Cody berteriak.
Untuk yang kesekian kalinya malam itu. Ia sudah terlelap tidur saat sebuah
gangguan tiba-tiba saja datang ke tidurnya. Yang membuatnya seketika terbangun,
membuka matanya dengan keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya. Ia
memimpikan mimpi buruk itu lagi.
Teriakan Cody tentu saja
membangunkan seisi rumah. Tak sampai lima menit setelah ia berteriak, pintu
kamarnya terbuka. Ibunya dengan gerak cepat bergerak masuk ke kamar ditemai
oleh ayahnya. Kedua orang itu memandang Cody dengan tatapan aneh.
“Ibu! Ayah!” pekik Cody
dengan suara bergetar. Bayang-bayang mengenai mimpi buruknya itu masih tersisa,
seolah di belakang kelopak matanya.
“Cody, sudah berapa kali kau
berteraik malam ini?” ucap ibunya sedikit gusar. “Sudah lima kali! Dan kau selalu
membangunkan adikmu!”
“Tapi, Bu…” Cody mencoba
membantah, namun harus mengurungkan niatnya itu saat tatapan mata ibunya
terarah padanya. Cody menunduk, setelah sebelumnya melirik ke arah ayahnya. Di
gendongan ayahnya, terdapat seorang anak kecil berusia tiga tahun. Adiknya.
“Apa alasannya sekarang?”
tanya ibu Cody kemudian. “Kau mimpi buruk lagi? sudah berapa kali kukatakan
untuk tidak menonton film-film horor itu!”
“Bukan, Bu. Bukan masalah
itu!” ucap Cody. “Mimpi yang kualami…, sangat aneh. Aku seperti…, aku seperti…”
Cody kesulitan berbicara. Ia
tidak tahu apa yang harus ia katakan untuk dapat meyakinkan ibunya itu. Sudah
berkali-kali hal seperti ini terjadi. Ibunya mulai kesal dengan tingkah Cody
yang selalu berteriak di tengah malam buta seperti itu.
“Kau berada di rumah, Cody.”
Ucap ayahnya. “Kau aman. Tidak akan ada yang bisa menyakitimu. Hanya mimpi.”
Hanya mimpi…
Ya. Jika saja Cody dapat
mengangapnya begitu. Namun mimpi yang ia alami tidak seperti mimpi buruk
seperti biasanya. Cody merasa benar-beanr ketakutan dengan apa yang terjadi
saat ia tidur. Ia merasa seperti setengah tertidur, dan setengah sadar. Ia
tidak tahu harus bagaimana menjelaskannya.
“Tidur lagi, Cody!” ucap
ayahnya setelah mengusap puncak kepala Cody.
“Kau sudah dua belas tahun,
Cody.” Ucap ibunya dengan nada sedikit kesal. “Seharusnya hal seperti ini sudah
tidak terjadi lagi padamu.”
“Maaf, Bu.” Ucap Cody lirih
sambil menundukkan kepalanya. Ibu dan ayahnya bergerak keluar beberapa detik
kemudian. Meninggalkan Cody berada di keremangan kamarnya yang hanya tersinari
dari sebuah lampu meja. Cody merasakan bulu kuduknya berdiri saat angin
membentur-bentur keras ke arah daun jendela kamarnya.
Jarum jam saat itu baru
menunjukkan pukul satu dini hari. Masih terlalu lama sebelum matahari pagi
dapat meghilangkan segala keresahan yang Cody alami. Ia kembali membaringkan
tubuhnya sedetik kemudian. Namun ia sama sekali tidak dapat menutup kedua
matanya. Ia merasakan rasa takut yang luar biasa. Seolah saat ia memejamkan
mata, ada mata lain di kamar itu, yang bersembunyi di sudut-sudut gelap, yang
menatapnya.
