimpi, suara itu terdengar lagi.
“DUK!!”
Liz seketika membuka kedua matanya. Dengan cepat ia tarik tali lampu, dan terang. Tidak. Tidak ada yang berubah dan tidak ada yang jatuh di kamarnya. Apakah ulang siswi-siswi itu lagi?
Liz bangkit lagi dari tempat tidurnya. Kemudian ia coba dengar suara di kamar sebelahnya, yang tidak ia duga, terlalu sunyi. Memang Liz tidak begitu yakin dengan teorinya bahwa suara benda jatuh itu berasal dari kamar sebelah. Namun ia yakin ia sempat mendengar tawa-tawa kecil sore tadi.
Liz yang akan beranjak dari tempat tidur melonjak kaget saat tiba-tiba saja suara benda itu datang lagi. Terdengar bunyi ‘DUK’ yang amat keras sampai-sampai dinding kamarnya itu bergetar. Liz mendungus kesal. Ya. Pasti ulah siswi-siswi di kamar sebelah.
Ia meraih gagang telepon lalu menghubungi bagian resepsionis. Ia katakan segala hal yang baru saja ia dengar, bahwa ada suara-suara tidak menyenangkan dari kamar sebelahnya.
“Anda yakin nomor kamar Anda 306?” tanya sang resepsionis seolah tidak percaya.
“Ya.” Jawab Liz. “Dan siswi-siswi yang menginap di kamar sebelah, kamar 307, mereka mengganggu. Ini sudah pukul satu dinihari tapi aku masih mendengar canda tawa mereka.”
Ya. Liz memang mendengarnya lagi. Beberapa saat setelah suara ‘DUK’ itu, ia mendengar tawa gadis. Dia tidak tahu ada berapa banyak gadis yang menginap di kamar sebelahnya itu.
“Maaf, Nyonya!” ucap sang resepsionis kemudian. “Tapi kami tidak memiliki tamu untuk kamar 307 hari ini. Mungkin ada salah dengar?”
“Tidak mungkin.” Bantah Liz. “Aku mendengarnya dengan sangat jelas.”
“Mungkin dari kamar 305?”
“Bukan.” Ucap Liz.
Liz menutup telepon saat ia tidak bisa lagi menjelaskan. Suara gadis-gadis itu masih terdengar cukup jelas, dan beanr-benar mengganggu. Liz tidak akan tinggal diam. Ia keluar dari kamarnya lalu mengarah ke kamar 306 yang ada di sebelah. Ia ketuk pintunya berkali-kali tapi tidak ada jawaban. Hingga akhirnya, Liz berteriak dengan suaranya.
“Maaf! Kalian bisa tenang sedikit? Ini sudah larut malam.”
Seketika, suara tawa itu terhenti. Namun sama sekali tidak ada respon dari dalam ruangan itu. Gadis-gadis itu mungkin merasa tidak enak dengan apa yang sudah mereka lakukan.
Liz kembali masuk ke dalam kamarnya. Gangguan yang ia rasakan malam itu membuatnya tidak dapat kembali tidur. Maka ia putuskan untuk membuka kembali laptopnya dan melanjutkan pekerjaannya sore tadi.
Liz duduk tenang di kursinya selama kurang lebih setengah jam. Suara benda itu sudah berhenti, begitu pula dengan suara tawa gadis-gadis itu. Ia akhirnya bisa merasa tenang. Namun, detik berikutnya…
“Astaga!”
Liz melonjak kaget saat ia mendengar suara yang cukup jelas di telinga kanannya. Seperti sebuah bisikan, yang mengatakan kata ‘Halo’ yang tidak begitu jelas. Namun memang terjadi.
Liz memandang ke arah sekitarnya. Tidak. Tidak ada apa-apa di dalam kamarnya. Hanya ada dia, dan beberapa perabotan. Lalu, darimana suara itu berasal?
Liz mulai merasakan bulu kuduknya meremang. Suasananya entah kenapa menjadi sedikit dingin. Ia seperti merasakan hembusan angin. Padahal jendela kamarnya terkunci dengan rapat. Untuk sesaat, Liz melupakan pekerjaannya.
Liz kembali melonjak saat tiba-tiba saja lampu di kamarnya berkedip dengan sangat cepat. Mati, hidup, mati, dan hidup lagi. Di sela-sela kedipan itu, ia merasakan adanya kehadiran sesuatu di kamarnya. Ia tidak dapat mengatakannya dengan jelas. Namun memang ada sesuatu yang mengawasinya.
Lampu kembali berkedip, dan Liz berteriak seketika dan nyaris terjatuh dari kursi yang ia duduki. Selama sedetik, ia dapat melihat sosok seorang gadis berdiri di kaki tempat tidurnya, memandangnya dengan tatapan mata merah. Liz tidak tahu kenapa hal itu terjadi. Ia tidak ingin mempercayainya, namun hal itu nyata.
“Apa itu?” Liz bertanya-tanya. Ia tak bisa beranjak dari kursinya. Tatapan kedua matanya terpaku pada kaki tempat tidurnya. Sosok itu, menghilang. Namun detik berikutnya, lampu kembali berkedip. Dan sosok gadis kecil itu muncul kembali di disertai dengan sebuah suara berbisik, yang mengucapkan kata ‘Tolong’, di telinganya. Sosok itu menatapnya lagi dengan tatapan kedua mata merahnya. Liz hanya dapat duduk. Tubuhnya kaku, dan ia heran kenapa ia belum juga pingsan.
Sosok itu perlahan mendekat, dan Liz secara spontan meraih benda yang ada di jangkauannya, dan melemparkannya ke arah gadis itu.
“BRAK!!”
Suara benturan keras terdengar saat benda yang Liz lemparkan mengenai sosok itu, namun tembus dan menghantam tembok. Seketika, sosok itu menghilang dan lampu kembali menyala normal.
Liz nyaris beku akibat dari rasa takutnya. Ia sadari sedetik kemudian, bahwa ia telah melemparkan laptopnya. Yang kini hancur  berantakan memenuhi lantai. Namun bukan hal itu yang menarik perhatian Liz. Bekas benturan di dinding kamarnya itu meninggalkan sebuah lubang menganga, dan ada sesuatu terlihat di baliknya. Liz bangkit dari kursinya, dan bergerak ke arah lubang itu.
Lubang yang kecil itu tidak dapat memperlihatkan apa yang ada di baliknya. Liz menggunakan kekuatan kedua tangannya itu membongkar dinding itu, sedikit-demi sedikit, hingga akhirnya…
“OH! ASTAGA!”
Sebuah benda panjang berwarna putih kotor terlihat menjulur keluar dari lubang yang ia gali. Dan Liz tahu benar dengan apa yang ia lihat. Benda putih itu adalah tulang tangan manusia.

