Wednesday, January 24, 2018

PAVOR NOCTURNUS



Cody berteriak. Untuk yang kesekian kalinya malam itu. Ia sudah terlelap tidur saat sebuah gangguan tiba-tiba saja datang ke tidurnya. Yang membuatnya seketika terbangun, membuka matanya dengan keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya. Ia memimpikan mimpi buruk itu lagi.
Teriakan Cody tentu saja membangunkan seisi rumah. Tak sampai lima menit setelah ia berteriak, pintu kamarnya terbuka. Ibunya dengan gerak cepat bergerak masuk ke kamar ditemai oleh ayahnya. Kedua orang itu memandang Cody dengan tatapan aneh.
“Ibu! Ayah!” pekik Cody dengan suara bergetar. Bayang-bayang mengenai mimpi buruknya itu masih tersisa, seolah di belakang kelopak matanya.
“Cody, sudah berapa kali kau berteraik malam ini?” ucap ibunya sedikit gusar. “Sudah lima kali! Dan kau selalu membangunkan adikmu!”
“Tapi, Bu…” Cody mencoba membantah, namun harus mengurungkan niatnya itu saat tatapan mata ibunya terarah padanya. Cody menunduk, setelah sebelumnya melirik ke arah ayahnya. Di gendongan ayahnya, terdapat seorang anak kecil berusia tiga tahun. Adiknya.
“Apa alasannya sekarang?” tanya ibu Cody kemudian. “Kau mimpi buruk lagi? sudah berapa kali kukatakan untuk tidak menonton film-film horor itu!”
“Bukan, Bu. Bukan masalah itu!” ucap Cody. “Mimpi yang kualami…, sangat aneh. Aku seperti…, aku seperti…”
Cody kesulitan berbicara. Ia tidak tahu apa yang harus ia katakan untuk dapat meyakinkan ibunya itu. Sudah berkali-kali hal seperti ini terjadi. Ibunya mulai kesal dengan tingkah Cody yang selalu berteriak di tengah malam buta seperti itu.
“Kau berada di rumah, Cody.” Ucap ayahnya. “Kau aman. Tidak akan ada yang bisa menyakitimu. Hanya mimpi.”
Hanya mimpi…
Ya. Jika saja Cody dapat mengangapnya begitu. Namun mimpi yang ia alami tidak seperti mimpi buruk seperti biasanya. Cody merasa benar-beanr ketakutan dengan apa yang terjadi saat ia tidur. Ia merasa seperti setengah tertidur, dan setengah sadar. Ia tidak tahu harus bagaimana menjelaskannya.
“Tidur lagi, Cody!” ucap ayahnya setelah mengusap puncak kepala Cody.
“Kau sudah dua belas tahun, Cody.” Ucap ibunya dengan nada sedikit kesal. “Seharusnya hal seperti ini sudah tidak terjadi lagi padamu.”
“Maaf, Bu.” Ucap Cody lirih sambil menundukkan kepalanya. Ibu dan ayahnya bergerak keluar beberapa detik kemudian. Meninggalkan Cody berada di keremangan kamarnya yang hanya tersinari dari sebuah lampu meja. Cody merasakan bulu kuduknya berdiri saat angin membentur-bentur keras ke arah daun jendela kamarnya.
Jarum jam saat itu baru menunjukkan pukul satu dini hari. Masih terlalu lama sebelum matahari pagi dapat meghilangkan segala keresahan yang Cody alami. Ia kembali membaringkan tubuhnya sedetik kemudian. Namun ia sama sekali tidak dapat menutup kedua matanya. Ia merasakan rasa takut yang luar biasa. Seolah saat ia memejamkan mata, ada mata lain di kamar itu, yang bersembunyi di sudut-sudut gelap, yang menatapnya.
