Nadia membuka kedua matanya. Lagi-lagi ia mendengar suara
parau itu dari seberang ruangan dimana ia berada. Suara yang terdengar begitu
gelap, penuh dengan kesengsaraan, jeritan kesakitan atau rintihan kematian.
Nadia tidak pernah dapat mengerti dengan jeritan yang selalu terjadi itu.
Suara itu berasal dari kamar
34B di sayap timur rumah sakit tempatnya bekerja. Suara itu sudah beberapa kali
terdengar selama beberapa minggu terakhir. Penghuni kamar itu adalah seorang
pria tua berusia 70-an tahun dengan penyakit parah, yang membuatnya tidak dapat
bergerak dari tempat tidur. Nadia pernah mencoba menanyakan keadaan pasian
kamar 34B itu pada temannya, namun ia tidak pernah mendapatkan jawaban yang
pasti mengenai suara teriakan penuh ketakutan itu.
Seminggu telah berlalu sejak
kepindahan tugasnya dari sayap barat ke sayap timur. Tidak ada yang berbeda
selain menjadi seorang perawat yang setiap hari selalu berurusan dengan pasien
yang kadang menjengkelkan. Namun pasien di kamar 34B itu adalah pasien yang
selalu menjadi kekhawatiran Nadia. Ketika ia melihat pria tua itu terbaring
diatas tempat tidur dengan berbagai alat penopang kehidupan itu, Nadia seperti
merasakan aura yang tidak biasa. Keadaan dingin yang membekukan kulitnya,
ketika ia melihat tatapan kosong dari pria tua itu.
Nadia sudah meminta untuk
dipindah tugaskan lagi. Namun permintaannya itu ditolak mentah-mentah oleh atasan
di rumah sakit itu, sebab sayap timur sedang kekurangan staf. Dan Nadia harus
rela dengan apa yang harus ia kerjakan jika ia masih mau terus bekerja di rumah
sakit itu. Tidak ada yang menyebalkan, kecuali harus mendengar jeritan itu
setiap malam.
Nadia melirik kembali jam
tangannya, dimana waktu rasanya bergerak begitu lambat. Jarum jam menyentuh
pukul satu dinihari, dan tugas malamnya baru saja dimulai.
Nadia duduk sendirian di
sebuah ruangan di ujung koridor sayap timur itu, berjaga seandainya ada pasien
yang membutuhkannya. Ia sebenarnya berjaga dengan Debra, temannya, namun
temannya sedang memriksa sesuatu di gudang dan belum kembali sejak tiga puluh
menit terakhir.
Nadia hanya dapat memandang
ke arah koriodor kosong yang terlihat sunyi itu. Tidak ada satupun suara lain,
kecuali desis kipas angin yang terletak di ujung ruangan tempatnya berada.
Nadia masih dengan jelas mengingat suara jeritan itu di kepalanya. Terjadi,
hanya beberapa detik yang lalu.
Nadia menunggu lagi
seandainya suara itu akan muncul untuk yang kedua kali. Dari tempatnya duduk,
ia dapat melihat pintu kamar 34B yang terletak tepat di ujung koridor. Nadia
seperti melihat sesuatu yang tidak biasa hari itu mengenai kamar 34B itu.
Seperti ada sebuah kekuatan jahat yang menyelebungi kamar itu, meski Nadia
sendiri ragu dengan apa yang ia rasakan.
Detak jarum jam terdengar
dengan jelas di tengah kekelaman suasana. Nadia bergetar, merasa kedinginan,
sekaligus takut dengan apa yang akan terjadi selanjutnya. Dan ia tiba-tiba saja
berteriak saat ada sebuah benda dingin menyentuh pipinya.
“Jangan berteriak seperti
itu!” ucap Debra, yang sudah berdiri di sisinya sambil mengacungkan sekaleng
minuman dingin pada Nadia. Nadia menerimanya dengan ragu.
“Kau membuatku kaget.” Ucap
Nadia. “Dan kenapa memberiku minuman dingin di tengah dinginnya suasana?”
“Bukankah malah tepat?”
balas Debra. Wanita itu hanya melengos, dan tidak memperhatikan raut wajah
kesal Nadia. Debra duduk di sebuah kursi yang berseberangan dengan Nadia, dan
terlihat melirik jam dinding.
“Aneh, ‘kan?” ucapnya. “Jam
malam rasanya bergerak begitu lambat.”
“Karena kesunyian ini?” ucap
Nadia memberikan komentarnya. Seketika ia teringat dengan teriakan yang ia
dengar beberapa menit yang lalu. Dan ia tidak bisa terus menyimpan hal itu
untuk dirinya sendiri. Ia menceritakan suara jeritan dan raungan yang ia dengar
itu pada Debra, yang terlihat tidak begitu serius mendengarkannya.
