Kegiatan menjelajah rumah-rumah dan bangunan kosong merupakan
salah satu hobi dari Travis. Kegiatan yang biasa disebut dengan istilah Urban
Exploring, atau yang biasa disingkat Urbex itu sudah ia kenal sejak ia masih
duduk di bangku sma. Dan kini, hingga usianya genap tiga puluh tahun, ia masih
tidak daapt menghentikan, atau menghilangkan hobi yang paling ia sukai itu.
Ia sudah tergabung dalam
komunitas Urbex selama kurang lebih sepuluh tahun. Dan sudah banyak tempat yang
ia jelajahi, mulai dari kotanya sendiri, kota lain, dan bahkan ia rela pergi
jauh ke negara lain hanya untuk memuaskan hasrat Urbex-nya. Ia memiliki dua
orang teman akrab yang selalu ikut dengannya dalam setiap kegiatan Urbex. Yang
seorang bernama Tony, dan yang satu Jessica. Mereka kerap dijuluki Urbex Trio.
Dan sudah banyak sekali foto yang mereka hasilkan dari kegiatan mereka dalam
kurun waktu lima tahun terakhir.
Hari itu pun menjadi hari
yang paling ditunggu oleh Travis. Hari itu ia dan kedua temannya memutuskan
untuk melakukan Urbex pada sebuah rumah yang terletak jauh dari keramaian.
Sebuah rumah besar bergaya klasik yang katanya sudah ditinggalkan selama kurang
lebih lima belas tahun. Travis dan kedua temannya tidak sabar untuk segera
memulai petualangan mereka lagi, dengan harapan akan mendapatkan banyak foto
dan video menarik dari rumah kosong itu.
Hari itu pun juga menjadi
hari yang spesial bagi Travis. Sebab hari itu adalah hari ulang tahunnya yang
ketiga puluh. Ia sudah mendapatkan banyak ucapan selamat dari teman-temannya,
dan juga keluarganya. Namun untuk membuat hari itu menjadi semakin sempurna, ia
meminta kedua kawannya itu untuk memajukan jadwal Urbex.
“Kau yakin mau melakukannya
sekarang?” tanya Tony di telepon semalam saat Travis meneleponnya.
“Ya.” Ucap Travis. “Besok
akan menjadi hari yang sempurna. Tidak ada waktu lain lagi. kita ahrus segera
melakukannya sebelum rumah itu dibongkar.”
“Kau sudah berbicara dengan
Jess?”
“Ya.” Jawab Travis. “Dan dia
setuju.”
Maka begitulah. Di suatu
hari yang tenang di tengah sebuah kota kecil, Travis duduk di kap mobilnya,
menunggu kedatangan kedua temannya yang entah kenapa terlambat datang.
Perjanjiannya pukul satu siang. Tapi hingga pukul setengah tiga Travis belum
juga melihat sosok keuda temannya itu.
Travis membuka kembali
catatan yang ia buat mengenai rumah yang akan mereka tuju itu. Rumah besar itu
dulunya dimiliki oleh seorang konglomerat dari Santa Lucia, yang ditinggalkan
secara tiba-tiba lima belas tahun yang lalu setelah terjadi sebuah tragedi.
Travis masih belum mengerti soal tragedi apa yang terjadi. Yang jelas, area
rumah itu sudah tak terawat cukup lama.
Banyak warga dari kota itu
yang mengatakan bahwa rumah itu berhantu atau semacamnya. Apakah Travis akan
gentar mendengar hal seperti itu? Tidak. Sebaliknya, ia malah semakin
bersemngat. Jika memang ada kegiatan supranatural dan ia dapat mengabadikannya
dalam video, makan ia percaya bahwa videonya akan menjadi viral di internet.
Dia sudah tidak sabar untuk segera memasuki rumah yang tak tersentuh selama
lebih dari satu dekade itu.
Travis masuk kembali ke
dalam mobilnya saat ia merasa sudah terlalu lama duduk dibawah siaraman sinar
matahari. Kepalanya mulai pusing dan rasanya tidak menyenangkan. Untuk sesaat,
ada sebuah rasa kesal di dalam dadanya mengenai dua orang temannya yang tidka
juga muncul itu. Kemana mereka pergi? Apakah mereka mau mmebatalkan acaranya?