Mimpi-mimpi buruk seperti ini sudah Cody alami selama seminggu terakhir. Ia selalu terbangun di tengah malam buta, dan berteriak tanpa alasan yang jelas. Atau mungkin…, memang ada alasan untuk hal itu? Hal seperti itu selalu terjadi sesaat setelah ia mendapatkan mimpi itu. Mimpi yang sama, yang setiap kali membuatnya menjerit.
Mimpi-mimpi itu selalu dimulai dengan dirinya yang berdiri di sebuah koridor sebuah rumah. Cody tidak tahu rumah siapa yang ia tempati saat itu, yang jelas bukan rumahnya. Koridor itu terlihat remang, hanya disinari oleh sebuah lampu di dinding.
Ia selalu berdiri terdiam di ujung koridor itu, sambil memandang ke arah sebuah ruangan yang ada di ujung, yang terbuka, dan memancarkan sinar kebiruan dari dalam ruangannya. Seolah ada yang menonton tv di dalam kamar itu. Namun Cody tidak dapat mendengar suara apapun kecuali suara nafasnya sendiri.
Ia selalu bergerak di dalam mimpinya itu. Selangkah demi selangkah ia bergerak maju, semakin dekat ke arah ruangan yang terbuka itu. Suara angin terdengar di luar rumah, membanting-banting daun jendela. Cody terus bergerak, semakin dekat dengan ruangan itu, dan ketika ia sudah mencapai ambang pintunya, tiba-tiba saja ada sebuah bayangan yang melesat di depannya. Seperti sebuah asap hitam, dengan sepasang mata merah semerah darah menatapnya. Dan di saat itulah ia biasanya terbangun sambil menjerit.
Cody selalu mencoba untuk menganalisis mimpinya itu. Ia ingat-ingat dimana ia pernah melihat koridor rumah seperti itu. Apakah rumah dari salah stau temannya? Rasanya tidak. Dan jelas-jelas koridor itu bukan merupakan koridor dari rumah yang ia tempati saat ini.
Apa yang membuatnya selalu memimpikan hal itu? Apakah ia pernah menonton sebuah film horor dengan tema sebuah koridor seperti itu? Cody tidak dapat mengingat. Namun ia yakin jelas bahwa tidak ada hal semacam itu di film horor yang tonton. Film horor yang ia tonton selalu bergenre slasher. Sama sekali tidak menyambung dengan mimpinya yang lebih mengarah kepada hal-hal psikologis.
Aneh. Benar-benar aneh. Cody sampai lelah memikirkan semua mimpi yang ia alami itu. Kenapa ia mengalaminya, belum jelas alasannya. Yang jelas, Cody selalu sulit untuk tertidur kembali setelah mengalami mimpi seperti itu.
Cody masih terbaring di atas tempat tidurnya dengan kedua mata terbuka lebar. Ia selalu melirik ke arah ujung kamarnya yang gelap, dan selalu merasa bahwa ada sesuatu di tempat itu. Seperti seseorang yang mengawasinya atau…, hal yang lebih mengerikan daripada hal itu.
Namun nyatanya tidak ada apapun di ujung ruangannya. Yang terlihat hanyalah sekelompok alat-alat olahraga yang berdebu karena jarang dipakai. Tidak. Tidak ada apa-apa disana. Tapi…
Perhatian Cody seketika terarah pada bagian bawah pintu kamarnya. Ia seperti melihat bayangan orang bergerak mondar-mandir di depan kamarnya. Apakah ibunya? Atau ayahnya?
“Ibu?” panggil Cody sambil menegakkan posisi tubuhnya. “Ayah, apa itu kau yang disana?”
Tidak ada jawaban sama sekali dari luar kamarnya. Cody kembali melirik ke bagian bawah pintunya, dan bayangan mondar-mandir itu sudah tidak terlihat lagi. Apakah bayangan itu tadi nyata, atau ia hanya berhalusinasi karena rasa takutnya yang berlebihan? Cody tidak dapat menemukan jawabannya.