“Ayolah!” ucap Nadia dengan
kesal. “Pasti ada penjelasan mengenai jeritan itu, ‘kan? Kudengar pria tua itu
sudah begitu sejak masuk ke rumah sakit ini sebulan yang lalu. Ada apa
sebenarnya? Kenapa tidak ada yang mau menjelaskannya padaku?”
“Bukannya tidak mau.” Balas
Debra. “Tapi kami memang tidak mengerti dengan apa yang terjadi. Pria itu
memang sudah begitu. Setiap malam, ia selalu menjerit ketakutan, atau mengerang
kesakitan. Dan tidak ada yang betah tinggal di dalam ruangan ini lebih dari
lima menit.”
“Karena jeritan itu?”
“Apa lagi?”
“Lalu kenapa kau tadi
meninggalkanku?” tanya Nadia kesal. Temannya itu hanya tersenyum sambil meminta
maaf.
“Tidak akan ada yang
terjadi.” Ucap Debra. “Mungkin pria tua itu hanya sering mengalami mimpi buruk
mengenai apa yang akan terjadi pada dirinya. Kudengar penyakitnya begitu parah.
Dan dokter mengatakan bahwa….”
“Tidak perlu mambahasnya
lagi!” potong Nadia.
Keadaan itu memang begitu
menyebalkan. Seorang pasien yang sakit parah, bertahan di dalam rumah sakit,
ditopang dnegan mesin, yang pada akhirnya hanya akan mati. Apakah tidak ada
yang peduli dengan keadaan pria itu sebenarnya?
Nadia sudah mencoba mencari
informasi mengenai sosok pria tua itu selama beberapa hari terakhir, namun yang
ia dapat hanyalah nama dari pria tua itu. Sebastian Johann, itu namanya. Selain
itu, Nadia tidak mendapatkan informasi lain mengenai keluarga pasien atau
semacamnya. Dan sejauh dari apa yang ia tahu, sejak Sebastian masuk sebagai
pasien di rumah sakit itu, belum ada satupun anggota keluarga yang
menjenguknya. Bukankah aneh? Nadia merasakan segala keanehan, dimana ia tidak
bisa mendapatkan jawaban yang pasti.
Nadia merasakan matanya
menjadi begitu berat saat jarum jam menginjak pukul dua dinihari. Keadaan yang
sepi membuatnya kadang lupa dengan tugasnya. Selama ia bekerja di sayap timur
rumah sakit, ia malah jarang bekerja berat. Karena sebagian besar dari pasien
di sayap timur adalah anak-anak, dimana orang tua mereka dapat mengurus mereka
jika mereka membutuhkan sesuatu.
Nadia mencoba untuk terus
membuka kedua mata dan telinganya. Ia melirik ke arah Debra, dan ia lihat
wanita itu tengah sibuk dengan TTS yang ada di halaman sebuah koran. Nadia
mendesah, merasa kesal dengan apa yang harus ia hadapi. Keadaan yang membosankan
dan senyui ini suatu saat pasti akan memaksanya untuk pindah tugas lagi. Atau
mungkin, ia ingin berhenti menjadi seorang perawat?
Tepat ketika Nadia
mendapatkan pemikiran itu, sebuah suara jeritan terdengar dari ujung koridor.
Sebuah teriakan kematian yang tidak dapat dijelaskan dengan akal sehat, yang
membuat Nadia dan Debra bangkit seketika dari tempat duduk mereka. Mereka
saling pandang untuk sedetik, kemudian setuju untuk menghampiri ruangan 34B
itu.
Raungan dan jeritan masih
terdengar ketika Nadia dan Debra melangkah di koridor, melintasi beberapa orang
yang sepertinya juga terganggu dengan suara jeritan itu. Nadia dan Debra tiba
di kamar 34B tepat ketika jeritan itu berhenti. Mereka bergerak masuk, dan
mendapati sosok pria tua itu terduduk diatas tempat tidurnya, dengan raut wajah
yang mengatakan bahwa ia seperti baru melihat hantu. Kedua matanya membelalak,
dan keringat dingin membasahi keningnya.
Ini adalah kali pertama
Nadia melihat keadaan Sebastian setelah ia berteriak. Selama ini, ia selalu
datang terlambat dan sebastian sudah tidur kembali. Namun untuk malam itu, ia
dapat melihat wajah penderitaan dan ketakutan di wajah pria tua itu secara
nyata. Kedua mata yang membelalak itu seolah dapat menjelaskan lebih daripada
teriakannya.
Nadia hanya dapat berdiri
kaku di posisinya, sementara rekannya, Debra, mencoba untuk menidurkan kembali
sosok pria tua itu. Nadia yang sadar dengan apa yang temannya lakukan langsung
mencoba untuk membantu. Namun ia dikagetkan lagi, saat sosok pria tua itu
meremas lengannya dengan jari-jari kurus itu. Nadia terbelalak, dan menatap
soso pria tua itu.
