Sandra mendecakkan lidahnya kesal. Lagi-lagi ia harus
berhadapan dengan situasi yang tidak menyenangkan. Kedua matanya itu masih
terpaku ke arah layar ponselnya, dan menyadari bahwa ia berada di kawasan yang
tidak memiliki sinyal. Sungguh sebuah malapetaka yang tidak terkira. Ia kini
berada di tengah hutan, tanpa ada satupun tanda-tanda akan adanya pertolongan.
Ia tidak sendiri. Ia pergi
bersama tiga temannya yang lain, Lisa, James, dan Eric. Mereka berencana untuk
menonton sebuah konser musik yang diadakan di Arcadia. Karena waktu sudah
begitu mepet, mereka pada akhirnya memutuskan untuk memotong jalan melalui
jalur tengah hutan. Tujuan mereka adalah sampai di Arcadia tepat waktu. Tapi
siapa sangka bahwa mobil yang mereka tumpangi akan mogok di tengah jalan?
Lisa yang berdiri di
depannya juga terlihat kesal dengan keadaan yang tengah mereka hadapi itu.
Langit terlihat begitu gelap, tertutup mendung, yang sesaat lagi mungkin akan
mencurahkan air hujan ke atas kepala mereka. Bukan hanya itu saja yang menjadi
masalah. Mereka juga harus menghadapi keadaan gelap hutan, mengingat jam sudah
menunjukkan pukul sepuluh lebih.
“Sialan!” umpa Lisa seraya
menendang ban mobil. Ia sedari tadi terus mengomel tanpa berhenti. Sandra yang
awalnya diam saja kini mulai merasa kesal juga dengan tingkah aneh temannya
itu.
“Bisakah kau diam sebentar
saja, Lisa?” ucap Sandra sedikit kasar. Ia tidak peduli lagi jika temannya itu
mau marah.
“Benar-beanr sebuah
perjalanan yang menarik, ‘kan?” ucap Lisa dengan anda sedikit jengkel. “Ide
siapa untuk memotong jalan melalui hutan ini? Dan lihat apa yang terjadi!”
“Kurasa kita semua sudah
menyetujui kesepakatan itu.” Balas Sandra. “Dan, ya. Ini memang diluar dugaan.
Siapa sangka mobil semahal ini bisa mogok?”
“Kita jadi tidak bisa
menonton konser,” ucap Lisa. “Kita juga terjebak di tengah hutan, di malam
hari, dan langit sudah mau runtuh. Lihat mendung itu!”
Sandra hanya dapat mendesah
pelan. Apapun yang ia dan Lisa ucapkan, sepertinya tidak akan merubah keadaan
yang mereka temui saat itu. Ya. Apa lagi yang bisa lebih buruk dari keadaan
itu?
“Kemana mereka?” tanya Lisa
dengan nada membentak. Pertanyaannya mengacu pada perginya James dan Eric.
Kedua lelaki itu menghilang begitu saja tanpa asap.
“Mencari bantuan, mungkin.”
Balas Sandra.
“Oh, ya. Semoga saja mereka
bisa menemukan ‘rumah’ di tengah hutan lebat seperti ini.”
“Paling tidak mereka
berusaha.” Ucap Sandra lagi. “Tidak sepertimu yang hanya bisa mengomel.”
Lisa menggeram pelan.
Keadaan yang ia alami saat itu memang benar-benar tidak ia sukai. Sandra sudah
tidak heran lagi dengan tingkah dari gadis di depannya itu. Selama ini Lisa
selalu menganggap dirinya seorang ‘putri’ yang harus bisa mendapatkan segala
sesuatunya dengan mudah. Keadaan genting seperti sekarang ini tentu saja tidak
cocok dengan kepribadian gadis itu.
“Ah! Itu mereka!” ucap Lisa
sambil menunjuk ke arah dua lelaki yang bergerak mendekat ke arah mobil.
“Bagaimana?” tanya Sandra
pada kedua lelaki itu. “Tidak ada sinyal, dan sepertinya kita sudah kehabisan
akal. Kalian menemukan sesuatu?”
“Oh, ya.” jawab Eric sambil
nyengir. Tingahnya itu entah kenapa membuat Sandra sedikit muak.
“Kami menemukan rumah di
tengah hutan.” Ucap James.
“Ha..ha.., lucu sekali.”
Balas Lisa. “Ada lelucon lain yang ingin kalian ucapkan? Untuk menambah
penderitaan kita?”
“Aku serius.” Ucap James. Ia
bergerak ke arah mobil, lalu meraih tas kecilnya. Ia memandang ke arah kedua
gadis itu dengan tatapan yang sepertinya memang sungguh-sungguh.
“Ada seuah rumah besar tak
jauh dari sini.” Lanjut James. “Kami juga tidak mempercayainya. Namun rasanya
tidak ada pilihan lain yang bisa kita lakukan, ‘kan?”
“Rumah itu…” balas Sandra.
“Kau yakin bukan rumoh kosong? Dan siapa yang mau tinggal di tengah hutan
seperti ini?”
