Thursday, January 4, 2018

THE RING



James Sunderlan dan temannya Robert memandangi cincin bermata zamrud itu dengan tatapan nanar. Mereka masih tidak percaya bahwasanya pencarian harta karun mereka berhasil. Memang bukan sebuah petualangan yang penuh bahaya untuk mendapatkan harta itu. Namun tetap saja, mereka menganggap petualangan mereka mendebarkan dan asyik.
Mereka pada awalnya hanya mendapatkan sebuah surat lama yang ditemukan di salah satu loteng tempat tinggal mereka. Di dalam surat itu dikatakan mengenai adanya harta terpendam dari seorang konglomerat di abad 19 bernama Morrison, yang meninggalkan surat itu untuk keturunannya. Sayangnya, alur keluarga Morrison tidak begitu berhasil, dan tidak ada satuorang pun yang mengklaim surat berharga itu. Hingga pada akhirnya rumah tua itu jatuh ke tangan Sunderlan, dan Sunderlan kemudian menemukan surat itu.
Surat itu mengantarkan mereka pada sebuah tempat jauh di pedalaman Norlandia, dimana mereka ahrus berkendara selama belasan jam dan harus berjalan kaki memasuki hutan. Disana kemudian mereka menemukan adanya sebuah rumah tua yang sudah ada sejak abad ke 17, yang dulu adalah milik alur keluarga Morrison. Surat itu kemudian menunjukkan bahwa ada sebuah benda berharga di dalam rumah itu. Yang kemudian James dan Robert temukan di dalam sebuah kotak kayu tua yang tersimpan di papan bawah lantai. Di dalam box itu, terdapatlah cincin bermata zamrud itu. Hanya itulah satu-satunya benda berharga yang dapat mereka temukan dalam penjelajahan mereka.
“Cincin ini begitu berharga.” Ucap Robert sambil sekali lagi memutar-mutar cincin bermata hijau itu di tangannya.
“Aku sudah membaca segala hal mengenai Morrison, kau tahu? Keluarga itu adalah keluarga yang cukup makmur dan kaya di zamannya. Aku hanya tidak mengira mereka hanya meninggalkan cincin ini.”
“Mungkin mereka telah menjual yang lain ketika kemerosotan ekonomi menyerang Sherland dan Norlandia di abad 19. Itu sebabnya tidak ada benda lainnya.”
“Mungkin kau benar.” Ucap Robert.
James tersenyum senang. Meski hanya mendapatkan satu cincin, ia merasa begitu bahagia bisa memegang benda yang sudah berusia ratusan tahun itu. Ia masih tidak tahu apa yang akan ia lakukan pada cincin tua itu.
James dan Robert saat itu berada di sebuah bar kecil yang terletak tidak jauh dari Arcadia dimana James tinggal. Keduanya tengah merayakan keberhasilan mereka dalam menemukan cincin itu.
“Apa yang akan kau lakukan dengan cincin ini?” tanya Robert. “Menjualnya? Kurasa kau akan bisa mendapatkan beberapa juta untuk zamrud ini.”
“Entahlah, Rob.” Balas James. “Aku masih terpikat oleh daya tarik cincin ini. Mungkin untuk sementara aku akan menyimpannya. Mungkin memakainya, dan memamerkannya pada kekasihku.”
“Kau bukan tipe orang seperti itu, ‘kan, Jim?”
“Mungkin.” Balas James sambil tertawa. Ia masih terus mengamati cincin yang berkilau di bawah cahaya lampu temaram di bar itu.
“MEMATIKAN!!”
James nyaris saja melempar cincin yang ada di tangannya saat teriakan itu muncul di sisi kepalanya. Ia kemudian melihat ada seorang wanita tua berkeriput yang tengah mengamatinya melalui kaca mata kotak yang wanita tua itu kenakan. Wanita tua itu memandang lurus ke arah cincin yang berada di tangan James.
“Mematikan!” ucap wanita itu lagi dengan satu desisan nafas melalui bibirnya yang berkerut.
“Maaf?” ucap James. “Aku tidak tahu maksud Anda dengan…”
“Sebaiknya kau buang benda itu sekarang, nak!” ucap wanita tua itu dengan nada dalam. “Aku merasakan sebuah aura negatif dari benda itu. Benda itu terkutuk! Mematikan!”