Seharusnya mereka meneleponnya jika emmang begitu.
Alunan musik dari radio
mobil sedikit dapat mengobati perasaan jengkel Travis. Dan ia nyaris saja
tertidur saat sebuah ketukan terdengar pada jendela mobil. Ia membuka kedua
matanya, dan menemukan sepasang mata menatap lurus padanya.
“Sialan Tony!” umpatnya saat
ia terbangun dengan sebuah keterkejutan. Tony, yang berdiri di luar bersama
Jessice terlihat meringis, menertawai kekagetan temannya itu.
“Lihat sudah berapa lama aku
menunggu!” ucap Travis kesal begitu ia keluar dari mobilnya. “Kukira kalian
tidak datang dan mau membatalkan rencananya.”
“Maaf soal itu!” ucap Tony.
“Ada satu kejadian yang tak terkira.”
“Apa?”
“Mobilk mogok di tengah
jalan. Dan perlu cukup lama untuk memperbaikinya.”
“Tentu kami tidak akan
mengecewakanmu, Travis.” Ucap Jessica menambahkan. “Ini ahri ulang tahunmu.”
“Dan kita akan membuatnya
sangat spesial.” Tambah Tony.
Travis mendesah, dan
seketika melepaskan semua rasa kesalnya. Ya. Ia kini merasa senang dapat
melihat kedua temannya itu lagi. dan dengan hal ini, mereka siap untuk segera
menjelajah.
“Sebaiknya kita periksa
perlatan kita.” Ucapnya seraya bergerak ke arah bagasi mobil.
Travis dan kedua temannya
mulai sibuk dengan segala perlengkapan yang akan mereka butuhkan untuk kegiatan
Urbex. Kamera, tentu saja. Benda itu merupakan benda terpenting dalam kegiatan
Urbex mereka.
“Lampu senter?”
“Ada.”
“Memori cadangan?”
“Yep!”
“Dan tali?”
Tony dan Amanda seketika
mengernyit sambil memandang ke arah Travis.
“Untuk apa?” tanya Tony
seketika. “Kita tidak akan memanjat tebing, ‘kan?”
“Untuk berjaga-jaga.” Ucap
Travis sambil meanrik keluar sbeuah gulungan tali pendakian, dan
mengalungkannya di leher.
“Oh, ini akan menyenangkan.”
Ucapnya dengan girang. Dan dengan hal itu, persiapan mereka selesai.
Jarum jam menunjukkan pukul
tiga sore saat ketiganya mulai bergerak mengarah pada rumah tua itu. Jalan
untuk mencapai rumah tua itu berada sedikit di luar perbatasan kota, dan
sepertinya jarang dilewati. Terdapat begitu banyak rumput dan semak-semak
memadati jalan, dan tak mereka kira bahwa mereka akan menembus sebuah hutan
kecil hanya untuk mengarah ke rumah itu.
Mereka memutuskan untuk
turun dari mobil begitu sampai pada sebuah jalan buntu. Dari sana, mereka
memutuskan untuk berjalan kaki menembus semak-semak dan hutan kecil. Cahaya
matahari sedikit terhalang oleh kerimbunan tanaman yang ada di tempat itu.
Menjadikan kawasannya menjadi sedikit mencekam seketika.
“Apa yang sudah kau tahu
soal rumah itu?” tanya Tony sambil berusaha melompati sebuah batang pohon
tumbang.
“Rumah kediaman Spencer.”
Jawab Travis. “Dulunya dimiliki oleh Alfred Spencer, seorang pebisnis dari
Santa Lucia. Lalu tragedi terjadi lima belas tahun yang lalu, dan rumah itu
kosong sejak saat itu.”
“Tragedi apa?” tanya
Jessica.
“Ah, aku senang kau akhirnya
bertanya.” Sahut Tony dengan satu tawa kecil di wajahnya. Kedua temannya
membuka telinga mereka lebar-lebar.
“Terjadi satu kasus
pembunuhan di rumah itu lima belas tahun yang lalu.” Ucap Tony mulai
menjelaskan. “Seorang gadis kecil ditemukan tewas dengan leher tergorong di
kamarnya. Polisi mengatakan bahwa hal itu jelas-jelas adalah kasus pembunuhan.
Setelah dilakukan investigasi, ternyata pembunuhnya adalah pelayan yang ada di
dalam rumah itu. Motifnya tidak jelas. Atau paling tidak, aku tidak begitu
mengerti. Tapi yang jelas, mulai terjadi hal-hal aneh di rumah itu sejak
meninggalnya gadis itu.”
“Hal-hal aneh?”
“Kegiatan supranatural.”
Ucap Tony. “Pemilik rumah sering mendengar langkah-langkah kaki di koridor saat
malam. Lalu suara orang menutup pintu, dan juga suara piano di kamar gadis
kecil itu, yang seharusnya kosong.”
“Itu sebabnya mereka memutuskan
untuk pergi?”
“Ya.” Jawab Tony. “Bagaimana?
Semakin menarik, bukan? Mungkin Urbex kita kali ini akan dibumbui dengan sedikit
kegiatan supranatural?”
“Kau mencoba menangkap
hantu?” tanya Jessica.
“Jika memungkinkan.” Sahut
Tony. “Dengan kamera kita, kurasa. Bagaimana Travis?”
“Aku suka dengan idenya.”
Jawab Travis sambil tertawa kecil. “Mungkin akan menjadi sensasi di internet
jika kita bisa menangkap rupa hantu itu.”
Langkah kaki ketiganya
mengantarkan mereka tepat pada bagian depan rumah besar yang kosong itu. Pagar
besi dari rumah itu terlihat sudah berkarat dan dipenuhi dengan tanaman rambat.
Travis mencoba untuk mendorong pintu gerbang tersebut, namun usahanya sia-sia.
“Oke. Bagaimana cara kita
masuk?” tanya Travis.
“Memanjat?”
“Kau lihat itu?” ucap Travis
sambil menunjuk pada bagian-bagian runcing di bagian atas pagar pembatas
halaman dan gerbang. Hal itu membuat mereka tidak mau melewati resiko tetanus
jika harus melompati ujung-ujung runcing tersebut.
“Dan gerbangnya tidak dapat
dibuka.” Ucap Jessica, sekali lagi mencoba untuk menggerakkan gerbang.
Keadaan sekitar yang
dipenuhi dengan tumbuhan yang mulai meranggas di musim gugur membuat rumah itu
terlihat sedikit menonjol. Dinding yang kotor dan penuh lubang, dan
jendela-jendela yang terpalang oleh kayu. Hawa mistis seketika merayap pada
tubuh ketiga penjelajah itu. Namun tak satu detikpun mereka meragukan dengan
apa yang akan mereka lakukan.
“Hei, disini!” teriak Tony
dari kejauhan. Lelaki itu merunduk di balik sebuah semak-semak, dan menunjuk pada
sebuah lubang menganga di dinding pembatas.
“Oke. Sekarang kita masuk!”
Hal pertama yang mereka
sadari begitu mereka menginjakkan kaki di dalam halaman rumah besar itu adalah
hawa dingin yang tidak biasa. Angin tiba-tiba saja berhembus, menerbangkan setiap
dedaunan kering yang menurutpi sebagian besar halaman berpavingnya. Sebuah air
mancur yang usdha tua terlihat berada di tengah halaman. Air yang berada di
dasar air mancur terlihat menghitam, seolah menyembunyikan apa yang terletak di
dalamnya.
Travis dan kedua temannya
semakin merasa begitu bersemangat untuk segera masuk ke dalam rumah besar itu.
Namun tugas mereka sudah dimulai sejak mereka masuk melalui lubang di dinding
itu. Travis dan yang lain dengan segera membidikkan kamera mereka. Mengambil beberapa
foto bagian depan rumah kosong yang mencekam itu.
Travis memimpin langkah
kedua temannya bergerak menuju teras rumah yang keadaannya sudah begitu buruk.
Papan-papan lantai kayu di beberapa tempat sudah terlepas, menunjukkan lubang
menganga di bawah. Beberapa jendela terpalang, dan debu menumpuk, membuat
mereka tidak dapat melihat apa yang ada di dalam rumah itu.
Pintu ganda rumah besar itu
pun terlihat sudah begitu tua. Meski begitu, masih terlihat begitu kokoh meski
keadaannya sudahtidak layak lagi. Travis mencoba memutar kenop pintu yang
berkarat. Yang tentu saja, tidak dapat diputar.
“Sekarang kita harus cari
cara untuk masuk.” Ucap Travis sambil memeriksa beberapa jendela. Namun semua
jendela terpalang dari dalam.
“Bagaimana jika kita
mengitari rumah ini?” usul Jessica. “Mungkin ada pintu yang bisa kita masuki
dari samping.”
Tidak ada gunanya berdebar.
Ketiganya dengan segera melangkah lagi menyusuri halaman, lalu mengarah ke
samping rumah yang keadaannya sama saja dengan bagian depan. Terdapat semak-semak
yang tumbuh memenuhi segala tempat. Travis menemukan satu pintu lagi. namun
tetap saja pintu itu tidak mau terbuka.
“Menarik bukan?” ucap Tony
sambil tertawa kecil. “Rumah ini begitu mengundang. Tapi kita tidak bisa masuk
ke dalam.”
“Aku yakin akan ada cara
untuk masuk.” Ucap Travis mencoba untuk berpikir positif.
Halaman belakang dari rumah
besar itu dipenuhi dengan berbagai amcam barang rongsokan yang semuanya sudah
berkarat. Mereka menemukan sebuah grill barbeque yang ditinggal begitu saja. Di
bagian lain dari halaman belakang, terdapat satu ayunan untuk anak kecil dengan
kursi sudah terlepas.
Terdapat sebuah bangunan
kecil di sudut halaman belakang. Ketika ketiganya memeriksa, ternyata bangunan
itu adalah sebuah garasi. Di dalamnya terdapat sebuah mobil klasik yang
dibiarkan membusuk dalam keadaan yang buruk.
“Sayang sekali.” Ucap Tony.
“Padalah mobil bagus.”
“Tetap fokus!” ucap Jessica
sambil terus merekam dengan kamera yang ada di tangannya. Kita masih harus
masuk, ‘kan?”
Pintu bagian belakang rumah
pun sepertinya mudah untuk dimasuki. Namun ternyata sama dengan pintu lain,
tidak daapt dibuka begitu saja. Travis bahkan berniat untuk mendobrak pintu
itu, sebelum akhirnya idenya itu ditentang oleh Jessica.
“Kita bisa dianggap masuk
tanpa ijin.”
“Kita sudah masuk tanpa
ijin, Jess.” Ucap Tony. “Lagiula, bukankah itu yang sudah kita lakukan selama
beberapa tahun terakhir?”
“Itu inti dari Urbex,
Jessica.” Ucap Travis. “Kita masuk ke dalam properti yang tidak dihuni. Seperti
rumah ini.”
“Entahlah.” Balas Jessica
dengan raut wajah cemas. “Aku merasa ada yang tidak beres dengan keadaan di
sekitar sini. Rumah ini…, atau…”
“Kau tidak mau masuk?” tanya
Travis. “Kau bisa menunggu…”
“Tidak!” ucap Jessica cepat.
“Aku tidak mau ditinggal sendirian. Aku tetap akan masuk.”
“Oke kalau begitu.” Ucap
Travis.
Ia mengambil ancang-ancang,
sebelum akhirnya mengarahkan tendangan kakinya pada kenob pintu. Perlu beberapa
kali mencoba sebelum akhirnya pintu itu menjeblak terbuka. Menunjukkan
kekelaman yang ada di dalam rumah tua itu. Mereka menghadap pada sebuah koridor
yang gelap dan berdebu.
“Senter? Oke. Kita masuk.”
Travis merasakan sensasi
yang luar biasa ketika ia sudah berada di dalam rumah itu. Kegelapan yang
menyelimuti setiap sudut, lalu debu-debu yang beterbangan, dan juga furnitur
yang dibiarkan membusuk begitu saja, membuat Travis lupa akan keadaan. Dan
sekejap, ia sudah mengambil begitu banyak foto dari mulai dapur hingga ruang
tengah.
“Sepertinya mereka pergi
dengan tergesa.” Ucap Tony saat ia melihat masih ada beberapa cangkir kosong
terletak di salah satu meja. Bahkan satu ceret masih terisi dengan air.
Ketiganya mengarah pada
sebuah ruangan luas di bagian tengah rumah yang sepertinya adalah sbeuah
galeri. Di dalamnya terdaapt begitu banyak lukisan yang berdebu, namun masih
dapat menunjukkan sisi artistiknya.
“Mungkin kita bisa
menjualnya.” Ucap Tony.
“Kita tidak akan mengambil
apapun!” ucap Jessica cepat. Tony melepas tawanya.
“Aku hanya bercanda, Jess.
Tenang sedikit!”
Selama hampir tiga puluh
menit, ketiga orang itu berkeliaran di area bawah rumah, mulai dari sayap kiri
dan kanan. Sudah ada begitu banyak foto yang mereka ambil. Namun mereka masih
belum puas.
“Masih ada lantai dua.” Ucap
Tony.
Travis menghentikan langkah
Jessica sesaat sebelum ia mengarah ke lantai dua melalui tangga. Travis sadar
dengan tingkah aneh teman wanitanya itu sejak mereka masuk ke dalam rumah tiga
puluh menit yang lalu.
“Entahlah.” Ucap Jessica
sambil menggeleng. “Aku tidak pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya.
Perasaan aneh di dadaku. Seolah masih ada penghuni yang tinggal disini.”
“Itu tidak mungkin.” Ucap
Travis. “Rumah ini sudah kosong cukup lama. Tidak mungkin ada…”
“Aku tahu itu.” Potong
Jessica. “Aku hanya merasa tidak nyaman. Aku ingin cepat keluar dari sini.”
“Setelah kita memeriksa
lantai dua. Ayo!”
Keduanya kembali bergerak
menaiki tangga besar menuju lantai dua. Namun begitu mereka tiba di bagian
atas, mereka tercengang dengan tatanan ruangan di lantai dua tersebut.
Segalanya terlihat begitu rumit. Terdapat banyak koridor yang berpintu, yang
seolah seperti sebuah labirin besar dengan berbagai macam kemisteriusannya.
“Tony!” seru Travis saat
menyadari ia sudah tidak melihat temannya itu lagi. “Tony, dimana kau?”
“Anthony!” teriak Jessica.
“Dia menghilang? Tidak
mungkin, ‘kan?”
Travis dan Jessica masuk ke
dalam sebuah koridor, dimana ada sebuah pintu di ujungnya. Keduanya masuk,
namun hanya menemukan sebuah kamar tidur dengan kasur yang sudah penuh dengan
debu. Namun tidak ada tanda-tanda bahwa Tony masuk ke dalam ruangan itu.
Lantainya masih tertutup oleh debu tebal.
“Tony, ini tidak lucu!”
teriak Travis. “Kau membuat Jessica takut!”
Hanya keheninganlah yang
terdengar di dalam rumah besar itu. Dengan jendela yang sebagian besar tertutup
oleh palang kayu, keadaan di dalam rumah itu menjadi sedikit gelap dan sulit
untuk melihat. Cahaya senter mereka pun sepertinya tidak banyak membantu.
“Anthony, jawab aku!” teriak
Jessica. Dan lagi-lagi tidak ada jawaban dari mana pun.
“Mungkin dia ada dalam
masalah.” Ucap Jessica. “Mungkin…”
“Apa yang mungkin terjadi?
Dia tidak mungkin tersesat di dalam
rumah ini, ‘kan?”
“Entahlah. Mungkin…”
Travis dan Jessica seketika
menajamkan indera pendengaran mereka saat mereka sepertinya mendengar suara
bergedebuk di ruangan lain. Mungkinkah Tony? Keduanya tidak berpikir panjang,
dan segera mengarah kembali ke koridor yang terhubung dengan tangga.
“Kau mendengarnya, ‘kan?”
tanya Jessica. “Mungkin Tony…”
“Di sekitar sini, kalau
tidak salah.” Ucap Travis sambil menunjuk padakoridor lain yang juga memiliki
pintu di bagian ujung. Travis dan Jessica perlahan bergerak mendekat sambil
terus menyerukan nama Tony. Namun tidak ada jawaban.
“Lihat!” ucap Travis sambil
menunjuk pada lantai. Di sana terdapat bekas jejak kaki seseorang. “Tony ada di
dalam.
Pintu yang mereka hadapi
adalah sebuah pintu antik dengan berbagai amcam ornameln berada pada daun
pintunya. Handelnya terbuat dari tembaga yang terlihat masih mengkilat dibawah
timbunan debu. Travis perlahan memutar kenop pintunya, yang menimbulkan sedikit
derak, dan membukanya. Dan disanalah ia menemukan Tony.
“Tony, kenapa kau tidak
menjawab teriakan kami?” tanya Travis seraya bergerak mendekati Tony yang
terlihat tengah duduk di depan meja.
“Tony, aku serius.” Ucap
Travis lagi. Namun tidak ada respon sama sekali dari temannya itu. Travis
mendekat, lalu mengguncang tubuh temannya itu, tapi…
“OHH!! ASTAGA!!!”
Kepala Tony secara tiba-tiba
terjatuh dari atas lehernya dan menggellinding di lantai. Travis dan Jessice
seketika berpengangan tangan, dengan mata melotot, tidak memeprcayai apa yang
mereka lihat.
“OH, TRAVIS, KITA HARUS
KELUAR DARI SINI!” teriak Jessica histeris. Nafas Travis memburu seketika.
Tidak mungkin kepala Tony bisa terlepas dengan sendirinya. Dan seketika ia
sadar bahwa memang ada sesuatu di dalam rumah itu.
“Kita pergi.” Ucapnya. Namun
ketika ia akan kembali ke arah pintu…
BRAK!
Pintu itu tertutup dengan
seketika. Travis berteriak, berlari ke arah pintu dan mencoba untuk menariknya
terbuka. Namun usahanya sia-sia. Pintu itu terkunci.
“TIDAK!!” teriakknya sambil
menggedor pintu.
“Oh, Travis! Apa yang
terjadi? Kenapa dengan Tony? Aku tidak…”
“Perasaanmu tadi benar,
Jess.” Ucap Travis dengan nafas memburu sambil memutar otak. “Ada sesuatu di
dalam rumah ini.”
“Pintu itu! Coba pintu itu!”
ucap Travis saat ia melihat ada sebuah pintu di sisi ruangan lain. Beruntung,
pintu itu dengan begitu mudahnya terbuka. Namun mereka kembali berada di dalam
labirin koridor yang sepertinya tak berujung. Ada terlalu banyak pintu. Dan
setiap pintu akan semakin menyesatkan mereka. Jujur, mereka tidak tahu lagi
kemana mereka harus pergi.
“Terus bergerak, Jess!” ucap
Travis. Namun langkahnya terhenti seketika saat sebuah suara asing terdengar.
Jessica pun mednengar suara
aneh itu. Seperti sebuah bilah pisau yang diseret di lantai, atau dinding. Dan
mereka mendengar langkah berat mendekat.
“Travis!”
“Ssstt!!”
Keadaan koridor yang remang
semakin membuat nyali mereka ciut. Otot-otot di tubuh mereka seolah membeku,
dan tidak dapat membuat merke bergerak. Dan tepat sat itulah Travis seperti
melihat sekelebatan bayangan di kejauhan.
“SIAPA DISANA?” teriak
Travis. Sedetik kemudian ia sadari bahwa apa yang baru saja ia ucapkan malah
akan membuatnya jatuh dalam masalah. Siapapun yang ada di dalam rumah itu kini
tahu posisi Travis dan Jessica.
Dan benar saja. Baru saja
mulut Travis tertutup. Di ujung koridor jauh terlihat sebuah bayangan sosok
seseorang dengan sebuah pisau teracung di tangannya. Travis seketika menarik
lengan Jessica.
“LARI!!”
Koridor-koridor yang saling
berhubungan dengan pintu-pintu ganda membuat Travis dan Jessica kehilangan
arah. Mereka tidak tahu kemana mereka harus pergi. Sementara sosok itu masih
mengejar di belakang mereka.
“Lewat sini!”
Travis menendang sebuah
pintu terbuka, dan masuk ke dalam sebuah ruangan. Namun…
“AAHHHKKK!!!”
Suara berderak kayu yang
patah timbul bersamaan dengan teriakan Jessica. Sebelum Travis dapat menyadari
keadaan sebenarnya, ia tersungkur ke atas lantai berdebu. Ketika ia berdiri
lagi, terdapat sebuah lubang menganga di lantai. Jessica terjatuh dari ruangan
itu ke sebuah ruangan di bawahnya.
“JESS!” teriak Travis sambil
melongok ke dalam lubang menganga itu. Keadaan di ruangan bawah begitu gelap
dan sulit untuk melihat. Namun sebuah suara batuk sedikit dapat menenangkan
Travis.
“Kau tidak apa-apa?”
“Ya.” Jawab Jessica dari
bawah. Suaranya menggema. “Aku tidak tahu kemana aku harus…”
“Jess?”
“Sialan! Dia disini, Travis!
S-sosok itu! Apa yang harus aku…”
“Lari, Jessica! Lari dan
bersembunyi!”
Jessica berlari ketika sosok
itu muncul. Meski sudah melihatnya, Travis tetap tidak dapat mengenai sosok itu
dengan jelas. Dan yang lebih membuatnya kesal lagi adalah satu kenyataan bahwa
sedetik kemudian ia mendengar jeritan Jessica. Sesuatu terjadi pada wanita itu.
“Sialan!”
Travis mencoba pintu-pintu
lain, dan menyusuri koridor. Untuk sesaat, ia merasa ada yang selalu
mengikutinya. Bahkan Travis nyaris berteriak saat melihat pantulan wajahnya
sendiri di sebuah cermin yang berdebu.
“Tenang, Travis! Sial!”
Travis bergerak lagi
menyusuri koridor, dan membuka sebuah pintu di ujung. Dan saat itu juga kedua
mata Tarvis terbuka dengan lebar.
Ia melihat ujung tangga yang
mengarah ke lantai satu. Pada akhirnya ia bisa keluar. Tapi…, bagaimana dengan
Jessica? Jessica masih terperangkap di suatu tempat di dalam rumah itu. Dan ia
tidak akan meninggalkan Jessica begitu saja.
Travis ragu. Mungkin ia bisa
keluar dari rumah itu lalu memanggil bantuan polisi? Namun jika begitu, Travis
yakin bahwa saat polisi datang nanti, bukan hanya jenasah Tony saja yang ada di
dalam. Tapi mungkin juga Jessica. Ia bingung. Apa yang akan ia lakukan?
Travis mencoba untuk
melangkah lagi. Namun seketika, ada yang manyayat bagian belakang kaki
kanannya. Rasa dingin dan basah mulai ia rasakan di belakang bata kakinya itu.
Dan kemudian ia sadari bahwa ada yang menyerangnya dari belakang. Sosok itu.
“TIDAK!” teriak Travis
sambil mencoba untuk menyeret tubuhnya munder. “KUMOHON! JANGAN BUNUH AKU!
KUMOHON!”
Travis pada akhirnya daapt
melihat dengan jelas sosok di depannya itu. Sosok pria tua dengan wajah
berkeriput, dengan satu seringai yang memperlihatkan gigi-gigi kuningnya. Di
tangan pria itu terdapat sebilah pisau yang berlumuran dengan darah.
“Kau seharusnya tidak masuk
ke tempat ini, nak.” Ucap sosok itu dengan suara kasarnya. “Kau tahu apa yang
mungkin akan terjadi. Kau sudah melihat apa yang bisa kulakukan padamu. Dan
gadis itu.”
“Kumohon!” ucap Travis lagi
sambil terus menyeret tubuhnya. Ia tidak dapat berdiri karena luka sayatan
lebar di kakinya itu. Darah merembes, membasahi lantai di bawahnya.
“Kumohon! Kumohon!” sosok
itu meniru ucapan Travis. “Jika hal itu dapat membantumu keluar dari masalah
ini, nak.”
“Aku hanya ingin pergi.”
Ucap Travis.
“Terus memohon, anak muda!”
ucap sosok itu sambil terus bergerak maju, memaksa Travis untuk terus mundur.
Hingga akhirnya Travis sampai di ujung tangga dan menggelundung hingga lantai
satu.
“Menarik, bukan?” ucap sosok
itu seraya menuruni tangga, mengarah pada Travis yang berlumuran dengan
darahnya sendiri.
“Sudah lama aku mendambakan
tamu di rumah ini.” Ucap sosok itu sambil tertawa nyaring. Travis sudha
kehabisan tenaga untuk menyerat tubuhnya. Yang dapat ia lakukan hanyalah
bersandar pada sikunya, dan melihat dengan jelas saat pisau itu melayang tinggi
di udara. Kemudian…
“MATILAH!”
Jeritan terakhir Travis
menjadi satu-satunya suara yang terdengar di dalam kekelaman rumah kosong itu.
Seorang petualang, tewas dalam petualangannya sendiri. Dan mungkin tidak akan
ada yang pernah tahu soal itu.
Atau…
**
Air mata mengalir turun di
wajah Jessica ketika ia melaporkan apa yang baru saja ia alami pada kepolisian
kota itu. Jessica melihat dengan mata kepalanya sendiri saat pisau itu mencabik
leher Travis. Dan ia merasa bahwa ia telah kehilangan segala kekuatannya saat
itu. Ia hampir saja pingsan, sesaat sebelum ia melihat celah di dinding rumah
untuk menyelinap keluar.
Polisi pada akhirnya
mendatangi rumah kosong itu satu jam kemudian. Dengan peralatan lengkap,
pasukan khusus menerobos masuk ke dalam rumah dan menemukan sosok tua itu
sedang bermain dengan tubuh kedua korbannya.
Satu tembakan berhasil
polisi lepaskan dan mengenai kaki sosok itu saat sosok itu mencoba melawan
dengan pisaunya. Pada akhirnya, ia digelandang oleh pasukan khusus, kembali ke
kantor polisi.
Diketahui kemudian bahwa
sosok itu ternyata adalah seorang pembunuh yang kabur dari penjara belasan
tahun yang lalu. Dan selama ini, ia bersembunyi di dalam rumah kosong itu.
Berdasarkan apa yang dapat ia kisahkan, Tony dan Travis bukanlah korban baru
baginya. Ia sudah memnunuh begitu banyak orang dalam kurun sepuluh tahun
terakhir. Polisi pun menemukan setumpuk tulang belulang di dalam rumah besar
itu selama penyeledikan selanjutnya. Dan kini, pria tua itu akan kembali masuk
dalam sel dingin penjara. Mungkin hingga kematian menjemputnya.
Apa yang sudah terjadi
beanr-beanr merubah kehidupan Jessica. Sebagai satu-satunya orang yang berhasil
keluar hidup-hidup dari rumah maut itu, ia menjadi sorotan banyak media masa.
Ada tawaran lagi yang masuk
ke telepon Jessica beberapa bulan setelah kejadian itu. Mengenai…
“Urban Exploring? Lagi?”
ucapnya.
“Tempatnya bagus.” Ucap
suara pria di telepon. “Memang lokasinya asing. Tapi kita akan mendapatkan
sponsor. Ini bisa menjadi karir bagi hobi kita.”
Jessica hanya tersenyum. Di
ingatannya masih terbayang jelas dua wajah pria yang selama ini selalu menjadi
teman baiknya itu. Dan Jessica tentu masih belum dapat melupakan apa yang
terjadi.
“Maaf, David!” jawab
Jessica. “Aku tidak tertarik lagi.”
Jessica puas dengan
keputusannya. Sesaat setelah ia meletakkan telepon itu, ia melihat lagi pada
album urbex yang ia lakukan selama ini bersama kedua temannya. Penuh dengan
kenangan. Dan Jessica bersumpah bahwa ia tidak akan melupakan kedua temannya
itu. Dan sebagai satu cara untuk mengenang keduanya, ia akan menulis sebuah
buku tentang petualangannya selama ini. Ya. Ia akan mengenang mereka.
“Semoga kalian tenang.” Ucap
Jessica sebelum kembali pada komputernya yang menyala.
****