Mimpi-mimpi buruk seperti
ini sudah Cody alami selama seminggu terakhir. Ia selalu terbangun di tengah
malam buta, dan berteriak tanpa alasan yang jelas. Atau mungkin…, memang ada
alasan untuk hal itu? Hal seperti itu selalu terjadi sesaat setelah ia
mendapatkan mimpi itu. Mimpi yang sama, yang setiap kali membuatnya menjerit.
Mimpi-mimpi itu selalu
dimulai dengan dirinya yang berdiri di sebuah koridor sebuah rumah. Cody tidak
tahu rumah siapa yang ia tempati saat itu, yang jelas bukan rumahnya. Koridor
itu terlihat remang, hanya disinari oleh sebuah lampu di dinding.
Ia selalu berdiri terdiam di
ujung koridor itu, sambil memandang ke arah sebuah ruangan yang ada di ujung,
yang terbuka, dan memancarkan sinar kebiruan dari dalam ruangannya. Seolah ada
yang menonton tv di dalam kamar itu. Namun Cody tidak dapat mendengar suara
apapun kecuali suara nafasnya sendiri.
Ia selalu bergerak di dalam
mimpinya itu. Selangkah demi selangkah ia bergerak maju, semakin dekat ke arah
ruangan yang terbuka itu. Suara angin terdengar di luar rumah,
membanting-banting daun jendela. Cody terus bergerak, semakin dekat dengan
ruangan itu, dan ketika ia sudah mencapai ambang pintunya, tiba-tiba saja ada
sebuah bayangan yang melesat di depannya. Seperti sebuah asap hitam, dengan
sepasang mata merah semerah darah menatapnya. Dan di saat itulah ia biasanya
terbangun sambil menjerit.
Cody selalu mencoba untuk
menganalisis mimpinya itu. Ia ingat-ingat dimana ia pernah melihat koridor
rumah seperti itu. Apakah rumah dari salah stau temannya? Rasanya tidak. Dan
jelas-jelas koridor itu bukan merupakan koridor dari rumah yang ia tempati saat
ini.
Apa yang membuatnya selalu
memimpikan hal itu? Apakah ia pernah menonton sebuah film horor dengan tema
sebuah koridor seperti itu? Cody tidak dapat mengingat. Namun ia yakin jelas
bahwa tidak ada hal semacam itu di film horor yang tonton. Film horor yang ia
tonton selalu bergenre slasher. Sama sekali tidak menyambung dengan mimpinya
yang lebih mengarah kepada hal-hal psikologis.
Aneh. Benar-benar aneh. Cody
sampai lelah memikirkan semua mimpi yang ia alami itu. Kenapa ia mengalaminya,
belum jelas alasannya. Yang jelas, Cody selalu sulit untuk tertidur kembali
setelah mengalami mimpi seperti itu.
Cody masih terbaring di atas
tempat tidurnya dengan kedua mata terbuka lebar. Ia selalu melirik ke arah
ujung kamarnya yang gelap, dan selalu merasa bahwa ada sesuatu di tempat itu.
Seperti seseorang yang mengawasinya atau…, hal yang lebih mengerikan daripada
hal itu.
Namun nyatanya tidak ada
apapun di ujung ruangannya. Yang terlihat hanyalah sekelompok alat-alat
olahraga yang berdebu karena jarang dipakai. Tidak. Tidak ada apa-apa disana.
Tapi…
Perhatian Cody seketika
terarah pada bagian bawah pintu kamarnya. Ia seperti melihat bayangan orang
bergerak mondar-mandir di depan kamarnya. Apakah ibunya? Atau ayahnya?
“Ibu?” panggil Cody sambil
menegakkan posisi tubuhnya. “Ayah, apa itu kau yang disana?”
Tidak ada jawaban sama sekali
dari luar kamarnya. Cody kembali melirik ke bagian bawah pintunya, dan bayangan
mondar-mandir itu sudah tidak terlihat lagi. Apakah bayangan itu tadi nyata,
atau ia hanya berhalusinasi karena rasa takutnya yang berlebihan? Cody tidak
dapat menemukan jawabannya.
