Mereka berkata,
“Harganya cukup murah untuk
menginap semalam.”
Mungkin ucapan itulah yang
membuat Elizabeth Dune memutuskan untuk tinggal di sebuah kamar hotel yang
menurutnya terlalu biasa itu. Sebuah hotel dengan nama Diamond, adalah sebuah
hotel kelas menengah yang ia dapatkan ketika ia mengunjungi Cherwood, sebuah
kota tua yang terletak jauh di utara. Tapi, apa sebenarnya tujuan Elizabeth
menginap di hotel itu?
Elizabeth merupakan seorang
jurnalis bagi sebuah surat kabar yang sudah cukup terkenal di kotanya,
Hauldnspring. Dan perjalanannya ke utara ini adalah salah satu upayanya dalam
mencari berita, yang dapat ia rubah menjadi sebuah artikel menarik, seperti
yang pernah ia lakukan di waktu-waktu sebelumnya. Namun ada satu hal yang
menarik Liz untuk dapat ke kota itu. Yaitu mengenai legenda mengerikan yang
melingkupi Cherwood, yang katanya sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu.
Jika dilihat-lihat, Cherwood
tidak jauh berbeda dengan kota-kota lain. Kota itu memiliki jalur ekonominya
sendiri. Kawasan industri, perumahan, dan distrik perbelanjaan. Semuanya
komplit. Hanya saja, kota itu adalah kota tua yang jarang direnovasi.
Bangunan-baungan dengan bata tua masih banyak berdiri di kawasan tengah kota.
Dan hotel Diamond, merupakan salah satu peninggalan dari awal pada 20.
Hari itu merupakan hari
pertama Liz menginap di hotel yang cukup murah itu. Tidak ada yang harus ia
keluhkan mengenai pelayanan hotel atau semacamnya. Ada telepon di meja, yang
dapat ia gunakan untuk memesan minuman atau makanan. Dan ia rasa, keadaan yang
cukup tenang dapat membantunya dalam pekerjaan yang tengah ia lakukan.
Liz mencoba untuk mengorek
misteri yang ada di Cherwood. Sejauh ini, ia sudah mendapatkan beberapa
informasi menarik yang dapat ia sisipkan dalam artikelnya.
Cherwood dibangun sekitar
tahun 1790, dimana kota ini dulu menjadi semacam kota singgah bagi orang-orang
yang bergerak dari barat menuju New Himpton, di timur. Dan selain itu, Cherwood
juga dikenal sebagai kota perdagangan.
Sejarah mengatakan, bahwa
Cherwood pernah hampir hangus saat api melalap kota itu pada suatu malam
tanggan 14 April 1850. Semua bagian kota itu hangus terbakar oleh api, dan yang
tertinggal hanyalah batu-batu penyusun dindin bangunan yang selamat.
Cherwood kemudian secara
perlahan dibangun kembali. Namun pembangunannya dipenuhi dengan berbagai
masalah. Mengenai tanah, pajak, biaya untuk pembangunan, dan juga adanya
sekte-sekte gelap yang mengatakan bahwa Cherwood terkutuk. Mereka mengatakan,
kutukan itulah yang menyebabkan kebakaran besar di kota itu beberapa tahun yang
lalu. Tapi, tentu saja masih banyak orang yang tidak mau percaya dengan
takhayul seperti itu. Dan Cherwood berhasil diangun kembali, berdiri kokoh
hingga abad-abad selanjutnya.
Cerita aneh yang Liz dengar
mengenai Cherwood adalah, sering terjadinya penampakan di beberapa tempat kota
tua itu. Ada yang mengatakan penampakan seekor anjing di pemakaman, lalu
seorang gadis yang duduk di ayunan taman tengah kota, dan ada pula yang
mengatakan bahwa kadang jam besar yang ada di menara balai kota bergerak mundur
satu menit setiap tanggal 14, bulan April. Tidak ada yang pernah tahu mengenai
alasan dibalik kemisteriusan jam besar itu. Ada yang mulai mengaitkan, bahwa
mungkin arwah dari para penduduk yang terbakar kala itu masih menempati Cherwood
hingga detik ini.
Liz, sebenarnya bukanlah
seorang penulis cerita horor atau misteri. Namun ada permintaan pada redaksi
dimana ia bekerja, untuk membuat sebuah kolom misteri dimana penduduk
Hauldnspring menyukainya. Dan Liz mendapatkan tanggung jawab untuk menuliskan
hal tersebut.
Liz masih duduk di depan
komputernya di kamar hotel Diamond yang ia tempati. Jemarinya sudah siap untuk
mengetik, namun berkali-kali ia terhenti saat ia seperti mendengar sebuah suara
bisikan dari sebelahnya. Ia menolah berkali-kali, namun ia tidak melihat
apapun. Hingga sore menjelang, Liz tidak dapat menuliskan satu katapun di
komputernya.
Liz memutuskan untuk makan
di restoran bawah hotel tersebut. Disana ia bertemu dengan seorang pria yang
kebetulan saja bersanding dengannya. Pria tua itu mulai menceritakan segala hal
mistis yang ada di Cherwood, seperti apa yang sudah Liz dengar.
“Mengenai hotel ini?” tanya
Liz dengan santai. Ia tidak berpikir bahwa hotel yang ia tempati berhantu.
“Banyak pendapat mengenai
hal itu.” Ucap sang pria tua sambil menggaruk-garuk dagunya yang ditumbuhi
sedikit jenggot. Kedua matanya mendelik ke arah Liz.
“Ada alasan kenapa harga
inap semalam di hotel ini begitu murah, ‘kan?”
Liz kembali ke kamarnya
begitu perutnya kenyang. Dan siapa sangka bahwa ia mulai dapat menuliskan apa
yang ada di pikirannya. Jemari tangannya itu berdansa diatas keyboard tanpa
henti, dengan kedua mata terus terpicing ke arah layar monitornya yang menyala,
menjadi satu-satunya penerangan di kamar yang ia biarkan gelap.
Tanpa ia sadari, jarum jam
telah menunjukkan pukul sebelas malam. Namun ia belum merasakan lelah
sedikitpun. Karena ia sudah terbiasa menulis artikel panjang, jadi tidak
masalah baginya.
Liz terpaksa harus
mengalihkan perhatiannya sejenak dari artikel yang tengah ia tulis saat sekali
lagi ia mendengar suara bisikan di telinganya. Terdengar begitu jelas, bahkan
ia sempat merasakan hembusan angin tipis di telinga. Namun siapa? Dia sendirian
di kamar itu. Dan tidak mungkin ada orang lain, ‘kan?
Hantu?
Liz tertawa seketika. Yang
benar saja! Hantu tidak dapat bernafas, ‘kan? Seharusnya ia tidak setakut itu.
Ia tahu bahwa segala cerita buruk mengenai hantu dan monster berawal dari
kekuatan imajinasi seseorang yang dapat terproyeksi melalui cerita mereka.
Hantu, tidak pernah ada.
Liz memutuskan untuk
menyudahi pekerjaannya saat waktu semakin larut. Ia tutup komputernya, lalu
naik ke atas tempat tidur. Ia membiarkan kamarnya dalam keadaan gelap. Karena
ia suka dengan suasana gelap dan tenang. Dan dalam beberapa detik, ia jatuh ke
dalam alam bawah sadarnya.
Liz tiba-tiba saja terbangun
saat ia mendengar suara benda jatuh. Kedua matanya terbuka, namun ia berada di
tengah kegelapan yang tak memungkinkan dirinya untuk melihat. Ia arahkan
tangannya ke arah samping tempat tidur dan meraih tali lampu. Sedetik kemudian,
kamarnya itu telah diterangi oleh cahaya temaram yang terasa hangat.
Apa yang terjatuh?
Liz bangkit dari tempat
duduknya lalu memandangi sekitar tempatnya duduk. Tidak ada yang aneh dengan
kamar yang ia tempati. Tasnya masih berada di dekat lemari. Dan laptopnya masih
ada di atas meja, seperti saat tadi ia tingalkan. Lalu suara apa itu?
Liz berpikir, mungkin suara
itu berasal dari kamar sebelah. Ya. Sejak siang tadi ia memang mendengar tawa
gadis-gadis dari kamar sebelah. Mungkin anak kuliahan yang menginap disana. Dan
jujur saja, Liz merasa sedikit terganggu dengan tawa-tawa melengking itu.
Liz kembali berbaring dan
melingkar di bawah selimutnya. Ia matikan lampu, dan kembali tidur. Hanya saja,
baru beberapa menit ia bisa masuk ke dalam mimpi, suara itu terdengar lagi.
“DUK!!”
Liz seketika membuka kedua
matanya. Dengan cepat ia tarik tali lampu, dan terang. Tidak. Tidak ada yang
berubah dan tidak ada yang jatuh di kamarnya. Apakah ulang siswi-siswi itu
lagi?
Liz bangkit lagi dari tempat
tidurnya. Kemudian ia coba dengar suara di kamar sebelahnya, yang tidak ia
duga, terlalu sunyi. Memang Liz tidak begitu yakin dengan teorinya bahwa suara
benda jatuh itu berasal dari kamar sebelah. Namun ia yakin ia sempat mendengar
tawa-tawa kecil sore tadi.
Liz yang akan beranjak dari
tempat tidur melonjak kaget saat tiba-tiba saja suara benda itu datang lagi.
Terdengar bunyi ‘DUK’ yang amat keras sampai-sampai dinding kamarnya itu
bergetar. Liz mendungus kesal. Ya. Pasti ulah siswi-siswi di kamar sebelah.
Ia meraih gagang telepon
lalu menghubungi bagian resepsionis. Ia katakan segala hal yang baru saja ia
dengar, bahwa ada suara-suara tidak menyenangkan dari kamar sebelahnya.
“Anda yakin nomor kamar Anda
306?” tanya sang resepsionis seolah tidak percaya.
“Ya.” Jawab Liz. “Dan
siswi-siswi yang menginap di kamar sebelah, kamar 307, mereka mengganggu. Ini
sudah pukul satu dinihari tapi aku masih mendengar canda tawa mereka.”
Ya. Liz memang mendengarnya
lagi. Beberapa saat setelah suara ‘DUK’ itu, ia mendengar tawa gadis. Dia tidak
tahu ada berapa banyak gadis yang menginap di kamar sebelahnya itu.
“Maaf, Nyonya!” ucap sang
resepsionis kemudian. “Tapi kami tidak memiliki tamu untuk kamar 307 hari ini.
Mungkin ada salah dengar?”
“Tidak mungkin.” Bantah Liz.
“Aku mendengarnya dengan sangat jelas.”
“Mungkin dari kamar 305?”
“Bukan.” Ucap Liz.
Liz menutup telepon saat ia
tidak bisa lagi menjelaskan. Suara gadis-gadis itu masih terdengar cukup jelas,
dan beanr-benar mengganggu. Liz tidak akan tinggal diam. Ia keluar dari
kamarnya lalu mengarah ke kamar 306 yang ada di sebelah. Ia ketuk pintunya
berkali-kali tapi tidak ada jawaban. Hingga akhirnya, Liz berteriak dengan
suaranya.
“Maaf! Kalian bisa tenang
sedikit? Ini sudah larut malam.”
Seketika, suara tawa itu
terhenti. Namun sama sekali tidak ada respon dari dalam ruangan itu.
Gadis-gadis itu mungkin merasa tidak enak dengan apa yang sudah mereka lakukan.
Liz kembali masuk ke dalam
kamarnya. Gangguan yang ia rasakan malam itu membuatnya tidak dapat kembali
tidur. Maka ia putuskan untuk membuka kembali laptopnya dan melanjutkan
pekerjaannya sore tadi.
Liz duduk tenang di kursinya
selama kurang lebih setengah jam. Suara benda itu sudah berhenti, begitu pula
dengan suara tawa gadis-gadis itu. Ia akhirnya bisa merasa tenang. Namun, detik
berikutnya…
“Astaga!”
Liz melonjak kaget saat ia
mendengar suara yang cukup jelas di telinga kanannya. Seperti sebuah bisikan,
yang mengatakan kata ‘Halo’ yang tidak begitu jelas. Namun memang terjadi.
Liz memandang ke arah
sekitarnya. Tidak. Tidak ada apa-apa di dalam kamarnya. Hanya ada dia, dan
beberapa perabotan. Lalu, darimana suara itu berasal?
Liz mulai merasakan bulu
kuduknya meremang. Suasananya entah kenapa menjadi sedikit dingin. Ia seperti
merasakan hembusan angin. Padahal jendela kamarnya terkunci dengan rapat. Untuk
sesaat, Liz melupakan pekerjaannya.
Liz kembali melonjak saat
tiba-tiba saja lampu di kamarnya berkedip dengan sangat cepat. Mati, hidup,
mati, dan hidup lagi. Di sela-sela kedipan itu, ia merasakan adanya kehadiran
sesuatu di kamarnya. Ia tidak dapat mengatakannya dengan jelas. Namun memang
ada sesuatu yang mengawasinya.
Lampu kembali berkedip, dan
Liz berteriak seketika dan nyaris terjatuh dari kursi yang ia duduki. Selama
sedetik, ia dapat melihat sosok seorang gadis berdiri di kaki tempat tidurnya,
memandangnya dengan tatapan mata merah. Liz tidak tahu kenapa hal itu terjadi.
Ia tidak ingin mempercayainya, namun hal itu nyata.
“Apa itu?” Liz
bertanya-tanya. Ia tak bisa beranjak dari kursinya. Tatapan kedua matanya
terpaku pada kaki tempat tidurnya. Sosok itu, menghilang. Namun detik
berikutnya, lampu kembali berkedip. Dan sosok gadis kecil itu muncul kembali di
disertai dengan sebuah suara berbisik, yang mengucapkan kata ‘Tolong’, di
telinganya. Sosok itu menatapnya lagi dengan tatapan kedua mata merahnya. Liz
hanya dapat duduk. Tubuhnya kaku, dan ia heran kenapa ia belum juga pingsan.
Sosok itu perlahan mendekat,
dan Liz secara spontan meraih benda yang ada di jangkauannya, dan melemparkannya
ke arah gadis itu.
“BRAK!!”
Suara benturan keras
terdengar saat benda yang Liz lemparkan mengenai sosok itu, namun tembus dan
menghantam tembok. Seketika, sosok itu menghilang dan lampu kembali menyala
normal.
Liz nyaris beku akibat dari
rasa takutnya. Ia sadari sedetik kemudian, bahwa ia telah melemparkan
laptopnya. Yang kini hancur berantakan
memenuhi lantai. Namun bukan hal itu yang menarik perhatian Liz. Bekas benturan
di dinding kamarnya itu meninggalkan sebuah lubang menganga, dan ada sesuatu
terlihat di baliknya. Liz bangkit dari kursinya, dan bergerak ke arah lubang
itu.
Lubang yang kecil itu tidak
dapat memperlihatkan apa yang ada di baliknya. Liz menggunakan kekuatan kedua
tangannya itu membongkar dinding itu, sedikit-demi sedikit, hingga akhirnya…
“OH! ASTAGA!”
Sebuah benda panjang
berwarna putih kotor terlihat menjulur keluar dari lubang yang ia gali. Dan Liz
tahu benar dengan apa yang ia lihat. Benda putih itu adalah tulang tangan
manusia.
**
Tiga puluh menit setelah
penemuan Liz atas jasad yang terkubur di dalam dinding kamar hotel itu, polisi
mulai berdatangan. Mereka mulai melakukan penggalian pada dinding kamar 306,
dan menemukan kerangka seorang gadis kecil dengan pakaian yang sepertinya
berasal dari puluhan tahun yang lalu.
Liz tidak peduli lagi dengan
laptopnya yang hancur berantakan. Ia terduduk di kursi lobi, saat pria tua yang
ia temui saat makan malam datang lagi. Pria itu duduk di samping Liz, dan
memberikan tepukan di punggung wanita itu seolah Liz adalah teman terdekatnya.
“Kenapa?” gumam Liz. Ia belum
sepenuhnya pulih dari shock yang ia rasakan.
“Kau telah membantu gadis
itu.” Ucap sang pria tua. “Mungkin gadis itu hanya ingin keluar dari tempat
ini. Dimana ia terperangkap, dan tidak bisa pergi dari dunia ke tempat seharusnya.”
“Siapa yang tega melakukan
hal itu?” tanya Liz seketika. “Kasus pembunuhan? Kapan?”
“Nama gadis itu adalah Sarah.”
Ucap sang pria tua. “Dia menghilang sejak 3 September, tahun 1950. Terakhir
kali gadis itu terlihat berada di taman bermain yang tidak jauh dari hotel ini.
Aku masih tidak tahu kenapa gadis itu dibunuh dan disembunyikan. Pastinya, ini
kasus yang aneh.”
“Dia…, meminta tolong
padaku.” Ucap Liz dengan nada bergetar. “Dia…, berbicara denganku.”
“Dia mungkin akan datang
lagi.” Ucap pria tua itu. “Untuk mengucapkan rasa terima kasihnya padamu,
karena kau telah membebaskannya.”
“Benarkah?”
Pria tua itu hanya
tersenyum. Ia kemudian bangkit dari tempatnya duduk, dan pergi meninggalkan
Liz. Liz baru menyadari kemudian bahwa cara berpakaian pria tua itu sedikit
aneh. Pakaiannya terlalu kuno.
“Siapa nama Anda?” teriak
Liz. Pria tua itu memutar tubuhnya, lalu tersenyum lagi. Dengan pelan ia
menyebutkan namanya,
“Anthony McBride.”
Liz terpaku, hingga akhirnya
sosok pria tua itu menghilang dari pandangan. Liz kembali melamun dan masih
memikirkan mengenai sosok yang menjumpainya malam itu.
“Nyonya Dune?” ucap salah
seorang polisi yang datang menghampirinya. Liz menganggukkan kepalanya.
“Ada beberapa pertanyaan
yang harus Anda jawab. Sebaiknya Anda ke kantor polisi.”
“Bagaimana dengan jasad
itu?” tanya Liz.
“Kami sedang
menyelidikinya.” Ucap sang polisi. “Tapi berdasarkan liontin yang ada di
kerangka itu, kami yakin bahwa gadis itu adalah gadis yang menghilang puluhan
tahun yang lalu. Sarah McBride. Kasus menghilangnya gadis itu tidak pernah
terpecahkan. Kami tidak pernah mengira bahwa ia akan dikubur di dinding gedung
ini.”
“Mengenai hal itu…”
“Gedung ini memang ada dalam
tahap pembangunan di tahun 1950. Dan kurasa, sang pelaku menggunakan kesempatan
itu untuk menyembunyikan jasad korban. Kini kami tinggal mengurus hal
selanjutnya. Menghubungi keluarga korban, jika masih ada.”
“McBride?” ucap Liz seketika
dengan kening berkerut. “Aku baru saja berbicara dengan seorang McBride.
Mungkin dia keluarga korban.”
“Siapa namanya?”
“Anthony. Anthony McBride.”
“Anda yakin?”
“Ya. Aku sempat bertanya
namanya.”
Polisi itu hanya
menganggukkan kepalanya sambil menuliskan sesuatu di buku catatan yang ia bawa.
Ia mengangguk, kemudian pergi dari hadapan Liz.
Liz mendatangi kantor polisi
malam itu juga. Ia mendapatkan beberapa pertanyaan yang berkaitar dengan
penemuan jasad Sarah McBride. Dan di bagian akhir, polisi yang bertugas
mengajukan pertanyaan padanya mengucapkan sesuatu yang sedikit aneh pada Liz.
“Anda tahu siapa Anthony
McBride?” tanya polisi itu.
“Tidak.” Jawab Liz sambil
menggeleng.
“Inikah Anthony McBride yang
Anda lihat beberapa jam yang lalu?”
Polisi itu mengangkat sebuah
foto seorang pria dalam balutan jas, yang terlihat begitu perlente. Dan Liz
yakin seratus persen bahwa memang pria itu yang ia lihat. Tapi apanya yang
aneh?
“Aku tidak dapat
mempercayainya.” Ucap polisi itu. “Anthony McBride adalah walikota Cherwood di
tahun 1940. Dia adalah kakek dari Sarah McBride. Jasad yang baru saja Anda
temukan. Anehnya, dia sudah meninggal puluhan tahun yang lalu. Lalu kenapa Anda
mengatakan bahwa Anda baru saja bertemu dengan pria ini?”
Mulut Liz terbuka lebar
setelah mendengar keterangan itu. Pria itu sudah meninggal? Jadi apa yang Liz
lihat sore tadi adalah arwah dari pria itu?
Liz pergi meninggalkan
kantor polisi saat matahari mulai terbit. Dan kini ia mulai percaya bahwa
Cherwood memang sebuah tempat yang penuh dengan teka-teki dan misteri, selain
kenyataan bahwa tempat itu juga penuh dengan hal mistis.
Liz kehilangan laptopnya,
namun tidak dengan data yang untungnya ia simpan di flashdrive. Liz masuk ke
dlam mobilnya, dan bersiap untuk pergi dari tempat itu. Ketika tiba-tiba saja
ia melihat bayangan dari kaca spion, bahwa ada seseorang yang duduk di bangku belakang.
Liz memutar tubuhnya seketika, dan ia lihat gadis kecil itu. Sarah McBride,
yang kemudian mengucapkan,
“Terima kasih, Liz.”
***