“Sudahlah!” ucap Robert sambil mendengus. “Kau tidak tahu apa-apa soal cincin ini, wanita tua.”
“Kau sudah kuperingatkan!” ucap wanita itu. “Mematikan! Sungguh mematikan! Kau harus membuangnya!”
Wanita itu pada akhirnya pergi meninggalkan meja James dan Robert. Robert seketika tertawa setelah wanita itu pergi. Mungkin Robert menganggap ucapan wanita tua itu lucu atau semacamnya. Tapi James, entah kenapa, merasa bahwa apa yang wanita tadi ucapkan bukanlah main-main.
“Tidak lucu.” Ucap James. Robert seketika menutup mulutnya, dan memandang aneh ke arah temannya itu.
“Kenapa denganmu, Jim?” tanyanya. “Kau tidak mempercayai ucapan wanita tua itu begitu saja, ‘kan? Soal kutukan dan segalanya, hanyalah…”
“Entahlah, Rob.” Balas James cepat. “Benda ini sudah ratusan tahun. Mungkin memang ada kutukan atau semacamnya.”
“Kutukan yang bisa membuatmu kaya, kurasa.” Ucap Robert. James hanya mengangguk sambil menertawakan dirinya sendiri yang sudah terlalu serius menanggapi ucapan wanita tua itu tadi. Cincin itu, jika ia lihat-lihat, terlihat begitu biasa. Hanya cincin antik. Tidak ada kutukan atau semacamnya. Bukan begitu?
“Oh, lihat!” ucap James setelah ia mengenakan cincin itu di jarinya. Batu zamrudnya terlihat begitu mengkilap di bawah cahaya temaram ruangan itu.
“Cocok sekali.” Ucap Robert. “Bahkan kekasihmu tidak pernah memiliki cincin semahal itu.”
“Lihat waktunya!” ucap James tiba-tiba saat ia secara tidak sengaja melirik ke arah jam tangannya. Jarum jam telah menunjukkan pukul sebelas malam.
“Aku harus pulang.” Ucap James seraya bankit dari kursinya. “Besok aku ahrus bekerja, dan aku tidak mau terlambat bangun.”
“Jaga cincinnya baik-baik, Jim!” ucap Robert. James merasa ia tidak perlu diberitahu soal hal itu. Ya. Ia akan menjaga cincin itu baik-baik.
Hujan ternyata turun dengan deras saat ia keluar dari bar itu. James langusng saja masuk ke dalam mobilnya dan segera melesatkan mobilnya itu menembus jalanan sepi yang akan mengantarkannya kembali ke apartemennya di Arcadia.
Suara radio mengalun di sepanjang perjalanan. James berusaha sekuat tenaga untuk tidak membiarkan matanya tertutup, karena entah bagaimana ia merasa begitu mengantuk. Ia berkali-kali nyaris menurutpkan matanya dan mobilnya itu nyaris terperosok masuk ke dalam parit di sisi jalan. Namun ia masih dapat mengendalikannya.
Sebuah lago rock 80-an mengalun dari radio. Yang secara aneh mengantarkan James masuk ke dalam alam bawah sadarnya. Namun seketika ia mendapatkan sebuah kilasan tepat di depan matanya, dan ia membating setirnya ke kiri.
“SIALAN!!” umpatnya saat ia nyaris saja menabrak sebuah truk yang melaju kencang ke arah berlawanan. Jantung James berdegup kencang saat ia berhenti tepat di tepi jalan, nyaris mati.
“Fokus, James!” ucapnya pada dirinya sendiri sambil menepuk dahinya. Ia nyaris saja mengalami sebuah kecelakaan yang fatal.
James mematikan radio mobilnya seketika. Mungkin terlalu banyak lagu membuatnya mengantuk. Sedetik kemudian, ia melanjutkan perjalanannya lagi.
Ucapan dari wanita tua di bar itu tadi tiba-tiba saja memenuhi kepalanya. Mengenai peringatan yang diberikan oleh wanita tua itu, mengenai bahaya yang mematikan. Dan ia baru saja hampir mati tertabrak truk. Apakah ada kaitannya dengan cincin yang ia kenakan?
James mencoba melepaskan cincin zamrud itu begitu sampai di kamar apartemennya. Sayangnya, cincin itu melekat dengan begitu kuat di jarinya. Seolah jarinya membengkak dan tidak dapat melepaskan cincin itu. James mengerang sambil mencoba memutar cincin itu, namun cincin itu tidak bergeming.
“Persetan!” ucap James. Ia tidak peduli lagi jika cincin itu memang tidak bisa dilepas. Atau mungkin besok pagi, ia akan menggunakan sabun untuk melepaskan cincin itu. Untuk saat ini, yang ia perlukan hanyalah tidur karena matanya sudah begitu mengantuk.
James tidak tahu sudah berapa lama ia tertidur. Namun tiba-tiba saja ia terbangun dengan kepala yang rasanya begitu sakit. James mengerang sambil menjambaki rambutnya sendiri. Pandangannya kabur di tengah kegelapan kamarnya, dan kepalanya serasa ada yang memukuli dari dalam.
James bangkit ke posisi duduk, dengan masih merasakan rasa sakit yang luar biasa di kepalanya. Dan tiba-tiba saja dari ujung matanya ia dapat melihat sebuah bayangan bergerak dari ujung kamar ke arahnya. James berjingkat, mengira bahwa ada pencuri. Akan tetapi bayangan itu seketika hilang dari pandangannya. Ia menolah-nolehkan kepalanya, namun bayangan hitam itu telah menghilang.
James mengerang kembali saat salah satu jarinya terasa begitu panas. Cincin zamrud yang ia pakai itu seolah terbuat dari silet, yang dengan eprlahan mengiris jemarinya. Ia pandangai cincin yang masih melingkar di jarinya itu, namun tidak ada satupun luka yang terlihat. James, sekali lagi, mencoba untuk melepaskan cincin itu. Namun usahanya tidak berhasil. Ia juga sudah mencoba ke kamar mandi dan mencoba untuk melepaskan cincin itu dengan sabun. Namun usahanya sia-sia saja. Cincin itu tidak bisa terlepas dari jarinya.
Ia kembali tidur, dan mencoba untuk menahan rasa sakit yang ada di kepala dan jarinya itu. Namun baru beberapa menit berlalu, ia mengalami sebuah mimpi yang cukup aneh dan membuatnya bertanya-tanya. Bayangan mengenai wanita tua itu muncul lagi di dalam tidurnya. Wajah yang berkerut itu terlihat menyeringai ke arahnya, dengan tatapan tajam mengarah pada matanya.
“MEMATIKAN!!” ucap wajah berkerut itu lagi. “Cincin itu terkutuk! Kau harus membuangnya!”
James mencoba bergerak, namun tiba-tiba saja ia terbangun dengan jantung berdegup dengan kencang. Untuk sesaat ia seperti melihat kembali bayangan hitam yang muncul dari ujung kamarnya itu. Yang pada akhirnya hanya menghilang begitu saja. Jarum jam sudah menunjukkan pukul empat pagi, dan James tidak bisa menutup matanya kembali.
Selama seharian setelah itu ia selalu mencoba untuk melepaskan cincin yang ada di tangannya. Namun usahanya selalu sia-sia. Dan dari apa yang sudah ia alami, sepertinya ucapan wanita tua di bar itu benar. Cincin itu mungkin terkutuk.
Ada beberapa kejadian aneh yang terjadi semenjak ia bangun pagi tadi. Saat ia mandi, ia hampir saja terpeleset sabun dan jatuh mmebentur wastafel. Saat ia bekerja, ia secara tidak sengaja menjatuhkan benda berat yang ia angkat, yang kemudian menjatuhi kakinya. Belum lagi saat makan siang, ia hampir tersedak tanpa alasan yang jelas. Semua hal itu sudah cukup bagi James untuk menyimpulkan bahwa apa yang diucapkan oleh wanita tua itu benar.
“Terkutuk.” Ucap James pada Robert yang ia temui sore harinya. Robert terdengar mendengus, masih tidak percaya dengan apa yang James ucapkan.
“Kau hanya mengada-ada, Jim.” Ucapnya. “Tidak mungkin cincin itu terkutuk, ‘kan? Kau terlalu memikirkan ucapan wanita tua itu.”