Jam terus bergerak, semakin
pagi. Cody baru bisa mendapatkan rasa kantuknya lagi saat jarum jam sudah
menunjukkan pukul tiga pagi. Angin di luar masih terus menderu, menggetarkan
daun jendelanya. Cody merasa takut untuk kembali menutupkan kelopak matanya.
Namun ternyata ia harus kalah dengan rasa kantuknya.
Satu hal yang terjadi sesaat
kemudian adalah sebuah tarikan di kakinya. Apakah monster yang berada di
kamarnya yang melakukan hal itu? Bukan. Tapi ulah ibu Cody yang mencoba
membangunkan Cody pagi itu.
Cody membuka sebelah
matanya. Sinar matahari sudah sepenuhnya menerangi kamarnya yang jendelanya
sudah terbuka.
“Bangun, Cody! Sampai kapan
kau mau tidur? Kau harus ke sekolah, ‘kan?”
Cody menegakkan tubuhnya. Ia
merasa sekujur tubuhnya pegal dan tidak mengenakkan. Ia baru bisa tidur sekitar
pukul tiga pagi. Dan rasanya ia seperti belum tidur semalaman.
Saat sarapan pagi itu pun
pikiran Cody selalu terarah pada mimpi buruk yang ia alami. Ia masih tidak tahu
kenapa hal itu terjadi padanya. Apakah ia melakukan sebuah kesalahan yang tidak
ia sadari? Rasanya tidak. Dan ia yakin benar bahwa mimpi itu tidak ada
hubungannya dengan film-film horor yang ia tonton.
“Kau harus mengurangi
menonton film horor, Cody.” Ucap ayahnya, yang duduk tepat di depannya. Cody
hanya menundukkan kepalanya sambil memainkan garpu pada roti lapisnya. Ibu Cody
tiba-tiba saja ikut angkat bicara.
“Jika hal ini terus terjadi,
mungkin kau butuh bantuan ahli, Cody. Ibu dan ayah sudah habis pikir dengan apa
yang terjadi padamu.”
Cody mencoba untuk melupakan
masalah mimpi buruknya itu. Saat di sekolah, ia mencoba untuk fokus pada
pelajaran yang ia terima. Namun akibat dari kurangnya tidur semalam, ia menjadi
mengantuk saat menerima pelajaran. Ia bahkan sempat tertidur. Sebagai akibatnya,
ia harus mendapatkan pr berlebih dari guru di kelas saat itu.
Pr yang menumpuk tentu saja
membuat Cody harus melakukan hal esktra di rumah. Ia harus mengerjakan pr-nya
itu sampai larut malam. Keadaan sudah benar-benar sepi saat Cody selesai dengan
pekerjaan rumahnya itu. Jarum jam telah menunjuk angka sebelas. Ayah dan Ibunya
mungkin sudah tertidur.
Cody baru saja akan bergerak
memasukkan buku-bukunya ke dalam tas saat ia merasa ada yang bergerak di luar
kamarnya. Suara langkah kaki yang berbunyi duk-duk-duk. Cody mencoba
mendnegarkan suara itu. Ia bahkan melihat lagi bayangan dari bawah pintu
kamarnya.
“Ibu? Apa itu kau?” seru
Cody. Namun ia sama sekali tidak mendapatkan jawaban apapun.
“Ayah?” seru Cody lagi.
Namun lagi-lagi tidak ada balasan dari luar kamar. Cody yang merasa penasaran
langsung mengarah ke pintu kamarnya, dan membuka pintu kamarnya itu. Ia
melihat…
Tidak apa-apa di luar
kamarnya. Koridor sudah dalam keadaan remang, menunjukkan bahwa ayah dan ibunya
sudah berada di tempat tidur saat itu. Cody tiba-tiba saja merasakan bulu
kuduknya meremang. Apa yang sebenarnya ia dengar dan lihat itu tadi?
Cody mencoba untuk tidur.
Namun seperti sebelumnya, ia merasa seolah ada yang mengawasinya dari sudut
kamarnya yang gelap. Ia tahu persis bahwa tidak ada apapun di sudut kamar itu.