Jam terus bergerak, semakin pagi. Cody baru bisa mendapatkan rasa kantuknya lagi saat jarum jam sudah menunjukkan pukul tiga pagi. Angin di luar masih terus menderu, menggetarkan daun jendelanya. Cody merasa takut untuk kembali menutupkan kelopak matanya. Namun ternyata ia harus kalah dengan rasa kantuknya.
Satu hal yang terjadi sesaat kemudian adalah sebuah tarikan di kakinya. Apakah monster yang berada di kamarnya yang melakukan hal itu? Bukan. Tapi ulah ibu Cody yang mencoba membangunkan Cody pagi itu.
Cody membuka sebelah matanya. Sinar matahari sudah sepenuhnya menerangi kamarnya yang jendelanya sudah terbuka.
“Bangun, Cody! Sampai kapan kau mau tidur? Kau harus ke sekolah, ‘kan?”
Cody menegakkan tubuhnya. Ia merasa sekujur tubuhnya pegal dan tidak mengenakkan. Ia baru bisa tidur sekitar pukul tiga pagi. Dan rasanya ia seperti belum tidur semalaman.
Saat sarapan pagi itu pun pikiran Cody selalu terarah pada mimpi buruk yang ia alami. Ia masih tidak tahu kenapa hal itu terjadi padanya. Apakah ia melakukan sebuah kesalahan yang tidak ia sadari? Rasanya tidak. Dan ia yakin benar bahwa mimpi itu tidak ada hubungannya dengan film-film horor yang ia tonton.
“Kau harus mengurangi menonton film horor, Cody.” Ucap ayahnya, yang duduk tepat di depannya. Cody hanya menundukkan kepalanya sambil memainkan garpu pada roti lapisnya. Ibu Cody tiba-tiba saja ikut angkat bicara.
“Jika hal ini terus terjadi, mungkin kau butuh bantuan ahli, Cody. Ibu dan ayah sudah habis pikir dengan apa yang terjadi padamu.”
Cody mencoba untuk melupakan masalah mimpi buruknya itu. Saat di sekolah, ia mencoba untuk fokus pada pelajaran yang ia terima. Namun akibat dari kurangnya tidur semalam, ia menjadi mengantuk saat menerima pelajaran. Ia bahkan sempat tertidur. Sebagai akibatnya, ia harus mendapatkan pr berlebih dari guru di kelas saat itu.
Pr yang menumpuk tentu saja membuat Cody harus melakukan hal esktra di rumah. Ia harus mengerjakan pr-nya itu sampai larut malam. Keadaan sudah benar-benar sepi saat Cody selesai dengan pekerjaan rumahnya itu. Jarum jam telah menunjuk angka sebelas. Ayah dan Ibunya mungkin sudah tertidur.
Cody baru saja akan bergerak memasukkan buku-bukunya ke dalam tas saat ia merasa ada yang bergerak di luar kamarnya. Suara langkah kaki yang berbunyi duk-duk-duk. Cody mencoba mendnegarkan suara itu. Ia bahkan melihat lagi bayangan dari bawah pintu kamarnya.
“Ibu? Apa itu kau?” seru Cody. Namun ia sama sekali tidak mendapatkan jawaban apapun.
“Ayah?” seru Cody lagi. Namun lagi-lagi tidak ada balasan dari luar kamar. Cody yang merasa penasaran langsung mengarah ke pintu kamarnya, dan membuka pintu kamarnya itu. Ia melihat…
Tidak apa-apa di luar kamarnya. Koridor sudah dalam keadaan remang, menunjukkan bahwa ayah dan ibunya sudah berada di tempat tidur saat itu. Cody tiba-tiba saja merasakan bulu kuduknya meremang. Apa yang sebenarnya ia dengar dan lihat itu tadi?
Cody mencoba untuk tidur. Namun seperti sebelumnya, ia merasa seolah ada yang mengawasinya dari sudut kamarnya yang gelap. Ia tahu persis bahwa tidak ada apapun di sudut kamar itu. Tapi…
Tidak! Cody mengucapkan kata tidak pada dirinya sendiri. Ia tidak boleh menjadi penakut. Apa yang sebenarnya ia takutkan? Bukankah ia sudah tidak percaya dengan adanya hantu lagi? ia sudah berusia 12 tahun dan memiliki hobi menonton film horor. Apa yang mungkin dapat membuatnya takut?
Dengan perlahan, Cody pun akhirnya tertidur. Dan sedetik kemudian ia sudah berada di dalam koridor panjang yang remang itu lagi. ia bergerak, mendekati ruangan menyala biru di ujung lorong itu. Semakin dekat, dan dekat, dan dekat. Ia dapat mendengar nafas beratnya sendiri. Apa yang akan ia temukan di dalam ruangan itu? Apa yang akan ia temukan di dalam sana? Cody semakin merasa penasaran. Beberapa langkah kemudian ia sudah sampai di ambang pintu ruangan itu. Ketika ia akan melongok ke dalam, tiba-tiba saja…
Sebuah bayangan hitam seperti asap muncul secara tiba-tiba di depan matanya. Bentuk dari asap hitam itu seperti sosok manusia berambut hitam panjang, dengan mata semerah darah, dan satu seringai menunjukkan taring-taring yang panjang, kemudian…
“TIDAK!!!”
Cody berteriak lagi. Pemandangan dari bagian dalam kamarnya langsung muncul ketika ia membuka kedua matanya. Ia langsung bangkit ke posisi duduk, dengan keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya. Tidak…, kenapa hal itu terjadi lagi?
Cody sedikitnya dapat bernafas lega saat tidak ada suara-suara di luar kamarnya. Ibu dan ayahnya ternyata tidak mendengar teriakannya saat itu. Cody menghembuskan nafas lega. Jika ada suatu hal yang lebih menakutkan dari mimpinya, mungkin hanya wajah ibunya yang marah.
Cody membaringkan tubuhnya kembali. Namun perhatiannya sesaat kemudian terarah pada sebuah suara di luar kamarnya. Seperti tadi, terdengar suara-suara langkah kaki yang tidak jelas. Lalu ada suara seperti sebuah pintu terbuka. Lalu…, hening. Cody mencoba mendengarkan lagi, tapi suara itu tidak terdengar lagi. Cody kemudian membalik posisi tidurnya, dan terlelap lagi.
Lagi-lagi ia berada di lorong yang remang itu, mencoba untuk bergerak mendekati ruangan di ujung koridor. Namun setiap kali ia dapat mencapai ambang pintu kamar itu, sesosok makhluk aneh selalu hadir tepat di depan kedua matanya. Dengan mata merah, dan seringai penuh dengan taring itu, lalu sebuah tangan hitam yang mencoba untuk mencekik lehernya.
“TIDAK!! JANGAN!!” Cody berteriak. Ia membuka kedua matanya, dan sebuah cahaya membutakan matanya. Ia sempat melihat ada sosok yang berdiri menaunginya. Apakah sosok hitam itu?
Bukan. Tapi sosok itu adalah ibu Cody. Hari sudah pagi ketika Cody terbebas dari mimpi buruknya itu. Untuk seketika, ia dapat bernafas lega, dan tidak melihat pada wajah ibunya, yang sudah dapat ia tebak bahwa ibunya itu murka. Akan tetapi…
Tidak. Tidak ada ekspresi aneh dari ibunya pagi itu. Malahan, ibunya itu terlihat begitu khawatir padanya.
“Kau memimpikan hal itu lagi, Cody?” tanya ibunya. Cody hanya dapat menganggukkan kepalanya pelan.
“Maaf!” ucapnya kemudian seraya bangkit dari tempat tidur. “Tidak perlu memikirkanku.”