“Ini serius, Rob!” ucap James. “Semalam aku hampir menabrak truk. Malam tadi tidurku terganggu, dan kejadian-kejadian selama hari ini…, aku tidak bisa menjelaskannya.”
“Kita tunggu saja!” ucap Robert. “Mungkin kini kau bisa melepaskan cincin itu?”
James mencoba kembali dengan sekuat tenaganya, namun cincin itu masih melekat dengan begitu erat pada jarinya. Entah kenapa jarinya seolah membesar tanpa alasan yang jelas.
James kembali ke apartemennya masih dengan berjuta pertanyaan berputar di dalam kepalanya. Segala sesuatunya mengarah pada cincin zamrud itu. Yang dalam seharian hampir saja merenggut nyawanya. Ia tidak tahu apakah ia bisa bertahan lebih lama jika ia terus memakai cincin itu.
Karena rasa penasarannya, James melakukan browsing di internet. Ia mencari tahu segala hal mengenai cincin zamrud milik Morrison itu. Dan ia memang menemukan beberapa info penting yang mungkin dapat membantunya.
Morrison dikabarkan mendapatkan cincin itu di abad ke 17, saat keluarga Morrison masih menjadi keluarga terpandang di Norlandia. Cincin itu adalah semacam peninggalan keluarga, yang diturunkan turun temurum melalui alur keluarga Morrison. Pemilik terakhir dari cincin itu adalah Albert Morrison, yang tinggal di Norlandia pada abad ke 19. Namun setelahnya, cincin itu dikabarkan menghilang. Dan tidak ada yang tahu lagi hingga James menemukan surat di loteng rumah itu.
James memang mendapatkan cerita sejarah dari cincin terkutuk itu. Namun tidak ada satupun cara untuk dapat melepaskan cincin atau kutukan dari cincin itu. Tidak ada jalan keluar. James merasa ia sudah mendapat jalan buntu bagi masalahnya.
Malam harinya ketika ia tidur, ia kembali diganggu oleh bayangan-bayangan aneh yang selalu muncul dari sudut kamarnya itu. Sebuah bayangan tinggi, yang bergerak perlahan ke arahnya saat ia mencoba untuk memejamkan mata.
Rasa sakit di kepalanya pun muncul kembali berulang-ulang. Dari jarinya yang memakai cincin seolah-olah dipotong secara perlahan oleh suatu benda yang tidak terlihat.
“TIDAK!!!!” James mengerang sambil mencoba mencabut cincin itu. Namun usahanya lagi-lagi tidak berhasil.
“Kembalikan….” Desis sebuah suara tanpa sumber yang jelas. James mendengarkannya saat kepalanya serasa mau pecah. Apakah apa yang ia dengar benar? Atau ia hanya berkhayal?
“Lepaskan cincin itu…” desisi suara itu lagi. Yang semakin lama semakin terdengar dengan jelas. “Cincin itu… lepaskan…”
“DIAM!!!” James berteriak pada sebuah cermin yang seolah tertawa padanya. Dan tiba-tiba saja, cermin itu bergetar. Kemudian…
PRANG!!
Cermin itu hancur berkeping-keping tanpa alasan yang cukup jelas. James harus menggunakan lengannya untuk menutupi wajahnya, namun usahanya sedikit terlambat. Beberapa pecahan kaca berhasil mengenai wajah dan lengannya, yang kini berdarah akibat dari pecahan kaca itu.
“Kembalikan….” Desis suara itu lagi. James memutar-mutar tubuhnya, di tengah kegelapan kamarnya. Dan sekali lagi ia melihat bayangan hitam itu muncul dari sudut kamarnya, bergerak ke arahnya, dan James seketika merasa seperti dicekik.
James berguling-guling di lantai saat ia merasa seperti ada sebuah tali yang mencekik lehernya. Ia tidak bisa bernafas, dan kepalanya serasa mau pecah. Seeprti ada palu yang memaku ke arah kepalanya.
“TIDAK!!!!” teriak James sambil memegangi lehernya. Ia mengerang, mencoba untuk berdiri namun ia selalu kehilangan kekuatannya. Dan seketika ada bayangan wajah wanita tua itu di depan kedua matanya. wajah itu berkata,
“Hancurkan cincin itu! HANCURKAN!!!”
James tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Jika ia tidak bisa melepaskan cincin itu, bagaimana mungkin ia bisa menghancurkannya. Keculai, ada satu hal esktrim yang harus ia lakukan untuk bisa melepaskan cincin itu dari jarinya.
“Potong! Potong!” ucap sebuah suara di kepalanya. James tidak suka dengan ide itu. Namun penderitaan yang ia alami saat memakai cincin itu memang sudah benar-benar tidak bisa ia tahan. Ia harus melakukannya. Ia harus memotong jarinya sendiri.
James mencoba untuk bergerak meski kaki tersa begitu berat. Ia mengarah ke dapur, dan mengambil sebuah pisau daging besar yang biasanya jarang ia gunakan. Ia akan menggunakannya malam itu, untuk memotong jarinya sendiri. Namun ia masih dipenuhi dengan keraguan. Apakah keputusannya itu adalah keputusan yang bijaksana? Ia tidak dapat menemukan cara lain untuk melepaskan cincin itu dari jarinya.
“Aku harus memotongnya.” Ucap James di telepon. Di tangannya sudah terdapat pisau daging itu, dan di tangan yang lain memegang ponselnya. Ia menghubungi Robert sebelum memotong jarinya sendiri. Berharap Robert dapat memberikan alternatif lain, tapi…, tidak.
“Aku harus memotongnya, Rob!” ucap James sambil masih terus menahan rasa sakit di jari dan kepalanya. Pandangannya terasa kabur untuk sesaat, dan ia merasa melihat sosok bayangan itu lagi.
“Aku harus!” teriak James. “Cincin ini terkutuk! Aku menyesal menemukannya! Kini aku harus mengakhirinya.”
“Jim, pikirkan baik-baik…”
“Tidak ada cara lain, Rob!” teriak James. “Aku harus melakukannya.”
“James! James!”
Robert berteriak di telepon, mencoba menghentikan usaha kawannya untuk memotong jarinya sendiri itu. Namun James sudah membulatkan tekadnya. Jika ia ingin selamat dari kutukan cincin itu, ia harus memotong jarinya sendiri.
Ia letakkan tangannya diatas meja. Ia pandangi sekali lagi cincin bermata hijau itu, yang kini terlihat seolah berpendar di dalam kegelapan. Rasa menyakitkan begitu terasa di jarinya yang memakai cincin itu. Kepala James pun rasa mau pecah.
“Aku harus melakukannya!” ucap James dengan nada bergetar. Ia letakkan bilah pisau dagingnya itu pada jari manisnya, dan mencoba menekannya perlahan. Akan tetapi…
“TIDAK! TIDAK!” James berteriak kembali saat ia gagal melakukan apa yang seharusnya ia lakukan. Pisau daging itu bergetar di tangan kanannya, sementara tangan kirinya mengepal, menahan rasa sakit yang masih muncul dari cincin itu.
“Ayolah, James! Kau harus melakukannya.”
James menempelkan bilah pisau itu lagi pada jarinya. Dan seketika itu juga, ia mendengar bisikan-bisikan mistis itu di telinganya.
“Potong, James! Potong! Hancurkan cincin itu!”
Pandangan mata James kabur untuk sepersekian detik, dan ia dapat melihat seseorang berdiri tepat di depannya. Seorang pria, dalam balutan jas lama, berjenggot, memandang ke arahnya dengan tatapan mata semerah darah. Seketika, James mengenali pria itu.
“Morrison!”
“Kembalikan cincin itu!” ucap sosok pria itu dengan nada dalam dan seolah menggaung di dalam dapur kecil itu. James mencoba untuk menahan rasa sakit di kepalanya, namun tidak tertahankan.
“Potong, James! POTONG!!”
“AAAARRRRGGGGGG!!!!!”
James dengan seketika menekan bilah pisau daging itu ke jarinya, dan ia merasakan rasa sakit yang luar biasa saat bilah pisau itu menembus dagingnya, dan memotong jari tangannya. James berkelojotan diatas lantai dengan darah mengucur dari bekas dimana jarinya tadi berada. Jarinya telah terpotong, dan saat itu tergeletak diatas meja.