Tapi…
Tidak! Cody mengucapkan kata
tidak pada dirinya sendiri. Ia tidak boleh menjadi penakut. Apa yang sebenarnya
ia takutkan? Bukankah ia sudah tidak percaya dengan adanya hantu lagi? ia sudah
berusia 12 tahun dan memiliki hobi menonton film horor. Apa yang mungkin dapat
membuatnya takut?
Dengan perlahan, Cody pun
akhirnya tertidur. Dan sedetik kemudian ia sudah berada di dalam koridor
panjang yang remang itu lagi. ia bergerak, mendekati ruangan menyala biru di
ujung lorong itu. Semakin dekat, dan dekat, dan dekat. Ia dapat mendengar nafas
beratnya sendiri. Apa yang akan ia temukan di dalam ruangan itu? Apa yang akan
ia temukan di dalam sana? Cody semakin merasa penasaran. Beberapa langkah
kemudian ia sudah sampai di ambang pintu ruangan itu. Ketika ia akan melongok
ke dalam, tiba-tiba saja…
Sebuah bayangan hitam
seperti asap muncul secara tiba-tiba di depan matanya. Bentuk dari asap hitam
itu seperti sosok manusia berambut hitam panjang, dengan mata semerah darah,
dan satu seringai menunjukkan taring-taring yang panjang, kemudian…
“TIDAK!!!”
Cody berteriak lagi.
Pemandangan dari bagian dalam kamarnya langsung muncul ketika ia membuka kedua
matanya. Ia langsung bangkit ke posisi duduk, dengan keringat dingin membasahi
sekujur tubuhnya. Tidak…, kenapa hal itu terjadi lagi?
Cody sedikitnya dapat
bernafas lega saat tidak ada suara-suara di luar kamarnya. Ibu dan ayahnya
ternyata tidak mendengar teriakannya saat itu. Cody menghembuskan nafas lega.
Jika ada suatu hal yang lebih menakutkan dari mimpinya, mungkin hanya wajah
ibunya yang marah.
Cody membaringkan tubuhnya
kembali. Namun perhatiannya sesaat kemudian terarah pada sebuah suara di luar
kamarnya. Seperti tadi, terdengar suara-suara langkah kaki yang tidak jelas.
Lalu ada suara seperti sebuah pintu terbuka. Lalu…, hening. Cody mencoba
mendengarkan lagi, tapi suara itu tidak terdengar lagi. Cody kemudian membalik
posisi tidurnya, dan terlelap lagi.
Lagi-lagi ia berada di
lorong yang remang itu, mencoba untuk bergerak mendekati ruangan di ujung
koridor. Namun setiap kali ia dapat mencapai ambang pintu kamar itu, sesosok makhluk
aneh selalu hadir tepat di depan kedua matanya. Dengan mata merah, dan seringai
penuh dengan taring itu, lalu sebuah tangan hitam yang mencoba untuk mencekik
lehernya.
“TIDAK!! JANGAN!!” Cody
berteriak. Ia membuka kedua matanya, dan sebuah cahaya membutakan matanya. Ia
sempat melihat ada sosok yang berdiri menaunginya. Apakah sosok hitam itu?
Bukan. Tapi sosok itu adalah
ibu Cody. Hari sudah pagi ketika Cody terbebas dari mimpi buruknya itu. Untuk
seketika, ia dapat bernafas lega, dan tidak melihat pada wajah ibunya, yang
sudah dapat ia tebak bahwa ibunya itu murka. Akan tetapi…
Tidak. Tidak ada ekspresi
aneh dari ibunya pagi itu. Malahan, ibunya itu terlihat begitu khawatir
padanya.
“Kau memimpikan hal itu
lagi, Cody?” tanya ibunya. Cody hanya dapat menganggukkan kepalanya pelan.
“Maaf!” ucapnya kemudian
seraya bangkit dari tempat tidur. “Tidak perlu memikirkanku.”