**

Tiga puluh menit setelah penemuan Liz atas jasad yang terkubur di dalam dinding kamar hotel itu, polisi mulai berdatangan. Mereka mulai melakukan penggalian pada dinding kamar 306, dan menemukan kerangka seorang gadis kecil dengan pakaian yang sepertinya berasal dari puluhan tahun yang lalu.
Liz tidak peduli lagi dengan laptopnya yang hancur berantakan. Ia terduduk di kursi lobi, saat pria tua yang ia temui saat makan malam datang lagi. Pria itu duduk di samping Liz, dan memberikan tepukan di punggung wanita itu seolah Liz adalah teman terdekatnya.
“Kenapa?” gumam Liz. Ia belum sepenuhnya pulih dari shock yang ia rasakan.
“Kau telah membantu gadis itu.” Ucap sang pria tua. “Mungkin gadis itu hanya ingin keluar dari tempat ini. Dimana ia terperangkap, dan tidak bisa pergi dari dunia ke tempat seharusnya.”
“Siapa yang tega melakukan hal itu?” tanya Liz seketika. “Kasus pembunuhan? Kapan?”
“Nama gadis itu adalah Sarah.” Ucap sang pria tua. “Dia menghilang sejak 3 September, tahun 1950. Terakhir kali gadis itu terlihat berada di taman bermain yang tidak jauh dari hotel ini. Aku masih tidak tahu kenapa gadis itu dibunuh dan disembunyikan. Pastinya, ini kasus yang aneh.”
“Dia…, meminta tolong padaku.” Ucap Liz dengan nada bergetar. “Dia…, berbicara denganku.”
“Dia mungkin akan datang lagi.” Ucap pria tua itu. “Untuk mengucapkan rasa terima kasihnya padamu, karena kau telah membebaskannya.”
“Benarkah?”
Pria tua itu hanya tersenyum. Ia kemudian bangkit dari tempatnya duduk, dan pergi meninggalkan Liz. Liz baru menyadari kemudian bahwa cara berpakaian pria tua itu sedikit aneh. Pakaiannya terlalu kuno.
“Siapa nama Anda?” teriak Liz. Pria tua itu memutar tubuhnya, lalu tersenyum lagi. Dengan pelan ia menyebutkan namanya,
“Anthony McBride.”
Liz terpaku, hingga akhirnya sosok pria tua itu menghilang dari pandangan. Liz kembali melamun dan masih memikirkan mengenai sosok yang menjumpainya malam itu.
“Nyonya Dune?” ucap salah seorang polisi yang datang menghampirinya. Liz menganggukkan kepalanya.
“Ada beberapa pertanyaan yang harus Anda jawab. Sebaiknya Anda ke kantor polisi.”
“Bagaimana dengan jasad itu?” tanya Liz.
“Kami sedang menyelidikinya.” Ucap sang polisi. “Tapi berdasarkan liontin yang ada di kerangka itu, kami yakin bahwa gadis itu adalah gadis yang menghilang puluhan tahun yang lalu. Sarah McBride. Kasus menghilangnya gadis itu tidak pernah terpecahkan. Kami tidak pernah mengira bahwa ia akan dikubur di dinding gedung ini.”
“Mengenai hal itu…”
“Gedung ini memang ada dalam tahap pembangunan di tahun 1950. Dan kurasa, sang pelaku menggunakan kesempatan itu untuk menyembunyikan jasad korban. Kini kami tinggal mengurus hal selanjutnya. Menghubungi keluarga korban, jika masih ada.”
“McBride?” ucap Liz seketika dengan kening berkerut. “Aku baru saja berbicara dengan seorang McBride. Mungkin dia keluarga korban.”
“Siapa namanya?”
“Anthony. Anthony McBride.”
“Anda yakin?”
“Ya. Aku sempat bertanya namanya.”
Polisi itu hanya menganggukkan kepalanya sambil menuliskan sesuatu di buku catatan yang ia bawa. Ia mengangguk, kemudian pergi dari hadapan Liz.
Liz mendatangi kantor polisi malam itu juga. Ia mendapatkan beberapa pertanyaan yang berkaitar dengan penemuan jasad Sarah McBride. Dan di bagian akhir, polisi yang bertugas mengajukan pertanyaan padanya mengucapkan sesuatu yang sedikit aneh pada Liz.
“Anda tahu siapa Anthony McBride?” tanya polisi itu.
“Tidak.” Jawab Liz sambil menggeleng.
“Inikah Anthony McBride yang Anda lihat beberapa jam yang lalu?”
Polisi itu mengangkat sebuah foto seorang pria dalam balutan jas, yang terlihat begitu perlente. Dan Liz yakin seratus persen bahwa memang pria itu yang ia lihat. Tapi apanya yang aneh?
“Aku tidak dapat mempercayainya.” Ucap polisi itu. “Anthony McBride adalah walikota Cherwood di tahun 1940. Dia adalah kakek dari Sarah McBride. Jasad yang baru saja Anda temukan. Anehnya, dia sudah meninggal puluhan tahun yang lalu. Lalu kenapa Anda mengatakan bahwa Anda baru saja bertemu dengan pria ini?”
Mulut Liz terbuka lebar setelah mendengar keterangan itu. Pria itu sudah meninggal? Jadi apa yang Liz lihat sore tadi adalah arwah dari pria itu?
Liz pergi meninggalkan kantor polisi saat matahari mulai terbit. Dan kini ia mulai percaya bahwa Cherwood memang sebuah tempat yang penuh dengan teka-teki dan misteri, selain kenyataan bahwa tempat itu juga penuh dengan hal mistis.
Liz kehilangan laptopnya, namun tidak dengan data yang untungnya ia simpan di flashdrive. Liz masuk ke dlam mobilnya, dan bersiap untuk pergi dari tempat itu. Ketika tiba-tiba saja ia melihat bayangan dari kaca spion, bahwa ada seseorang yang duduk di bangku belakang. Liz memutar tubuhnya seketika, dan ia lihat gadis kecil itu. Sarah McBride, yang kemudian mengucapkan,
“Terima kasih, Liz.”

***

No comments:

Post a Comment