“Mereka datang!” seru pria
tua itu secara bertubi-tubi. Hal-hal aneh terlontar begitu saja dari mulut
Sebastian, yang sama sekali tidak dapat Nadia jelaskan dengan akal sehat.
“Siapa yang ia maksud dengan
mereka?” tanya Nadia begitu ia sudah kembali ke ruang jaga bersama dengan Debra. Debra menghela nafasnya, seraya
melempar pandangannya pada Nadia.
“Tidak usah kau pikirkan!”
ucapnya. Tapi bagaimana tidak? Nadia denganjelas melihat sebuah keadan yang
aneh atas pria tua itu. Apa ia hanya akan diam saja?
“Mungkin kita bisa
membantu.” Ucap Nadia. “Pria itu benar-benar menderita.”
“Mungkin karena mimpi
buruk.” Ucap Debra. “Aneh. Kita membrikan obat tidur dan penenang dengan dosis
tinggi. Tapi tetap saja pria itu terbangun setiap malam dan meneriakkan kata
yang sama.”
“Mereka datang.” Gumam Nadia
tanpa tahu siapa yang dimaksudkan dengan ‘mereka’ dalam ucapan Sebastian.
Jarum jam bergerak,
menyentuh pukul tiga dinihari. Nadia dan Debra berjaga seperti tadi, namun
mereka tidak diganggu lagi dengan teriakan pria tua itu.
**
Nadia dan Debra harus
berjaga malam selama seminggu, baru mereka bisa bertukar tugas dengan perawat
lain. Dua hari sudah berlalu sejak Nadia dan Debra mendengar teriakan pria tua
itu. Malam sebelumnya, Sebastian kembali berteriak, namun masih dapat tertidur
dengan pulas. Malam itu, mereka tidak tahu lagi apa yang akan terjadi.
Jam rasanya bergerak begitu
lambat. Pekerjaan yang tidak bisa terbilang sibuk memaksa kedua wanita itu
untuk terus berada di ruang jaga mereka, bersiap seandainya dibutuhkan. Namun
tidak ada hal yang benar-benar harus mereka lakukan. Keadaannya super tenang,
dan tidak ada gangguan sama sekali.
“Kepalaku pusing.” Ucap
Nadia karena terlalu lama membaca dalam keadaan lampu remang.
“Kau sudah minum obat?”
“Ya.” Jawab Nadia. Ia
melipat koran yang ia baca, lalu menyandarkan punggungnya pada punggung kursi.
Ia tarik nafasnya dalam-dalam seraya melempar tatapan matanya pada jam di
dinding, yang menunjukkan pukul satu malam.
Nadia berharap tidak
mendengar teriakan itu lagi. Ia, entah kenapa, menjadi ngeri ketika mendengar
teriak dan erangan Sebastian, yang menurutnya tidak normal. Koridor remang itu
terlihat begitu sunyi tanpa ada satupun yang mengganggu. Tidak ada suara lain
yang dapat ia dengar selain detak jarum jam di dinding.
“Oh, tidak!” seru Debra
beberapa menit kemudian, membuyarkan lamunan Nadia. Ia melirik ke arah temannya
itu, dan mendapatkan gelengan tak percaya.
“Ada apa?”
“Barangku ada yang ketinggalan
di lantai 3.” Ucap Debra. “Aku harus mengambilnya.”
“Tunggu!” sergah Nadia
menghentikan langkah temannya itu. “Kau akan meninggalkanku disini sendirian?”
“Hanya sebentar.”
“Biar aku ikut!”
“Kau harus berjaga disini,
Nadia.” Ucap Debra. “Jika sampai petugas tahu kau meninggalkan pos, maka
dendanya akan begitu berat.”
Nadia mengangguk ragu. Rasa
ngeri dan takut mulai tersusun di dalam dadanya, yang membuatnya seketika sulit
untuk bernafas. Nadia harus dapat merelakan kepergian temannya itu, dan duduk
sendirian di tengah kesunyian suasana.
Menit-menit berlalu. Namun
rasanya jarm jam bergerak begitu lambat dimata Nadia yang sedang diserang
dengan rasa takut yang luar biasa. Apa yang harus ia lakukan?
Koridor panjang yang remang
dan sepi itu membuat Nadia bergidik ngeri, dengan kamar 34B berada di ujung,
dan nampak di matanya dengan begitu jelas. Jika saja suara itu terdengar lagi,
mungkin Nadia memutuskan untuk berlari. Tapi…
Nadia membelalakknya
matanya, dengan kedua tangan gemetar saat suara nyaring rintihan itu terdengar
begitu jelas. Ya. Terdengar lagi. Kali ini lebih jelas dari apa yang Nadia
dengar sebelumnya. Teriakan penuh ketakutan, dan erangan penuh siksaan yang
rasanya tidak begitu normal. Apa yang akan Nadia lakukan? Apakah ia hanya akan
diam di tempat dan menunggu kembalinya Debra?
Tidak. Sebastian
membutuhkannya. Dengan perasaan yang tidak karuan Nadia memutuskan untuk
beranjak dari kursi yang ia tempati, dan mulai bergerak menyusuri koridor,
mengarah pada kamar bermasalah itu. Anehnya, tidak seperti kemarin, kali ini
tidak ada orang yang sepertinya terganggu dengan teriakan itu. Tidak ada
satupun orang yang keluar ke arah koridor saat Nadia bergerak melewati kamar
demi kamar, dan jeritan itu semakin dekat semakin membuat bulu kuduk Nadia berdiri.
Langkah Nadia terhenti
seketika tepat ketika ia berada di depan ruang 34B itu. Kedua matanya lagi-lagi
harus membelalak tak percaya dengan apa yang ia lihat. Dari jendela kecil yang
berada di pintu kamar 34B, Nadia dapat melihat dengan jelas apa yang ada di
dalam ruangan itu.
Sebastian duduk diatas
tempat tidurnya, dan menjerit seperti biasa. Namun bukan hal itu yang membuat
Nadia kehilangan kekuatan tubuhnya. Tapi apa yang ada di hadapan lelaki tua
itu.
Terlihat dua sosok hitam,
yang hanya terlihat seperti gumpalan asap di depan Sebastian duduk. Sosok-sosok
itu seolah melayang di udara, terlihat seperti orang yang mengenakan jubah hitam
berkerudung. Mereka terlihat seperti menjangkau ke arah Sebastian, dan dari apa
yang dapat Nadia lihat, tangan di balik jubah hitam itu tidaklah normal.
Tangan-tangan kering kurus hitam itu terlihat seperti kerangka, yang seolah
ingin mencabik-cabik tubuh Sebastian. Jeirtan terus terdengar, dan Sebastian
menggelinjang diatas tempat tidurnya, seolah ada aliran listrik yang mengalir
di tubuhnya. Pemandangan yang cukup aneh ini membuat Nadia terpaku di tempat,
dan tak dapat melakukan apapun.
“Nadia!”
Teriakan itu terdengar di
sela-sela jeritan Sebastian. Dan sedetik kemudian, sosok Debra muncul seraya
menarik lengan Nadia, membawa Nadia masuk ke dalam kamar yang dihuni oleh dua
sosok hitam itu.
“Tidak!”
Pintu kamar 34B terbanting
terbuka, dan Sebastian langsung terpuruk ke atas tempat tidurnya. Nadia hanya
dapat menatap keadaan itu dengan tidak percaya. Sosok hitam itu menghilang
seperti asap, secara seketika.
“Nadia, bantu aku!”
Ketidaknormalan terjadi pada
semua alat penopang kehidupan Sebastian. Segalanya seperti sudah di reset, dan
tidak bekerja dengan baik. Nadia yang sudah terlepas dari rasa takutnya mulai
membantu Debra untuk melakukan pertolongan pada pria tua itu, yang terpuruk,
terlihat seperti sayuran kering. Kedua mata Sebastian menatap kosong, dengan
bibir bergerak pelan, mengatakan,
“Mereka datang menjemputku.”
**
Nadia masih dapat merasakan
tangannya yang bergetar setelah melihat apa yang terjadi. Apakah Debra tidak
melihat dua sosok hitam itu? Ia sudah mencoba menanyakan soal hal aneh itu pada
Debra, namun Debra tidak mengerti dengan apa yang ia ucapkan.
Dokter-dokter yang bertugas
untuk membantu perawatan Sebastian berdatangan beberapa menit setelah kejadian
aneh itu. Tidak ada yang dapat Nadia lakukan selain menuruti setiap perintah,
yang nyatanya hanya berakhir sia-sia. Sebastian tidak tertolong.
Ya. Setelah dua sosok itu
datang, seolah Sebastian tidak kuat lagi untuk bertahan di dunia ini. Satu
pertanyaan muncul di dalam kepala Nadia seketika. Siapa dua sosok itu?
Ia hanya dapat menerka-nerka.
Mungkinkah sosok yang ia lihat itu adalah malaikat maut yang bertugas untuk
merebut nyawa Sebastian? Apakah sosok-sosok itu yang Sebastian sebut dengan
kata ‘mereka’? Gambaran mengerikan mengenai dua sosok itu masih melekat di
dalam ingatan Nadia. Dan sepertinya, tidak akan hilang dalam waktu yang lama.
Kepada siapa Nadia dapat menceritakan mengenai hal itu? Mungkin…, ia hanya
dapat menyimpannya seorang diri.
****