Cody benar-benar tidak
mengerti apa yang terjadi pada dirinya. Apa arti dari semua mimpi itu? Ia
sempat membaca sebuah artikel di internet yang menyebutkan bahwa mimpi kadang
berarti sesuatu. Tapi apa? Apa maskud dari lorong-lorong remang itu?
Hal yang lebih membuatnya
mengerutkan dahi adalah suara-suara yang terdengar di luar kamarnya.
Suara-suara langkah kaki itu, yang terdengar begitu jelas. Tapi apa yang
menciptakan suara itu? Mungkinkan ada orang lain yang tinggal di dalam rumahnya
tanpa ia ketahui?
Cody tidak banyak bicara
selama sisa hari itu. Ia sedang kesal dengan dirinya sendiri. Ia bahkan tidak
mau berbicara dengan ayah atau ibunya di rumah, dan memilih untuk mengunci diri
di kamar. Ia memikirkan lagi semua hal yang terjadi padanya. Hal-hal aneh itu.
Cody yang tidak tahan dengan
kesendirian langsung keluar dari kamarnya, dan bergerak menuruni tangga. Namun
ketika ia baru sampai di tengah-tengah, ia mendengar ada percakapan serius
antara ayah dan ibuny.
“Aku sudah benar-benar
cemas.” Ucap ibunya. “Apa yang terjadi pada Cody sudah di luar kata normal. Ia
selalu mengalami mimpi itu.”
“Tidakkah ia mencoba
menjelaskan mimpinya padamu?” tanya ayahnya. “Ia selalu diam jika aku tanya.”
“Pernah satu kali ia
bercerita padaku.” Jawab ibu Cody. “Ia merasa seperti berjalan di koridor yang
gelap, dengan sebuah kamar misterius di ujungnya. Dan juga mengenai sesosok
makhluk hitam dengan mata merah…”
“Mungkin karena terlalu
banyak menonton film horor?”
“Tapi sudah kelewatan.” Ucap
ibu Cody. “Hal ini sudah berjalan selama dua minggu berturut-turut. Ia selalu
berteriak. Pagi tadi juga begitu.”
“Lalu apa yang akan kita
lakukan?” tanya ayahnya. “Apa kita perlu membawa ke dokter? Psikologis,
mungkin?”
“Tidak!” sahut Cody
seketika. Yang saat itu sudah berada di anak tangga terbawah. Ayah dan ibunya memandang
ke arahnya.
“Cody, kami cemas pada
keadaanmu.” Ucap ayahnya.
“Aku baik-baik saja, ayah.”
Ucap Cody. “Hanya mimpi buruk…, bukan sesuatu yang perlu digembor-gemborkan.”
“Tapi, Cody…”
“Aku baik-baik saja.” Ucap
Cody tegas. “Lupakan apa yang pernah terjadi padaku!”
Cody bergerak kembali ke
kamarnya. Tidak. Kedua orang tuanya tidak mengerti dengan apa yang ia alami.
Mimpi-mimpinya itu pasti memiliki arti. Ia yakin akan hal itu. Namun ia belum
mendapatkan jawabannya.
Cody memutuskan untuk pergi
tidur saat jarum jam menyentuh pukul sembilan malam. Dan lagi-lagi, ia harus
mengalami mimpi itu lagi. ia berjalan di koridor, mengarah pada ruangan di
ujung lorong. Dan ketika ia sudah sampai di ambang pintu,…
Tidak. Kali ini bayangan
hitam itu tidak muncul lagi. Cody berhasil memasuki kamar dengan cahaya biru
itu. Namun apa yang ia lihat kemudian di depan kedua matanya membuatnya
menjerit lagi.
Ia melihat ada beberapa
orang terpuruk diatas lantai, dengan darah membasahi seluruh ruangan biru itu.
Tv masih menyala di dekat mayat-mayat sebuah keluarga itu. Tubuh-tubuh tak
bernyawa itu terliha tmenumpuk menjadi satu. Membuat Cody nyaris muntah karena
aroma anyir dari dalam ruangan itu. Ia memutar tubuhnya sedetik kemudian,
mencoba untuk berlari dari ruangan itu. Akan tetapi, sosok hitam itu sudah
berdiri tepat di depan kedua matanya. dengan mata merah, dan seringai penuh
dengan taring…, Cody berteriak lagi.
Cody membuka kedua matanya.
lagi-lagi ia harus terbangun dengan sebuah jeritan, dan juga keringat yang
membasahi sekujur tubuhnya. Mimpi itu lagi. Tapi kali ini sedikit berbeda.
Perhatian Cody seketika
teralih saat terdengar suara ketukan di pintu kamarnya. Cody melirik ke arah
bawah pintu, dan melihat ada bayangan yang berdiri disana. siapa? Ibunya? Atau
ayahnya? Cody langsung saja melompat turun dari tempat tidurnya. Tapi sesaat
setelah itu, terdengar suara langkah kaki berlari menyusuri koridor, dan
terdengar sebuah suara pintu terbuka.
Cody membuka pintu kamarnya.
Yang ia lihat hanyalah keremangan koridor. Namun ia kemudian masih dapat
menangkap sebuah suara di ujung koridor. Suara sebuah pintu.
Cody bergerak ke arah
koridor. Dan seketika itu juga ia merasakan sesuatu yang familiar. Koridor itu,
nyaris sama dengan koridor yang ada di dalam mimpinya. Dan memang ada sebuah
ruangan di ujung lorong. Itu. Namun selama ini ruangan itu hanya digunakan
sebagai gudang dan jarang sekali dimasuki. Cody merasa penasaran. Ia masih
mendengar suara langkah kaki itu di ujung koridor. Mungkinkah ada sesuatu di
dalam ruangan itu?
Dalam keremangan cahaya,
Cody terus menggerakkan kakinya. Sama persis seperti apa yang ia alami di dalam
mimpinya. Suasana begitu hening, bahkan ia dapat mednengar suara nafasnya
sendiri. Ia bergerak semakin dekat, dan dekat, dan dekat…, hingga akhirnya ia dapat
melihat bahwa pintu ruangan di ujung koridor itu sedikit terbuka. Dan ia
mendengar sebuah suara yang tak asing. Sebuah suara anak kecil, seperti sedang
bernyanyi di dalam.
Cody nyaris tidak dapat
berpikir lagi. Otot-ototnya seolah memiliki otak tersendiri. Ia tidak mau
memasuki ruangan itu, namun ia tidak dapat menahan pergerakan tubuhnya. Ia raih
handel pintu kamar itu, dan membukanya perlahan. Ia melihat sebuah kegelapan
diantara tumpukan-tumpukan barang. Namun suara anak kecil itu terdengar dengan jelas,
dari balik sebuah tumpukan kardus. Cody bergerak perlahan masuk ke dalam
ruangan itu. Ia ikut suara itu, hingga pada akhirnya ia melihat apa yang ada di
dalam ruangan itu.
Seseoran tengah duduk di
lantai, membelakanginya. Seorang anak kecil, dengan pakaian yang terlihat
kusut. Gadis kecil itu bersenandung lirih, dan sama sekali tidak menyadari
kehadiran Cody. Cody yang merasa penasaran langsung saja bergerak mendekati
gadis itu. Namun baru satu langkah, gadis itu memutar tubuhnya. Dan Cody
melihat wajah pucat dengan mata merah dan seringai penuh taring itu.
“AHHHHHH!!!”
Hal terakhir yang Cody ingat
adalah saat gadis itu melompat ke arahnya dengan mulut terbuka lebar. Sesaat
kemudian, Cody tidak sadarkan diri.
**
Cody merasakan ada sesuatu
yang dingin menempel di kepalanya. Kepalanya terasa begitu berat, dan ia nyaris
tidak dapat membuka kedua kelopak matanya. Namun ia dalamkeadaan sadar. Ia
dapat mendengarkan suara-suara di sekelilingnya. Suara ibu dan ayahnya.
“Ibu?” gumam Cody lirih.
“Lihat! Dia sudah sadar.”
Ucap suara ibunya. “Cody! Cody! Bangun sayang!”
Dengan usaha yang berlebih,
akhirnya Cody dapat membuka kelopak matanya. Cahaya terang dari sebuah lampu
membuat matanya terasa begitu pedih. Namun ia dapat melihat bayangan ibu dan
ayahnya, yang berdiri tepat di depannya, dengan wajah cemas. Ketika ia sudah
dapat membuka matanya dengan sempurna, ia sadari bahwa saat itu ia terbaring di
lantai gudang di ujung koridor itu.
“Cody, apa yang terjadi?”
Cody tidak memiliki pilihan
lain selain menceritakan apa yang sudah ia alami. Semua hal, mengenai
mimpi-mimpinya di koridor itu, dan juag suara-suara langkah kaki dan bayangan
yang ia lihat di luar kamarnya. Ibu dan ayahnya terlihat bingung dengan semua
cerita Cody. Namun mereka tidak membantah apa yang Cody katakan.
Kisah aneh mengenai Cody dan
juga mimpi-mimpi buruknya itu pada akhirnya tersebar. Tetangga mereka banyak
yang berkunjung untuk melihat keadaan Cody. Mereka merasa peduli dengan apa
yang terjadi pada anak dua belas tahun itu. Namun satu hal yang mengejutkan
terjadi seminggu setelah Cody pingsan di gudang itu. Seorang pria tua datang,
menemui ayah dan ibu Cody.
“Aku sudah mendengar apa
yang terjadi.” Ucap pria tua itu. “Malahan aku tidak merasa heran jika hal itu
terjadi.”
“Apa maksud Anda?” tanya ayah
Cody.
Pria tua itu pada akhirnya
menceritakan siapa dirinya. Ia dulu adalah petugas taman di sekitar rumah Cody.
Dan ia mengatakan bahwa dulu pernah terjadi sebuah kasus perampokan dan
pembunuhan di dalam rumah yang kini ditempati oleh Cody dan keluarganya.
Anggota dari keluarga pada saat itu dibunuh di dalam sebuah kamar, yang kini
menjadi gudang tempat keluarga Cody menyimpang barang bekas.
“Mungkin mereka meminta
bantuan.” Ucap pria tua itu, sambil memandang ke arah Cody yang terhenyak oleh
cerita mengenaskan itu.
“Mimpi itu berarti sesuatu,
Cody. Mereka memilihmu.”
“Untuk apa?” tanya Cody.
“Mungkin…, mereka hanya
ingin didoakan. Agar mereka bisa berisitrahat dengan tenang.”
Ayah dan Ibu Cody pada
awalnya tidak mempercayai seratus persen semua kata-kata dari pria tua itu.
Namun suatu hari mereka menemukan bukti dari kejadian mengenaskan yang pernah
terjadi di rumah itu. Di dalam gudang mereka, mereka melihat ada bekas noda
hitam di lantai yang tidak dapat dihilangkan. Bekas darah dari pembunuhan kejam
itu. Kini mereka percaya dengan apa yang pria tua itu katakan.
“Lalu apa yang akan kita
lakukan?” tanya Ibu Cody dengan cemas. Ia takut jika anaknya akan terus
mendapatkan mimpi-mimpi buruk itu.
“Seperti yang dikatakan oleh
pria itu…” ucap ayah Cody. “Kita harus mendoakan mereka.”
Semenjak ia pingsan saat
itu, Cody tidak lagi mendapatkan mimpi buruk mengenai koridor remang itu.
Mungkin doa yang ia dan kedua orang tuanya panjatkan telah dapat memuaskan
arwah yang mungkin tinggal di dalam rumah itu. Akan tetapi, Cody merasa bahwa
arwah itu belum pergi sepenuhnya. Karena setiap malam, ia selalu mendengar
suara langkah kaki di luar kamarnya. Dan hal itu menjadi mimpi buruk baru bagi
Cody.
****