“TIDAKKK!!!! TIDAK!!!!” James meraih sebuah kain dari wastafel, yang kemudian ia gunakan untuk membebat luka terbukanya itu. Darah dengan cepat membasahi kain itu.
“Hancurkan cincin itu!” ucap sebuah suara di dalam kepalanya. Tapi James sudah nyaris kehilangan kesadarannya. Pandangan matanya kabur lagi, dan tubuhnya terasa begitu lemah. Ia lihat sosok di depannya itu membungkuk, lalu meraih potongan jarinya. Cincin itu masih berpendar di dalam kegelapan suasana. Hingga pada akhirnya, James tak sadarkan diri.

**

James membuka matanya perlahan. Ia sadari kemudian bahwa ia tidak berada di kamar apartemennya, melainkan di sebuah ruangan rumah sakit. Ia lirik jari tangan kirinya, yang kini sudah terbalut dengan perban. Cincin itu telah menghilang dari tubuhnya.
Wajah Robert muncul beberapa detik kemudian dari balik pintu ruangan itu. Ia segera saja menghampiri James yang baru saja tersadar.
“Kau melakukannya.” Ucap Robert. “Kau melepaskan cincin itu.”
“Aku memotong jariku.” Ucap James dengan nada serak. Ia rasakan rasa panas di bekas jarinya yang terpotong.
“Sudah berakhir, James.” Ucap Robert. “Cincin itu tidak akan mengganggumu lagi.”
Jika ada satu hal yang begitu James sesali di kehidupannya, hal itu adalah menemukan cincin zamrud itu. Ia tidak mengira bahwa cincin tua itu dapat memberikannya begitu banyak penderitaan, dan ia bisa saja mati jika ia tidak memotong jarinya. Kini, luka yang ada di tangannya menjadi pengingat agar ia lebih berhati-hati dalam mengambil barang apapun.
Robert mengantarkan James pulang ke apartemennya keesokan harinya. James, yang hanya menderita luka ringan, tidak memerlukan begitu banyak bantuan medis. Mungkin dalam beberapa hari, lukanya akan kering dan sembuh.
“Jika ada apa-apa, panggil aku!” ucap Robert sebelum meninggalkan kamar apartemen James. Namun masih ada satu hal yang harus Robert ketahui sebelum ia pergi.
“Kau tahu kemana perginya cincin itu?” tanya Robert. James, jujur, tidak begitu peduli lagi kemana cincin itu pergi. Ia teringat akan sosok pria yang berdiri di depannya saat itu. Mungkin arwah dari Morrison.
“Tidak penting.” Ucapnya. “Aku akan berhati-hati.”
James kini merasa lebih tenang kehidupannya telah jauh dari cincin terkutuk itu. Meski ia harus kehilangan salah satu jarinya, namun ia merasa puas dengan apa yang telah ia lakukan. Ia pun bisa bersantai malam itu di kamarnya sambil membaca sebuah buku. Akan tetapi, sebuah suara kembali menarik perhatiannya.
Laci meja yang terletak di samping tempat tidur tiba-tiba saja berkelotakan dari dalam. Laci itu bergetar, seolah ada sesuatu di dalam laci itu yang ingin melompat keluar.
James bergerak perlahan ke arah laci meja itu dan membukanya dengan perlahan. Namun ia tidak menemukan apapun di dalamnya, dan suara berkelotak itu pun hilang. James, yang bingung dengan hal itu, memutuskan untuk melupakannya dan pergi tidur.
Ia bangun sedikit terkejut keesokan harinya saat kepalanya terasa begitu berat, seperti saat ia memakai cincin itu. Dan ia merasakan ada hal yang aneh di tangan kanannya. Seolah ada tali yang diikatkan ke salah satu jarinya. Dan ketika James melirik ke arah jarinya, disana sudah ada cincin zamrud itu kembali, melingkar di tangannya.
“Tidak! Tidak!! TIDAK!!”
Teriakan James mungkin hanya akan didengar oleh tetangganya. Namun jiwa James yang menjerit seolah tidak dapat menemukan satupun penolong. Ia sadari kemudian bahwa hidupnya telah terkutuk. Terkutuk, oleh cincin zamrud itu.

****

5 comments: