John Summer tidak pernah sedikitpun menyukai yang namanya adegan
drama atau pagelaran teatrikal. Namun entah kenapa ia, selama beberapa minggu
terakhir, selalu mengunjungi teater tua yang ada di jalan Dorset itu. Teater
yang dibangun puluhan tahun yang lalu itu sudah tidak bisa lagi mengundang
penonton. Paling-paling, jika ada pertunjukan besar, penonton yang masuk tidak
akan lebih dari lima puluh orang.
Gedung itu sudah begitu tua
dengan cat yang sudah mengelupas. Deretan bangku penonton berwarna merahnya pun
sudah banyak yang berlubang, lepas, atau bahkan sama sekali tidak layak untuk
diduduki. Namun apakah semua itu bisa menghentikan semangat seni yang ada di
dalam setiap pemain operanya?
Jawabannya, tidak. Opera tua
yang ada di jalan Dorset itu selalu rutin menggelar pertunjukan setiap hari
Sabtu. Entah itu drama, drama musikal, atau bahkan hanya sebuah pertunjukan
kecil, seperti yang tengah John saksikan.
Hari itu hari Kamis, dimana
para pemain teater sedang dalam proses latihan yang akan mereka pertunjukkan di
hari Sabtu nanti. John menikmati pertunjukan latihan drama yang dilakukan oleh
para artis itu dari bangku paling jauh. Sambil menghisap rokoknya, pikirannya
kadang melayang-layang. Mengenang sebuah peristiwa yang begitu membekas di
hatinya.
Apa yang membuatnya kini
suka dengan pertunjukan drama? Jawabannya mungkin terletak pada kejadian
beberapa tahun yang lalu. John memiliki seorang istri yang begitu gemar dengan
pertunjukan teatrikal. Di kotanya yang lama, John selalu rajin mengajak
istrinya itu untuk menonton sebuah pertunjukan di teater terdekat. Hal itu
sudah menjadi semacam jadwal rutin dalam kehidupan rumah tangganya. Namun
rupanya jadwal rutin itu harus terhenti saat sebuah peristiwa terjadi.
Sebuah kecelakaan menimpanya
saat tengah dalam perjalanan pulang dari teater. Mobilnya ringsek, berguling di
pinggir jalan setelah tertabrak oleh sebuah truk dengan pengemudi yang
mengantuk. John berhasil keluar dari mobil yang ringsek itu dengan luka yang
tidak seberapa. Namun istrinya…
Tidak. John tidak ingin
mengingat hal itu lagi. Kata-kata yang keluar dari mulut istrinya itu kini
masih terus terngiang di telinganya.
“Terima kasih.” Ucap
istrinya dengan nafas terakhirnya. “Pertunjukan yang bagus. Kita akan menonton
lagi minggu depan?”
John tidak pernah mengira
bahwa hari itu, hari dimana ia bisa berbahagia menonton pertunjukan drama
dengan istrinya, menjadi hari terakhir ia bisa melihat senyum di wajah istrinya
itu. Dan kini, untuk mengenang masa-masa menyenangkan itu, ia selalu hadir di
teater Dorset.
Kedua mata John terpaku pada
sosok seorang wanita yang berdiri di ujung panggung. Seorang artis muda, yang
mungkin, belum begitu berpengalaman dalam dunia akting dan hanya menjadi
figuran dalam drama yang akan dipentaskan. Terlihat ia tidak banyak melakukan
adegan. Dan ia juga tidak banyak mendapatkan teriakan dari sang sutradara.
John berpikir, mungkin dalam
beberapa tahun kedepan, gadis itu akan menjadi aktris teater yang luar biasa.
Entah kenapa, ia dapat merasakan aura yang menyenangkan saat ia memandangi
sosok gadis itu. Ia seperti…, melihat istrinya kembali.
“Menyenangkan, bukan?” ucap
seorang pria tua yang tiba-tiba saja sudah ahdir di kursi sebelah John. Pria
itu menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi, melipat lengannya di depan
dada, lalu memandang lurus ke depan ke arah kerumunan artis yang tengah
berlatih.
“Aku sering melihatmu
disini.” Ucap pria itu lagi. “Kau suka dengan tempat ini?”
“Ya.” Jawab John. “Aku…,
suka dengan apa yang mereka lakukan.”
“Para artis belia itu…, yah.
Mereka tidak tahu.”
“Tidak tahu apa?”
“Tempat ini akan segera
ditutup.”
“Apa?!”
Pria itu menoleh ke arah
John. Pria tua, dengan rambut tipis di atas kepalanya itu, terlihat begitu
sedih. Terlihat jelas dari sorot kedua mata cekungnya itu.
“Sungguh…” ucapnya. “Aku
tidak percaya hal ini akan terjadi. Sudah puluhan tahun aku mengelola tempat
ini. Tempat yang menyenangkan, dimana aku bisa melihat tawa canda di wajah
mereka. Tempat ini, seperti sebuah pabrik mimpi bagiku. Tapi tidak akan lama
lagi.”
“Apa yang terjadi?” tanya
John.
“Mereka akan membangun
sebuah gedung lain di tempat ini. Hanya itu yang kudengar.”
“Kenapa kau tidak
menolaknya?”
“Kau pikir aku bisa
mempengaruhi banyak orang?” balas pria tua itu. “Jika saja tidak ada kejadian
itu, mungkin orang-orang tidak akan berpikiran buruk mengenai teater ini.”
“Kejadian apa?”
John sama sekali tidak
mendapatkan jawaban atas pertanyaannya itu. Pria itu hanya terkekeh, sambil
menggeleng pelan.
“Kurasa aku tidak perlu
menceritakannya.”
John kembali mengarahkan
pandangannya pada kerumunan yang ada di panggung. Ia melihat gadis itu lagi.
Gadis yang membuatnya merasa bahwa ia tengah memandangi istrinya itu. Gadis itu
kini sudah berpindah tempat. Namun sama seperti tadi, gadis itu tidak banyak
bicara. Sebenarnya, peran apa yang ia mainkan?
Pria yang duduk di sebelah
John itu akhirnya pergi entah kemana. Sementara John melanjutkan kembali
aktivitas menontonnya, hingga latihan akhirnya selesai. Jarum jam menunjukkan pukul
sepuluh malam. John berniat keluar dari teater saat secara tidak sengaja ia
bertemu dengan gadis yang selalu dipandangnya tadi.
Gadis itu…, bukan. Wanita
muda itu memang terlihat terlalu mirip dengan mendiang istrinya. Warna rambut
coklat keemasan, dengan sepasang mata biru langit yang mencerahkan. Senyum di
bibir merah wanita itu terlihat begitu manis, persis dengan apa yang pernah
John ingat tentang istrinya.
“Maaf!” ucap wanita itu
ketika ia secara tidak sengaja menabrak John. John tersenyum, menggeleng, lalu
tanpa sadar memberikan namanya.
“Aku Emmy.” Ucap wanita itu.
“Emmy Roswell. Aku selalu melihatmu disini setiap Kamis dan Sabtu. Kau
penggemar pergelaran teater?”
“Ya.” Jawab John cepat tanpa
berpikir. Sungguh! Senyum yang ditunjukkan oleh wanita itu benar-benar membiusnya.
“Kau luar biasa.” Ucap John.
“Maksudku…, apa yang kau lakukan diatas panggung tadi. Aku bukan profesional
dalam menilai tapi…, yah. Kau tahu? Kau layak menjadi pemeran utama.”
“Terima kasih.” Bala Emmy
dibarengi dengan sebuah senyum. “Aku harus pergi. Kau akan menonton Sabtu
nanti?”
“Tentu.” Jawab John sesaat
sebelum ia melihat kepergian wanita itu.
John kini mulai sering
mendatangi teater setelah berkenalan dengan Emmy. Apakah ia jatuh cinta lagi?
Jika memang begitu, kenapa tidak? Emmy sepertinya juga tertarik dengannya. Hari
Sabtu itu John menonton pertunjukannya, yang terbilang cukup sukses meski
penontonnya sedikit. Hari Kamis ia datang lagi untuk menonton latihan. Setelah
latihan, ia mengobrol banyak dengan Emmy.
Kini dapat dikatakan bahwa
John sudah kenal betul dengan sosok wanita muda itu. Ia senang berbicara dengan
Emmy bukan karena ia terlihat mirip dengan mendiang istrinya. Namun Emmy memang
enak untuk diajak bicara. Seolah mereka memang sengaja dipertemukan dengan
adanya teater Dorset itu.
Pada hari Minggu, seperti
biasa, John duduk di bangku paling atas untuk melihat pergelaran drama di
teater tua itu. Tema drama pada malam hari itu terdengar cukup unik dan sedikit
konyol. Namun apa yang ia tonton bukanlah sebuah komedi.
Setiap pasang mata memandang
dengan serius dan penuh rasa takjub ke arah para artis yang dengan baik dapat
memerankan peran yang mereka bawa. Ada tangis, tawa, dan juga emosi di
dalamnya. John harus mengakui, bahwa sutradara dari para artis ini memiliki
tangan dingin.
John tengah menikmati sebuah
adegan yang sedikit monoton saat tiba-tiba saja ia merasakan sebuah hawa dingin
mengalir di belakang kepalanya. Detik berikutnya, matanya menjadi kabur, dan
untuk sepersekian detik ia seperti melihat sosok hitam terpampang di hadapanannya.
Sosok yang tidak jelas, yang menghalangi pandangan kedua matanya.
John mengerjap, berusaha menghilangkan
gambaran hitam di depan matanya itu. Dan ternyata berhasil. Hilang. Apa itu
tadi?
Ternyata kedua mata John
mengalami hal yang sama beberapa menit kemudian. Sebuah kilatan cahaya kini
membutakannya, memaksanya untuk memejamkan kedua matanya. Tapi apa yang terjadi
ketika ia membuka matanya? Keadaan di panggung terlihat mengerikan. Ia melihat
sesosok tubuh tergantung tepat di tengah-tengah panggung. Benarkah apa yang ia
lihat itu? John mengerjap, lalu sosok itu hilang. Kini segalanya kembali
seperti semula.
John terus mendapatkan
gambaran-gambaran aneh itu hingga pertunjukan selesai. Dan ia tidak tahu apa
yang tengah terjadi pada dirinya. Ia keluar dari teater dengan perasaan
bingung, disertai pertanyaan yang terus berputar di dalam kepalanya. Apa yang
terjadi padanya? Mungkin…, ia hanya kelelahan?
Jawaban itu ternyata salah.
John mengalami sebuah mimpi yang tidak biasa malam itu. Ia seperti tengah
berada di tengah-tengah bangku teater Dorset, memandang lurus ke arah bagian
tengah panggung dimana ia melihat ada dua sosok pria dan wanita disana. Ia
tidak tahu siapa pria itu, tapi ia tahu dengan jelas siapa wanita itu. Emmy. Ia
terlihat tengah berdebat dengan sang pria. John tidak tahu apa yang tengah
mereka perdebatkan. Mimpinya itu terlihat lebih aneh ketika ia tidak dapat
mendengarkan apapun dan hanya dapat melihat.
Ia melihat Emmy menangis. Apa
karena apa yang telah pria itu ucapkan? John bersumpah di dalam hati bahwa jika
ia melihat pria itu lagi, ia mungkin akan mmeberikan pelajaran padanya karena
telah membuat Emmy menangis. Tapi…, bukankan ini hanya mimpi?
John membuka kedua matanya
dengan nafas terengah-engah seolah ia baru saja berlari. Keringat dingin
membasahi kaos yang ia pakai. Apa maksud dari mimpinya itu?
Hari Kamis, John datang lagi
ke teater. Ia berniat untuk bertemu dengan Emmy dan mungkin akan menceritakan
sedikit mengenai mimpinya. Namun sayangnya, Emmy tidak hadir hari itu. Ia sudah
bertanya pada beberapa artis lain, namun mereka tidak tahu. Mereka malah
memberikan tatapan aneh padanya ketika ia menyebutkan nama Emmy Roswell.
Hari Minggu John datang lagi
untuk menonton pertunjukan. Pertunjukan kali itu terbilang cukup singkat karena
ceritanya sendiri terbilang cukup pendek. Namun ada hal lain yang terjadi pada
John, yang mungkin tidak akan ia percayai seandainya ia tidak sadar bahwa ia
masih hidup. Atau…, apakah ia hanya berhalusinasi?
Kedua matanya kembali
disilaukan oleh sebuah cahaya terang yang datangnya dari arah tengah panggung.
Dan ketika ia membuka matanya kembali, keadaan dan atmosfir di sekelilingnya
telah berubah. Teater Dorset terlihat lebih bagus dari biasanya. Cat-catnya
masih baru, dan deretan kursinya masih terlihat bersih. Anehnya lagi, para
penonton yang sebelumnya berada di depannya kini telah menghilang. Panggung
terlihat kosong. Tidak ada orang sama sekali. Tapi…
Ia mendengar derap langkah
dari arah depannya. Dari arah panggung. Beberapa detik kemudian, munculah Emmy
diikuti oleh seorang pria yang John lihat dalam mimpinya. Mereka berdebat,
seperti apa yang terjadi di dalam mimpinya.
“Emmy!” panggil John.
Anehnya, ia tidak dapat mendengar suaranya sendiri. Emmy pun sepertinya tidak
sadar dengan kehadirannya. John mencoba bergerak mendekat, namun seperti ada
jerat di kakinya yang memaksanya untuk tetap berada di tempat.
“Emmy!” teriak John lagi.
Tapi teriakannya itu sia-sia. Warna dari ruangan yang ia tempati itu tiba-tiba
saja berubah menajdi sedikit kelabu, suram, lalu berubah lagi menjadi warna
sepia yang menyedihkan. John, seperti saat sedang menonton film, hanya dapat
menyaksikan pertengkaran hebat antara Emmy dan pria itu. Ia tidak dapat
melakukan apapun. Ketika ia mulai terbenam dalam perasaan sedihnya, tiba-tiba
saja lantai yang ada di bawah kakinya begetar. Bergetar begitu hebat, seperti
ada gempa dalam skala besar. Lalu…
Penglihat yang John terima
begitu menyiksa hatinya. Emmy dan pria itu menghilang. Namun digantikan dengan
sebuah pemandangan yang begitu menyiksa, begitu memilukan, dan John tidak akan
bisa bertahan melihat pemandangan seperti itu. Ia berteriak keras, saat melihat
tubuh Emmy tergantung di langit-langit gedung opera.
John mengerjapkan kedua
matanya. Dan tiba-tiba saja, keadaan yang sesungguhnya telah kembali. Gedung
tua, dengan sedikit penonton, lalu para artis yang tengah pentas di tengah
panggung. Ya. Semuanya telah kembali seperti semula. Namun apa yang baru saja
terjadi? Apa dia tertidur?
“Kau bukan yang pertama.”
Ucap sebuah suara yang tiba-tiba saja hadir di sisi John. John memutar
kepalanya cepat, dan menemukan sosok pria tua pemilik gedung teater itu.
“Apa?”
Pria tua itu menoleh ke
arahnya, dengan tatapan tajam yang begitu menakutkan. Namun pria itu sama
sekali tidak berniat untuk mengintimidasi John. John tahu itu.
“Apa yang Anda…”
“Penglihatan-penglihatan
itu.” Potong si pria tua. “Lalu mimpi yang kau dapatkan di malam hari mengenai
seorang gadis yang dulu pernah menjadi primadona gedung ini. Emmy Roswell.”
“Apa?! Bagaiman Anda…”
Mulut John terkatup
seketika. Ia tidak menyadari, bahwa apa yang tengah dibicarakan oleh pria tua
itu adalah kisah seorang gadis yang dulu pernah menjadi artis di teater ini.
Gadis itu…
“Ikut aku, nak!”
John seperti seekor anjing
yang bergerak mengikuti majikannya. Pria tua itu membawa John keluar dari
gedung, lalu bergerak ke arah bagian belakang gedung teater dimana yang ada di
sana hanyalah sepetak halaman kosong yang penuh dengan rumput. John dibawa ke
bagian tengah halaman kecil itu. Dan ketika ia melihat sebuah nisan kecil di
antara rerumputan kering, tubuhnya melonjak.
“Emmy Roswell.” Ucap pria
tua itu. “Sudah bertahun-tahun sejak hal itu terjadi. Kisah tragis, dimana
seorang aktris seperti dirinya harus mengakhiri hidup dengan cara yang
mengenaskan.”
John kini mengerti dengan
apa yang dilihatnya. Pertengkaran Emily dengan pria itu, lalu tubuh yang
tergantung itu…
“Siapa pria itu?” tanya John
dengan nada bergetar, percampuran antara rasa sedih dan amarah.
“Siapa pria brengsek yang
memaksa Emmy untuk gantung diri itu?”
Pria tua itu menoleh ke arah
John. Ia menunduk selama beberapa detik, lalu mengarahkan pandangannya kembali
pada John.
“Hanya seorang sutradara
kecil yang dulu pernah bekerja disini.” Jawab pria tua itu. “Dan dialah yang
bertanggung jawab atas kematian Emmy. Pria itu…, membuat Emmy kehilangan
kesempatan emas untuk dapat menjajaki karir di New Himpton. Emmy begitu
tertekan dengan sikap sang sutradara yang memaksanya, bahkan mengancamnya,
untuk tetap tinggal di Dorset. Tapi pada akhirnya…”
“Jadi karena kejadian itu…”
ucap John. “Tempat ini kini jarang didatangi pengunjung lagi? Karena kematian
Emmy?”
“Bagaimana menurutmu?”
John tidak tahu ia harus
berkata apa. Bahkan ia tidak tahu apa yang harus ia pikirkan. Otaknya kini
hanya dipenuhi dengan senyum menawan dari wanita itu. Emmy Roswell. John
tertawa kecil, ketika menyadari bahwa memorinya kini hanya dipenuhi dengan
sosok wanita itu.
“Kurasa ini cara Emmy
mengingatkanku.” Ucap John. “Emmy, mirip dengan istriku. Dan aku terus berduka
karena kematian istriku. Emmy…, mungkin mencoba untuk menyenangkan hatiku.”
“Apa kau akan terus datang
ke tempat ini setelah kini kau mengetahui cerita yang sesungguhnya?” tanya pria
tua itu. “Teater ini…, akan segera dirubuhkan.”
“Ya.” Jawab John. “Selama
gedung ini masih berdiri, aku akan terus datang. Untuk mengenang istriku…, dan
juga… Emmy.”
Itulah keputusan John
Summer. Selama masih ada teater, ia akan terus mengunjunginya. Mungkin ia tidak
akan bertemu lagi dengan Emmy. Namun, ia akan tetap mengenangnya. Sama seperti
saat ia mengenang mendiang istrinya.
****