“Tidak kosong.” Ucap Eric.
“Kami dapat melihat jendelanya berpendar dari dalam. Tentu ada yang tinggal
disana. Dan kenapa mereka tinggal di tengah hutan? Aku tidak tahu. Apakah itu
penting?”
“Kita hanya akan meminjam telepon
mereka.” Ucap James. “Dan mungkin juga untuk berlindung dari hujan ini.”
Benar saja. Rintik-rintik
hujan mulai turun dari langit. Benar-benar sebuah keadaan yang sangat
menyebalkan bagi keempat pemuda itu. Namun mereka tidak memiliki banyak pilihan
dalam situasi seperti itu.
“Jadi bagaimana?” tanya
Eric. “Kalian mau ikut dengan kami ke rumah itu, atau menunggu di mobil hingga
pagi? Kalian mau tidur di mobil?”
Lisa mendecak kesal.
Lagi-lagi wajahnya menekuk saat kekesalan sudah memuncak di dadanya. Dengan
sikap ragu, ia mulai mengambil tasnya dari dalam mobil, dan bergerak mengikuti
ketiga temannya.
Rumah yang dimaksudkan oleh
Eric dan James terletak tidak begitu jauh dari tempat mobil mereka mogok.
Mereka berjalan kira-kira sepuluh menit, dan rumah besar itu terlihat jelas.
Sungguh sebuah pemandangan
yang aneh, melihat adanya rumah besar tiga lantai di tengah hutan belantara.
Siapapun yang tinggal di dalam rumah besar itu pasti tidak begitu menyukai
kerumunan manusia. Memang aneh, namun rumah itu menjadi satu-satunya harapan
bagi keempat pemuda itu.
Rumah besar itu memiliki
dinding dengan bata merah. Dalam keadaan gelap dan basah oleh air hujan,
dinding rumah itu terlihat seperti berdarah. Bentuk bangunan itu sendiri pun
tergolong aneh, dan memberikan sensasi yang tidak biasa bagi keempat pemuda
itu.
“Ini dia.” Gumam Eric.
“Semoga saja pemilik rumah belum pergi tidur.”
Keempat pemuda itu mengarah
ke pintu depan besar yang ada di bagian depan rumah itu. Eric mengetukkan
kepalan tangannya pada pintu besar itu. Namun saking tebalnya kayu pintu,
ketukannya jadi tidak begitu terdengar.
“Gedor saja!” ucap James.
Eric melakukan apa yang
James perintahkan. Ia gedorkan kepala tangannya pada pintu besar itu
berkali-kali. Namun sayangnya tidak ada balasan dari dalam.
“Kosong.” Ucap Lisa. “Rumah
ini kosong.”
“Tidak.” Bantah James. Ia
kemudian menunjuk sebuah jendela di lantai dua, yang terlihat berpendar,
menunjukkan sinar keemasan.
“Lebih keras! Gedor lebih keras!”
Hujan turun semakin lebat,
dan mereka mulai basah kuyup. Eric menggedorkan kepalan tangannya beberapa
kali. Hingga pada akhirnya, terdengar sebuah suara kunci diputar dari dalam.
Dan pintu itu terbuka, menunjukkan sesosok pria tua kurus dalam balutan jas.
“Maaf!” ucap Eric seketika.
Pria tua itu memandang keempat pemuda itu melalui kedua mata cekungnya.
“Mobil kami mogok di dekat
sini,” ucap Eric kemudian. “Dan kami melihat rumah ini. Mungkin kami mau
meminta tolong. Mungkin Anda bisa meminjamkan telepon pada kami? Kami butuh
bantuan, dan…”
Pria tua kurus itu tidak
menjawab apapun. Namun gerakan tangannya dengan perlahan mulai membuka pintu
besar itu, mempersilahkan tamunya masuk ke dalam rumah besar itu.
“Terima kasih.”
Keempat pemuda itu akhirnya
terbebas dari guyuran air hujan. Kini mereka berada di foyer rumah besar itu,
yang terlihat begitu mewah dan megah, namun masih memberikan sensasi yang aneh.
Lantai di foyer itu terbuat dari marmer dengan pola-pola unik. Dinding
ruangannya terbuat dari panel-panel kayu yang mengkilat. Rumah itu bukan rumah
bisa, namunrumah konglomerat.
“Terima kasih, sekali lagi.”
ucap Eric sambil memandang pada pria tua itu. “Uhm…”
“Mobil kalian mogok?” ucap
pria tua itu sedetik kemudian dengan nada yang serak. “Sungguh disayangkan.
Tapi kalian beruntung bisa menemukan
rumah ini.”
“Ya.” balas Eric. “Kami
merasa beruntung. Benar-benar beruntung.”
“Kurasa aku bisa membantu.”
“Anda pemilik rumah ini?”
tanya Eric cepat. Pria tua itu terlihat mengawasi wajah keempat pemuda itu sebelum
membuka mulutnya.
“Aku hanya pelayan di rumah
ini.” Ucap pria tua itu. “Jangan khawatir! Kalian bisa meminjam telepon. Dan
aku akan memberitahu Tuan besar mengenai kedatangan kalian.”
“Terima kasih.” Ucap Eric
lagi.
“Teleponnya ada di ujung koridor.”
Ucap pria tua itu. Sebelum pria itu pada akhirnya bergerak pergi, menaiki
sebuah tangga besar yang ada di ujung ruangan.
Eric memandang ketiga
temannya sambil nyengir. Ia merasa senang pada akhirnya mereka bisa mendapatkan
bantuan.
“Tenang saja!” ucap Eric.
“Kita akan keluar dari tempat ini secepatnya.”
Sandra mengibas-ibaskan
lengan bajunya. Mencoba untuk mengeringkan jaketnya yang sedikit basah terkena
siraman air hujan di luar lagi. Lisa terlihat juga melakukan hal yang sama,
meski ia lebih peduli pada rambut ekor kudanya. James, terlihat mengagumi
sebuah lukisan kuno yang ada di foyer itu.
“Aku akan menelepon mobil
derek.” Ucap Eric, sebelum lelaki itu bergerak masuk ke dalam koridor yang ada
di samping tangga besar.
Sandra menyapukan pandangan
matanya ke setiap sudut ruangan di foyer itu. Segala sesuatunya terlihat begitu
mewah dan klasik. Sama seperti James, ia pun juga mengagumi adanya
lukisan-lukisan besar yang ada di dalam ruang depan itu. Ia tidak dapat
membayangkan seeprti apa rupa ruangan lain di rumah mewah itu.
“Mungkin kita bisa bermalam
disini.” Ucap James asal-asalan. Ia seketika mendapatkan tatapan tajam dari
Lisa yang terlihat masih belum pulih dari kekesalannya.
“Jangan bercanda!” ucap
Lisa. “Aku mau menginap di hotel saja daripada tidur di rumah mengerikan
seperti ini.”
“Rumah ini mewah, dan
tidak…”
“Terserah apa katamu!” ucap
Lisa sambil mendecak kesal.
Sandra pun sepertinya setuju
dengan apa yang Lisa ucapkan. Ia sepertinya juga tidak mau menghabiskan malam
di tengah rumah misterius di tengah hutan seperti itu. Melihat keadaan ruangan
yang remang itu saja sudah membuat bulu kuduknya berdiri.
“Kita ada di tengah hutan
Bokoye.” Ucap James. “Kau pikir ada hotel yang buka di sekitar sini?”
Sandra dan Lisa harus
menghadapi kekecewaan saat Eric datang lagi sambil membawa sebuah kabar yang
tak mengenakkan.
“Mobil dereknya baru bisa
datang besok pagi.” Ucap Eric. “Sepertinya kita harus meminta tuan rumah ini
untuk mengijinkan kita…”
“Tidak! Tidak!” potong Lisa
cepat. “Aku tidak mau tidur di rumah ini. Menyeramkan, kau tahu?”
“Apa lagi pilihan yang kita
punya?” balas James. “Kita tidak bisa tidur di mobil, dan…”
“Lisa, tenang!” ucap Eric.
“Hanya malam ini. Aku yakin tidak akan ada yang terjadi pada kita.”
“Apa maksud dari ucapan
itu?” tanya Sandra seketika. Namun sebelum pertanyaannya terjawab, pria tua
kurus itu muncul lagi dari arah sebuah koridor. Sama seperti tadi, ia memandang
keempat pemuda itu melalui mata cekungnya.
“Aku sudah memberitahu Tuan
besar mengenai kedatangan kalian.” Ucap pria tua itu. “Dan aku yakin bahwa
mobil derek tidak bisa datang di malam seperti ini, dalam cuaca buruk seperti
ini.”
“Ya.” sahut Eric.
“Tuan besar berbaik hati
pada kalian.” Ucap pria tua itu kemudian. “Aku sudah menyediakan dua kamar
untuk kalian berempat. Kalian sepertinya harus menginap di rumah ini untuk
semalam hingga pagi menjelang.”
Sandra dan Lisa saling
bertatapan. Kedua gadis itu mendapatkan firasat yang aneh dari rumah besar di
tengah hutan itu. Mereka seolah baru saja masuk ke kandang singa. Namun seperti
kata James, pilihan apa lagi yang mereka punya?
“Terima kasih, Tuan.” Ucap
Eric. “Kami sangat berterima kasih atas kebaikan Tuan besar. Mungkin aku bisa
bertemu dengannya, untuk mengutarakan rasa terima kasihku secara pribadi?”
“Sayang sekali.” Ucap pria
tua itu. “Tuan besar sudah pergi tidur.”
Eric hanya menganggukkan
kepalanya. Ia memadnang ke arah ketiga temannya, mencoba untuk meyakinkan
ketiga temannya itu bahwa keadaannya akan baik-baik saja.
“Sebelum itu,” ucap pria tua
itu lagi. “Aku akan menyiapkan malam malam untuk kalian. Kalian lapar, aku
tahu. Sebaiknya kalian menuju ruang makan yang ada di samping tangga besar.”
Eric dan yang lain hanya
bisa menyetujui apa yang pria tua itu ucapkan. Tidak mereka sangkal bahwa
mereka juga sudah lapar. Keadaan menyebalkan yang mereka hadapi hampir saja
membuat mereka lupa bahwa mereka belum makan apapun sejak siang tadi.
Keempat pemuda itu segera
masuk ke dalam sebuah ruangan panjang yang diisi oleh sebuah meja panjang
dengan banyak kursi di sisi-sisinya. Seperti yang terlihat dalam film, ruang
makan itu adalah ruang makan seorang konglomerat. Biasanya Tuan rumah akan
duduk di ujung salah satu meja. Namun tidak untuk malam itu.
Jarum jam bergerak cepat,
sementara mereka menunggu masakan datang di dalam ruang makan itu. Hujan yang
ada di luar juga semakin mendera-dera tidak karuan. Sepertinya keputusan yang
benar untuk tinggal di dalam rumah itu untuk malam itu.
Makan malam yang disajikan
oleh orang tua itu ternyata melebihi ekspektasi mereka. Mereka kira mereka
hanya akan makan seadanya. Namun ternyata pria tua itu menyediakan makanan
lengkap yang tergolong makanan mewah. Seperti steak dan semacamnya. Keempat
pemuda itu tentu saja sudah tidak bisa menahan perasaan lapar mereka lagi. Dan
dalam hitungan detik, suara sendok dan garpu terdengar di dalam ruangan panjang
itu.
Sandra mencoba untuk menelan
apapun yang ada di depannya. Rasa laparnya ternyata dapat menghlangkan
kebenciannya pada steak. Daging itu entah kenapa rasanya sedikit aneh. Ia
memang jarang makan daging. Namun ia tidak mengira dagingnya akan sealot itu.
Teman-temannya yang lain
sepertinya tidak memiliki masalah dengan makanan mereka. James dan Eric
terlihat tertawa bersama, menikmati dengan betul makanan mereka. Lisa, terlihat
diam saja di kursinya. Ia makan tanpa nafsu makan.
“Kamar kalian ada di lantai
dua, sayap kiri.” Ucap pria tua itu begitu keempatnya selesai dengan makan
malam mereka. Eric dan yang lain berterima kasih lagi atas hidangan yang telah
disajikan untuk mereka.
Seperti apa yang Sandra
bayangkan sebelumnya, ternyata rumah itu menyimpan banyak benda unik di
sepanjang koridornya. Begitu ia dan yang lain naik ke lantai dua, mereka
seketika disambut oleh sebuah patung beruang di atas tangga. Lukisan-lukisan
klasik pun kembali mereka lihat di sepanjang koridor. Bahkan karpet di koridor
itu pun terlihat begitu mahal.
“Ini kamar kita.” Ucap Eris
sambil menunjuk pada kamar di sisi koridor. Kamar untuk Sandra dan Lisa
terletak tepat di depan kamar Eric dan James.
“Selamat malam, nona-nona!”
ucap Eric. “Kita bertemu lagi besok pagi.”
Sandra dan Lisa kemudian
masuk ke dalam kamar mereka sendiri. Sudah dapat ditebak bahwa isi dari dalam
kamar itu pun telrihat begitu mewah. Tempat tidurnya memiliki tiang-tiang di
sudutnya, dengan kain sutra digunakan sebagai selambu.
“Terlihat nyaman.” Ucap
Sandra seraya melepas jaketnya yang basah. Ia menyentuh sebuah kursi sofa
berbulu, yang rasanya begitu hanyat dan nyaman.
“Ini tidak benar.” Gumam
Lisa. “Siapa yang cukup gila membuat rumah besar di tengah hutan Bokoye? Kau
pernah mendengar soal itu, Sandra?”
“Sudahlah, Lisa!” balas
Sandra. “Hanya malam ini. Kita tidur, dan besok pagi kita akan pergi dari sini
secepatnya.”
Ternyata lebih mudah
mengatakannya daripada melakukannya. Sandra dan Lisa sama-sama tidak bisa tidur
dalam keadaan remang kaamr besar itu. Segala benda yang ada di kamar itu
menciptakan bayang-bayang yang mengerikan, yang terlihat bergerak sendiri di
tengah keremangan suasana.
Hujan di luar juga belum
berhenti. Malahan, terdengar suara guntur bekali-kali, yang semakin membuat
Sandra dan Lisa tidak dapat memejamkan mata mereka.
“Apa kau juga merasakannya?”
tanya Lisa di tengah kegelapan.
“Merasakan apa?”
“Aura negatif dari rumah
ini.”
“Mungkin.” Balas Sandra.
Tidak ia sangkal bahwa rumah di tengah hutan itu memang terlihat sedikit aneh.
Apalagi saat sang tuan rumah tidak mau menunjukkan wajahnya pada tamu-tamunya.
Selain itu, segala sesuatu di rumah itu membuat pikiran Sandra beputar cepat.
“Kita tidak perlu
memikirkannya.” Ucap Sandra. “Sebaiknya kita tidur.”
Sandra tidak tahu sudah
berapa lama ia memejakan matanya. Yang ia sadari kemudian, ia sudah bermimpi.
Mimpi yang tergolong aneh. Dan lebih anehnya lagi, ia terbangun dengan jantung
berdetak kencang saat ia seperti mendengar sebuah teriakan. Apakah itu nyata,
atau hanya bagian dari mimpinya?
Ia membangkitkan tubuhnya ke
posisi duduk diatas ranjang besar itu. Lisa terlihat sudah tertidur pulas di
sisinya. Ia lirik jam tangannya, dimana jarum jam menunjukkan pukul dua lebih.
Ya. ia sudah tertidur cukup lama. Namun ia tidak ingat dengan apa yang baru
saja ia impikan. Sebuah mimpi buruk, yang berkaitan dengan rumah besar itu. Dan
teriakan itu…
Jantung Sandra melonjak
cepat saat tiba-tiba saja terdengar ketukan cepat di pintu kamarnya. Dan ia mendengar
suara Eric memanggil namanya dari luar.
“Ada apa?” tanya Sandra
begitu ia membukakan pintu. Wajah Eric terlihat sedikit aneh dalam keremangan
koridor. Namun Sandra dalam melihat jelas bahwa Eric sedang bingung.
“James,” ucapnya. “Dia
menghilang dari kamar. Kukira dia ke kamarmu.”
“Tidak.” Balas Sandra.
“Untuk apa dia ke kamar ini? Lagipula, bukankah kau juga sekamar dengan James?”
“Itu masalahnya.” Ucap Eric.
“Aku tidur di sebelahnya. Jika ia bangun, aku pasti sadar akan hal itu. Jujur
aku nyaris tidak bisa tidur di dalam rumah mengerikan ini.”
Eric terlihat benar-benar
cemas. Beberapa kali ia mengarahkan pandangannya ke arah ujung koridor dimana
ujung tangga berada. Berharap bahwa sosok temannya akan kembali.
“Bagaimana jika kita cari
berdua?” tawar Sandra. Ia segera saja masuk ke dalam koridor dan menutup
kembali pintu kamar. Ia dan Eric kemudian bergerak perlahan menyusuri koridor
yang panajng dan remang, sambil sesekali melongok ke dalam ruangan yang
terbuka.
“Ini aneh.” Ucap Eric
kemudian. “James bukan tipe orang yang dengan mudah akan menghilang seperti
ini.”
“Segala sesuatunya di rumah
ini terlihat aneh bagiku.”
“Dan lebih aneh lagi, aku
seperti mendengar suara teriakan.”
Sandra seketika menghentikan
langkah kakinya dan memandang ke arah Eric dengan tatapan tidak percaya. apakah
yang ia dengar barusan benar?
“Kau juga mendengar
teriakan?”
“Apa maksudmu dengan kata
‘juga’?”
“Aku juga mendengar teriakan
itu.” Ucap Sandra. “Kukira hanya bagian dari mimpiku, tapi…”
“Mungkin James…”
Keduanya merasa takut dengan
apa yang terlintas di pikiran mereka. Mereka tidak mau mengatakan apa yang
mereka pikirkan.
“Kita harus segera menemukan
James.” Ucap Eric. “Setelah itu, kita berempat akan keluar dari rumah ini.”
“Di tengah hujan?”
“Sepertinya masuk ke dalam rumah
ini adalah ide yang buruk. Aku memiliki firasat yang buruk.”
Sandra menyetujui akan hal
itu. Ya. Jika saja mereka dapat dengan cepat menemukan keberadaan James.
Mereka memeriksa seluruh
ruangan di lantai dua, namun sama sekali tidak melihat keberadaan James. Yang
mereka lihat hanyalah ruangan-ruangan antik lainnya yang selalu dipenuhi dengan
barang-barang antik.
Mereka kemudian turun ke
lantai satu. Memeriksa ruang makan, dan juga ruangan-ruangan lain. Tapi
lagi-lagi mereka tidak dapat menemukan keberadaan James.
“Aneh.” Ucap Eric sambil
terus bergerak cepat. “Aneh.”
Langkah keduanya tiba-tiba
saja terhenti saat mereka sekali lagi mendengar sebuah teriakan. Yang dengan
jelas terdengar, dan berasal dari salah satu ruangan di dalam rumah itu.
“Mungkinkah itu James?” ucap
Sandra. “Apa yang…”
“Ayo, Sandra!” ucap Eric
seraya melangkahkan kakinya kembali menyusuri koridor. Ia tidak tahu dengan
jelas darimana suara itu berasal. Mungkin dari lantai tiga yang belum mereka
periksa.
Lantai tiga rumah itu
terlihat lebih polos bila dibandingkan dengan ruangan di lantai lainnya.
Koridor-koridornya terlihat begitu kosong, tanpa ada panjangan sedikitpun. Dan
ruangan-ruangan di sepanjang koridor juga banyak yang kosong. Mereka hanya
dapat melihat satu ruangan di ujung koridor
yang terlihat memancarkan cahaya keemasan. Eric dan Sandra melangkahkan kaki
mereka dengan cepat mendekati ruangan itu, tapi…
Keduanya seketika
menghentikan langkah mereka saat mereka sudah tiba ti depan ruangan itu.
Terdengar ada suara percakapan dari dalam ruangan. Eric dan Sandra sadar bahwa
dua orang yang ada di dalam ruangan itu adalah si pelayan tua kurus itu, dan
ada satu lagi seorang pria bertubuh besar yang duduk membelakangi pintu. Eric
dan Sandra hanya dapat mengintip ke dalam ruangan itu.
“Semuanya siap?” tanya pria
besar itu dengan suara berat dan terdengar serak. Si pelayan tua berdiri di
depannya, sambil sesekali membungkukkan tubuhnya ke arah si pria besar.
“Ya, Tuan.” Jawab pelayan
itu. “Saya sudah mempersiapkan alat-alatnya.”
“Bagus. Bagaimana dengan
rencana selanjutnya?”
“Terserah Anda.” Ucap
pelayan itu lagi. “Mungkin lebih cepat melakukannya lebih bagus. Sebelum pagi
menjelang.”
“Menarik.” Ucap rpia besar
itu. Terlihat ada asap mengepul dari arah wajahnya. Mungkin pria besar itu merokok.
“Katakan padaku, Albert!”
ucap pria besar itu lagi. “Kau tahu siapa anak-anak itu?”
“Mereka hanya orang yang
kebetulan lewat.” Jawab pelayan tua itu, yang ternyata bernama Albert. “Mobil
mereka mogok.”
“Sungguh sebuah
keberuntungan bagiku.” Ucap pria besar itu. “Disaat aku sedang membutuhkan
kekuatan, ada empat tumbal yang datang dengan sendirinya.”
Eric dan Sandra melonjak
mendengar ucapan itu. Kata ‘tumbal’ yang terdengar jelas oleh mereka
menunjukkan bahwa akan ada hal buruk yang akan terjadi pada mereka jika mereka
tidak segera keluar dari rumah itu.
“Saya sudah mempersiapkan
satu orang.” Ucap Albert kemudian. “Dia ada di ruang bawah tanah.”
Sandra dan Eric seketika
berpandangan. Pikiran mereka menyebutkan satu nama. James. Mungkin James-lah yang
dimaksud oleh Albert.
“Ruang bawah tanah.” Bisik
Eric. “Kita kesana sekarang.”
Keduanya dengan perlahan
bergerak meninggalkan ruangan berpendar itu, lalu turun lagi melalui tangga.
Begitu mereka sudah jauh dari jarak pendengaran kedua orang itu, mereka
berlari.
“Oh, ini buruk!” ucap Eric.
“Mereka berdua sudah gila. Apa yang mereka pikirkan? Dan apa maksudnya dengan
‘tumbal’?”
“Kita harus segera keluar!”
ucap Sandra panik. “Oh, tidak! Lisa! Aku ahrus membangunkan Lisa.”
Keduanya berhenti tepat di
ujung tangga besar. Keduanya lalu setuju untuk berpisah. Eric akan pergi
menyelamatkan James yang ada di bawah tanah, dan Sandra akan menjemput Lisa
yang masih tertidur pulas di kamar.
Setiap detik kini terasa
begitu berharga. Pria besar dan pelayan tua itu bisa datang kapan saja, dan
mereka terkurung di dalam rumah besar itu. Sandra dengan cepat mendobrak pintu
kamar, dan Lisa seketika mengangkat tubuhnya.
“Sandra, apa yang…”
“Jangan banyak bicara! Kita
harus keluar dari rumah ini!”
Sandra menarik lengan Lisa
begitu saja. Gadis itu nyaris terjerembab ke atas lantai saat ditarik dari
tempat tidur.
“Tidak ada waktu untuk
mengepak barang.” Ucap Sandra. “Kita harus keluar sekarang.”
Keduanya bergerak cepat di
koridor, lalu mengarah ke tangga besar. Di sana mereka bersembunyi di balik
sebuah jam pendulum besar, menunggu kedatangan Eric.
“Sandra, apa yang terjadi?”
tanya Lisa.
“Rumah ini buruk.” Jawab
Sandra. “Pelayan tua itu, dan sang tuan rumah…, mereka pembunuh!”
Lisa mengerjap seraya
menutup mulutnya dengan satu tangan. Ia memandang tidak percaya pada Sandra,
namun ia mendapatkan anggukan pasti dari temanya itu.
“Kita hanya harus menunggu
Eric dan James, lalu kita keluar.”
Tidak lama kemudian Lisa
menarik-narik lengan Sandra. Gadis itu menunjuk ke arah sebuah pintu yang ada
di lantai satu, dimana dari dalam pintu itu munculah Eric dan James. Sandra
nyaris tidak dapat mempercayai apa yang ia lihat dari tubuh James. Lelaki itu
bertelanjang dada, dengan bekas sayatan pisau di dada dan perutnya. Eric
terlihat membantu James berjalan.
“Sandra!” panggil Eric dari
lantai bawah. Sandra dan Lisa dengan cepat bergerak menuruni tangga dan
bergabung bersama dengan Eric. Mereka dengan cepat mengarah ke pintu depan,
tapi…
“Sial!” umpat Eric saat ia
tidak dapat membuka pintu besar itu. “Tentu saja dikunci. Apa yang kupikirkan?”
“Ada jalan lain?” tanya
Sandra. Namun sebelum pertanyaannya itu dijawab, terdengar sebuah suara dari
belakang mereka.
Albert, pelayang tua itu,
sudah berdiri di anak tangga terbawah sambil membawa sebuah sabit di tangannya.
Pandangan mata cekungya terarah pada keempat pemuda itu.
“Mau pergi begitu saja?”
ucap pria tua itu.
“Keparat!” umpat Eric. Ia
seketika melepaskan tubuh James dan berlari mengarah pada Albert. Mungkin Eric
berniat untuk menumbangkan sosok pria kurus itu. Tapi ternyata…
Eric mendapatkan satu
tinjuan tepat ke wajahnya saat ia sudah ada begitu dekat dengan Albert. Entah
apa yang terjadi. Seharusnya sosok pria kurus seperti Albert dapat dengan mudah
ditumbangkan. Namun Eric merasakan ia tidak cukup kuat untuk menjatuhkan tubuh
kurus itu. Seolah Albert memiliki kekuatan spesial.
“Kalian tidak akan pergi
begitu saja.” Ucap Albert seraya mengangkat sabit yang ada ditangannya, dan
diarahkan pada Eric yang tersungkur di lantai. Eric mencoba untuk menahan
serangan, tapi…
“TIDAK!!” Sandra berteriak
saat sabit itu menancap dalam pada salah satu lengan Eric. Eric mengerang,
berusaha untuk bangkit dan lari dari pria tua itu, tapi lagi-lagi Albert
mengayunkan sabitnya. Yang seketika mengenai pergelangan kaki Eric. Eric
kembali tersungkur dengan darah mengucur dari bagian tubuhnya yang terluka. Ia
mengangkat kepalanya dan memandang ke arah ketiga temannya. Lalu mulutnya
terbuka.
“LARI!!”
Sandra dan Lisa memekik
bersamaan saat sabit Albert seketika menembus leher Eric. Kepala Eric seketika
terlepas dari tubuhnya dan menggelinding di lantai. Leher yang terpotong itu
terlihat mengucurkan aliran darah yang begitu deras.
“LARI!!” teriak James.
Sandra dan Lisa berlari
tanpa tahu arah. Mereka sadar bahwa mereka terjebak di dalam rumah itu dan
mungkin tidak akan bisa menemukan jalan keluar.
James, yang sudah sepenuhnya
penuh dengan luka, tidak dapat berlari secepat kedua teman gadisnya itu. Ia
terseok-seok di belakang Sandra dan Lisa, dan berkali-kali nyaris terjatuh.
“TERUS LARI!!” ucap James.
Ketiganya menyusuri sebuah koridor. Dan ketika mereka sampai di depan sebua
pintu, tiba-tiba saja…
Sandra dan Lisa terpental ke
arah lantai saat tubuh mereka menabrak sesuatu yang besar. Ketika mereka
mengangkan kepala mereka, mereka menemukan sesosok pria besar telah berdiri di
depan mereka. Sosok itu…, adalah tuan rumah.
“Kelinci-kelinci kecil…”
gumam pria besar itu. Wajahnya yang tertutup oleh bayangan kemudian nampak di
hadapan Sandra dan Lisa. Keduanya nyaris muntah saat melihat wajah dari pria
bsar itu.
Wajah itu dipenuhi dengan
jahitan, dengan sebelah mata terlihat kosong, meninggalkan sebuah rongga hitam.
Gig-gigi kuning dan kotor menyeringai ke arah mereka.
“Selamat tinggal!” ucap pria
besar itu seraya mengangkat sebuah tangkai besi runcing, yang seketika menembus
dada Lisa.
“TIDAK!!!” Sandra menjerit
saat melihat tubuh temannya itu terkulai ke atas lantai dengan darah mengucur
dari dadanya yang tertusuk oleh tombak besi itu.
Sandra berdiri kembali, lalu
berusaha untuk berlari ke arah lain. Ia terseok-seok saat kekuatan di kakinya
seolah menghilang. Ia menyusuri koridor, sambil sesekali menjatuhkan vas-vas
bunga untuk menghadang pria besar itu yang bergerak mengejarnya.
Sandra mendengar kembali
sebuah teriakan. Teriakan James, yang mungkin juga sudah celaka oleh keuda pria
gila rumah itu. Sandra menjerit dalam hatinya. Kedua bola matanya mengalirkan
air mata tanpa dapat dibendung. Ia bingung, tidak tahu kemana ia akan pergi.
“Ayo! Kemari kelinci kecil!”
Jantung Sandra semakin
berdegup kencang saat pria besar itu sudah berada di belakangnya lagi. Ia
bergerak bersama Albert, si pria gila itu. Keduanya memojokkan Sandra yang
sudah kehabisan tempat untuk berlari.
“Kumohon!” ucap Sandra
dengan nada bergetar. Kekuatan kedua kakinya telah menghilang, dan ia terpuruk
diatas lantai. Ia bersandar pada dinding di belakangnya.
“Akan lebih mudah jika kau
berhenti berlari.” Ucap pria besar itu dengan seringai lebar di wajahnya yang
penuh jahitan. Gigi kuningnya itu sekali lagi nampak di depan mata Sandra.
“Kenapa?” tanya Sandra.
“Kenapa kau melakukan ini?”
“Kalian sudah terkutuk saat
kalian memasuki pekarangan rumah ini.” Ucap pria besar itu. “Red manor. Atau
aku biasa menyebutnya blood manor. Karena apa yang aku lakukan selalu berhubungan
dengan darah.”
“Kenapa?” tanya Sandra lagi.
Air mata terus mengucur dari kedua bola matanya.
“Aku lapar.” Ucap pria besar
itu. “Dan teman-temanmu rasanya bisa kujadikan sarapan besok pagi.”
Sandra semakin mual
memikirkan hal itu. Jadi kedua pria yang ada di depannya itu kanibal?
“Kau suka dengan makan malam
yang kau dapat dari kami?” tanya pria itu lagi sambil menyeringai.
Sandra seketika sadar dengan
apa yang sebenarnya ia makan saat makam malam tadi. Daging yang terasa alot
itu, tentu saja daging…
“Kau mau mengucapkan kata
terakhir?” pria besar itu terus menyeringai. Sedetik berikutnya ia mengangkat
tombak besinya, dan Sandra sudah pasrah dengan apa yang terjadi. Tidak akan ada
lagi yang dapat ia lakukan. Ini adalah akhir bagi kehidupannya. Tapi…
PRANG!!
Pria besar itu mengerang
saat sebuah vas mengenai kepalanya. Darah seketika mengucur dari kepalanya yang
terluka.
James berdiri di ujung
koridor sambil membawa vas lainnya. Yang segera saja ia lemparkan, dan mengenai
kepala pelayan tua itu. Pelayan itu langsung ambruk ke lantai. Si pria besar
terlihat geram. Namun sebelum ia dapat melakukan sesuatu, James sudah menerjang
ke arahnya.
“SANDRA, LARI!!”
Pergulatan yang James
lakukan dengan pria besar itu memberikan satu celah bagi Sandra untuk berlari.
Ia bergerak menyusuri koridor, lalu ia melihat ada sebuah jendela di ujungnya.
Ia kemudian meraih sebuah patung dari salah rak, yang segera ia gunakan untuk
memecahkan kaca jendela. Dalam sedetik, ia telah keluar dari rumah mematikan
itu.
Teriakan James menjadi suara
terakhir yang ia dengar sebelum ia menggerakkan kakinya, berlari menjauhi rumah
besar itu. Dengan air mata masih mengalir, Sandra hanya dapat memikirkan
kembali soal kematian tragis ketiga temannya. Tidak. Tidak ada lagi yang dapat
ia lakukan.
Tubuhnya terasa begitu lemah
saat ia mencapai jalan raya. Hujan masih mengguyur dengan deras, dan ia tidak
tahu kemana akan pergi.
Pandangan matanya tiba-tiba
saja menjadi kabur. Suara-suara jeritan dari ketiga temannya terdengar dengan
jelas di dalam kepalanya. Sandra mengerang. Apakah ia mulai gila karena
pengaruh kejadian mengerikan yang baru saja terjadi? Pada akhirnya, ia
kehilangan kekuatan tubuhnya. Dan ia pun terpuruk tak sadarkan diri.
**
Sebuah cahaya terang rasanya
begitu menyakitkan bagi kedua mata Sandra yang baru saja terbuka. Ia baru saja
pingsan. Dan dimana ia sekarang? Apakah ada yang menyelamatkannya?
“Bangun!” ucap sebuah suara
yang begitu familiar. Suara yang dalam, dan serak. Suara itu…, Sandra merasakan
jantungnya melompat lagi. Dan ketika ia mengangkat wajahnya, ia dapat melihat
tubuh ketiga temannya tergantung pada kait daging di dinding, dengan darah
berceceran dimana-mana. Dan suara serak itu terdengar lagi, di telinganya.
“Selamat datang kembali,
kelinci kecil.” Ucap pria besar yang telah berdiri di sisinya. Pria itu
menyeringai, seraya mengangkat sebuah pisau belati ke arah wajah Sandra.
“Selamat tinggal!”
Jeritan Sandra tidak dapat
di dengar di dalam rumah besar itu.
Red Manor, menjadi sebuah
mitos tersendiri yang kini suah tersebar ke seluruh Sherland. Banyak yang tidak
percaya dengan cerita soal kanibal yang hidup di tengah hutan itu. Banyak yang
mencoba untuk membuktikan kebenarannya. Dan hasilnya hanya ada satu. Mereka
tidak pernah kembali lagi dari Red Manor.
****