Cody benar-benar tidak mengerti apa yang terjadi pada dirinya. Apa arti dari semua mimpi itu? Ia sempat membaca sebuah artikel di internet yang menyebutkan bahwa mimpi kadang berarti sesuatu. Tapi apa? Apa maskud dari lorong-lorong remang itu?
Hal yang lebih membuatnya mengerutkan dahi adalah suara-suara yang terdengar di luar kamarnya. Suara-suara langkah kaki itu, yang terdengar begitu jelas. Tapi apa yang menciptakan suara itu? Mungkinkan ada orang lain yang tinggal di dalam rumahnya tanpa ia ketahui?
Cody tidak banyak bicara selama sisa hari itu. Ia sedang kesal dengan dirinya sendiri. Ia bahkan tidak mau berbicara dengan ayah atau ibunya di rumah, dan memilih untuk mengunci diri di kamar. Ia memikirkan lagi semua hal yang terjadi padanya. Hal-hal aneh itu.
Cody yang tidak tahan dengan kesendirian langsung keluar dari kamarnya, dan bergerak menuruni tangga. Namun ketika ia baru sampai di tengah-tengah, ia mendengar ada percakapan serius antara ayah dan ibuny.
“Aku sudah benar-benar cemas.” Ucap ibunya. “Apa yang terjadi pada Cody sudah di luar kata normal. Ia selalu mengalami mimpi itu.”
“Tidakkah ia mencoba menjelaskan mimpinya padamu?” tanya ayahnya. “Ia selalu diam jika aku tanya.”
“Pernah satu kali ia bercerita padaku.” Jawab ibu Cody. “Ia merasa seperti berjalan di koridor yang gelap, dengan sebuah kamar misterius di ujungnya. Dan juga mengenai sesosok makhluk hitam dengan mata merah…”
“Mungkin karena terlalu banyak menonton film horor?”
“Tapi sudah kelewatan.” Ucap ibu Cody. “Hal ini sudah berjalan selama dua minggu berturut-turut. Ia selalu berteriak. Pagi tadi juga begitu.”
“Lalu apa yang akan kita lakukan?” tanya ayahnya. “Apa kita perlu membawa ke dokter? Psikologis, mungkin?”
“Tidak!” sahut Cody seketika. Yang saat itu sudah berada di anak tangga terbawah. Ayah dan ibunya memandang ke arahnya.
“Cody, kami cemas pada keadaanmu.” Ucap ayahnya.
“Aku baik-baik saja, ayah.” Ucap Cody. “Hanya mimpi buruk…, bukan sesuatu yang perlu digembor-gemborkan.”
“Tapi, Cody…”
“Aku baik-baik saja.” Ucap Cody tegas. “Lupakan apa yang pernah terjadi padaku!”
Cody bergerak kembali ke kamarnya. Tidak. Kedua orang tuanya tidak mengerti dengan apa yang ia alami. Mimpi-mimpinya itu pasti memiliki arti. Ia yakin akan hal itu. Namun ia belum mendapatkan jawabannya.
Cody memutuskan untuk pergi tidur saat jarum jam menyentuh pukul sembilan malam. Dan lagi-lagi, ia harus mengalami mimpi itu lagi. ia berjalan di koridor, mengarah pada ruangan di ujung lorong. Dan ketika ia sudah sampai di ambang pintu,…
Tidak. Kali ini bayangan hitam itu tidak muncul lagi. Cody berhasil memasuki kamar dengan cahaya biru itu. Namun apa yang ia lihat kemudian di depan kedua matanya membuatnya menjerit lagi.
Ia melihat ada beberapa orang terpuruk diatas lantai, dengan darah membasahi seluruh ruangan biru itu. Tv masih menyala di dekat mayat-mayat sebuah keluarga itu. Tubuh-tubuh tak bernyawa itu terliha tmenumpuk menjadi satu. Membuat Cody nyaris muntah karena aroma anyir dari dalam ruangan itu. Ia memutar tubuhnya sedetik kemudian, mencoba untuk berlari dari ruangan itu. Akan tetapi, sosok hitam itu sudah berdiri tepat di depan kedua matanya. dengan mata merah, dan seringai penuh dengan taring…, Cody berteriak lagi.
Cody membuka kedua matanya. lagi-lagi ia harus terbangun dengan sebuah jeritan, dan juga keringat yang membasahi sekujur tubuhnya. Mimpi itu lagi. Tapi kali ini sedikit berbeda.
Perhatian Cody seketika teralih saat terdengar suara ketukan di pintu kamarnya. Cody melirik ke arah bawah pintu, dan melihat ada bayangan yang berdiri disana. siapa? Ibunya? Atau ayahnya? Cody langsung saja melompat turun dari tempat tidurnya. Tapi sesaat setelah itu, terdengar suara langkah kaki berlari menyusuri koridor, dan terdengar sebuah suara pintu terbuka.
Cody membuka pintu kamarnya. Yang ia lihat hanyalah keremangan koridor. Namun ia kemudian masih dapat menangkap sebuah suara di ujung koridor. Suara sebuah pintu.
Cody bergerak ke arah koridor. Dan seketika itu juga ia merasakan sesuatu yang familiar. Koridor itu, nyaris sama dengan koridor yang ada di dalam mimpinya. Dan memang ada sebuah ruangan di ujung lorong. Itu. Namun selama ini ruangan itu hanya digunakan sebagai gudang dan jarang sekali dimasuki. Cody merasa penasaran. Ia masih mendengar suara langkah kaki itu di ujung koridor. Mungkinkah ada sesuatu di dalam ruangan itu?
Dalam keremangan cahaya, Cody terus menggerakkan kakinya. Sama persis seperti apa yang ia alami di dalam mimpinya. Suasana begitu hening, bahkan ia dapat mednengar suara nafasnya sendiri. Ia bergerak semakin dekat, dan dekat, dan dekat…, hingga akhirnya ia dapat melihat bahwa pintu ruangan di ujung koridor itu sedikit terbuka. Dan ia mendengar sebuah suara yang tak asing. Sebuah suara anak kecil, seperti sedang bernyanyi di dalam.
Cody nyaris tidak dapat berpikir lagi. Otot-ototnya seolah memiliki otak tersendiri. Ia tidak mau memasuki ruangan itu, namun ia tidak dapat menahan pergerakan tubuhnya. Ia raih handel pintu kamar itu, dan membukanya perlahan. Ia melihat sebuah kegelapan diantara tumpukan-tumpukan barang. Namun suara anak kecil itu terdengar dengan jelas, dari balik sebuah tumpukan kardus. Cody bergerak perlahan masuk ke dalam ruangan itu. Ia ikut suara itu, hingga pada akhirnya ia melihat apa yang ada di dalam ruangan itu.
Seseoran tengah duduk di lantai, membelakanginya. Seorang anak kecil, dengan pakaian yang terlihat kusut. Gadis kecil itu bersenandung lirih, dan sama sekali tidak menyadari kehadiran Cody. Cody yang merasa penasaran langsung saja bergerak mendekati gadis itu. Namun baru satu langkah, gadis itu memutar tubuhnya. Dan Cody melihat wajah pucat dengan mata merah dan seringai penuh taring itu.
“AHHHHHH!!!”
Hal terakhir yang Cody ingat adalah saat gadis itu melompat ke arahnya dengan mulut terbuka lebar. Sesaat kemudian, Cody tidak sadarkan diri.

**

Cody merasakan ada sesuatu yang dingin menempel di kepalanya. Kepalanya terasa begitu berat, dan ia nyaris tidak dapat membuka kedua kelopak matanya. Namun ia dalamkeadaan sadar. Ia dapat mendengarkan suara-suara di sekelilingnya. Suara ibu dan ayahnya.
“Ibu?” gumam Cody lirih.
“Lihat! Dia sudah sadar.” Ucap suara ibunya. “Cody! Cody! Bangun sayang!”
Dengan usaha yang berlebih, akhirnya Cody dapat membuka kelopak matanya. Cahaya terang dari sebuah lampu membuat matanya terasa begitu pedih. Namun ia dapat melihat bayangan ibu dan ayahnya, yang berdiri tepat di depannya, dengan wajah cemas. Ketika ia sudah dapat membuka matanya dengan sempurna, ia sadari bahwa saat itu ia terbaring di lantai gudang di ujung koridor itu.
“Cody, apa yang terjadi?”
Cody tidak memiliki pilihan lain selain menceritakan apa yang sudah ia alami. Semua hal, mengenai mimpi-mimpinya di koridor itu, dan juag suara-suara langkah kaki dan bayangan yang ia lihat di luar kamarnya. Ibu dan ayahnya terlihat bingung dengan semua cerita Cody. Namun mereka tidak membantah apa yang Cody katakan.
Kisah aneh mengenai Cody dan juga mimpi-mimpi buruknya itu pada akhirnya tersebar. Tetangga mereka banyak yang berkunjung untuk melihat keadaan Cody. Mereka merasa peduli dengan apa yang terjadi pada anak dua belas tahun itu. Namun satu hal yang mengejutkan terjadi seminggu setelah Cody pingsan di gudang itu. Seorang pria tua datang, menemui ayah dan ibu Cody.
“Aku sudah mendengar apa yang terjadi.” Ucap pria tua itu. “Malahan aku tidak merasa heran jika hal itu terjadi.”
“Apa maksud Anda?” tanya ayah Cody.
Pria tua itu pada akhirnya menceritakan siapa dirinya. Ia dulu adalah petugas taman di sekitar rumah Cody. Dan ia mengatakan bahwa dulu pernah terjadi sebuah kasus perampokan dan pembunuhan di dalam rumah yang kini ditempati oleh Cody dan keluarganya. Anggota dari keluarga pada saat itu dibunuh di dalam sebuah kamar, yang kini menjadi gudang tempat keluarga Cody menyimpang barang bekas.
“Mungkin mereka meminta bantuan.” Ucap pria tua itu, sambil memandang ke arah Cody yang terhenyak oleh cerita mengenaskan itu.
“Mimpi itu berarti sesuatu, Cody. Mereka memilihmu.”
“Untuk apa?” tanya Cody.
“Mungkin…, mereka hanya ingin didoakan. Agar mereka bisa berisitrahat dengan tenang.”
Ayah dan Ibu Cody pada awalnya tidak mempercayai seratus persen semua kata-kata dari pria tua itu. Namun suatu hari mereka menemukan bukti dari kejadian mengenaskan yang pernah terjadi di rumah itu. Di dalam gudang mereka, mereka melihat ada bekas noda hitam di lantai yang tidak dapat dihilangkan. Bekas darah dari pembunuhan kejam itu. Kini mereka percaya dengan apa yang pria tua itu katakan.
“Lalu apa yang akan kita lakukan?” tanya Ibu Cody dengan cemas. Ia takut jika anaknya akan terus mendapatkan mimpi-mimpi buruk itu.
“Seperti yang dikatakan oleh pria itu…” ucap ayah Cody. “Kita harus mendoakan mereka.”
Semenjak ia pingsan saat itu, Cody tidak lagi mendapatkan mimpi buruk mengenai koridor remang itu. Mungkin doa yang ia dan kedua orang tuanya panjatkan telah dapat memuaskan arwah yang mungkin tinggal di dalam rumah itu. Akan tetapi, Cody merasa bahwa arwah itu belum pergi sepenuhnya. Karena setiap malam, ia selalu mendengar suara langkah kaki di luar kamarnya. Dan hal itu menjadi mimpi buruk baru bagi Cody.

****





1 comment: