Jenna mendengus kesal sambil melihat ke arah luar jendela
dimana air hujan turun dengan deras. Ia merasa kesal karena di kamar asrama
barunya ini, ia harus tinggal sendirian. Teman-temannya yang lain sudah
mendapatkan teman sekamar, setidaknya satu. Tapi ia sendirian. Ia tidak terus
terang marah karena hal itu. Tapi yang ia rasakan adalah rasa kesepian yang
tidak biasa.
Sudah seminggu ini Jenna
tingal di kamar asrama itu. Kesendiriannya mulai dapat terobati dengan adanya
radio yang memutar musik kesayangannya. Ia menata bajunya sendiri, melakukan
pekerjaan rumahnya sendiri, dan tidur, tentu saja sendirian. Ia mulai merasa
betah dengan keadaan itu. Ia memang tidak mempunyai teman setelah pelajaran
sekolah usai. Namun besok pagi, ia akan kembali berkumpul bersama dengan
teman-temannya.
Satu hal yang tak terduga
terjadi pada sebuah Minggu sore saat Jenna sedang bersantai sambil mendengarkan
radio. Pintunya kamarnya diketuk dari luar. Jenna tidak tahu siapa yang datang.
Ia merasa tidak pernah mengundang siapapun untuk ke kamarnya.
Jenna dengan segera bangkit
dari tempat tidurnya dan mengarah ke pintu. Ia putar kenopnya, lalu menariknya
terbuka. Kedua matanya langsung menatap pada sosok seorang gadis berambut hitam
yang tersenyum ke arahnya. Siapa gadis itu?
“Oh! Hai!” sapa Jenna ketika
gadis berambut hitam itu tersenyum tanpa mengatakan apapun.
“Ada yang bisa kubantu?”
tanya Jenna. Ia masih belum membuka pintu kamarnya lebar-lebar.
“Sebenarnya…” balas gadis
itu dengan suara lirih. “Aku yang akan menjadi teman sekamarmu. Aku murid
baru.”
Hal ini tentu saja tak
terduga bagi Jenna yang begitu mengharapkan seorang teman. Ia tidak tahu kenapa
hal ini terjadi, dan tidak banyak bertanya lagi. Ia langsung mempersilahkan
gadis itu masuk dan membantunya membawa beberapa tas.
“Aku Rose.” Ucap gadis
berambut hitam itu sambil menawarkan tangannya. Jenna dengan hangat menyambut
tangan itu, yang anehnya terasa dingin. Jenna tersenyum dan memperkenalkan
namanya.
Gadis itu segera duduk di
atas tempat tidur yang ada di seberang tempat tidur Jenna. Seolah gadis itu
sudah tahu dimana ia harus tidur. Ia lalu terlihat mengeluarkan
barang-barangnya, yang kebanyakan adalah buku-buku tebal, yang sama sekali
tidak menarik bagi Jenna.
“Kapan kau datang? Aku tidak
tahu kalau ada murid baru.”
“Baru saja.” Jawab gadis
itu. “Aku sebenarnya pindah sekolah. Aku merasa tidak nyaman dengan sekolahku
yang lama.”
“Kau akan menemukan banyak
kesenangan disini.” Ucap Jenna dengan nada riang. “Kita akan menjadi teman yang
baik.”
Masih belum ada begitu
banyak hal yang Jenna tahu mengenai gadis bernama Rose itu. Yang dapat ia lihat
adalah, kenyataan bahwa kulit gadis itu begitu putih dan pucat, seolah tidak
ada darah yang mengalir di dalamnya. Rambutnya hitam, bergelombang, cantik dan
menawan. Jika dibandingkan, Rambut Jenna terlihat lebih berantakan dari rambut
gadis itu.
Jenna menghabiskan Minggu
malam itu dengan mengobrol bersama Rose. Rose ternyata adalah tipe gadis
pendiam yang tidak banyak bicara. Ia hanya mengucapkan beberapa kata sambil
terus tersenyum, sementara Jenna bercerita panjang lebar mengenai hari-harinya.
Ia juga menceritakan rasanya tidur sendirian.
“Kau tidak akan sendirian
lagi. Ada aku disini.” Ucap Rose dengan satu senyum yang memikat. Jenna hanya
dapat mengangguk.
Malam itu merupakan malam pertama
Jenna tidur dengan seorang teman. Ketika jarum jam menginjak pukul satu
dinihari, Jenna terbangun dari tidurnya saat ia merasa seperti mendengar sebuah
suara tangisan. Apa benar begitu? Ia coba dengarkan kembali, namun suara
tangisan itu menghilang.
Ia arahkan pandangannya ke
seberang ruangan, dimana terdapat gundukan selimut di atas tempat tidur. Jenna
tersenyum senang. Ia mendapatkan teman. Kini, ia tidak perlu merasa takut lagi
saat ada badai datang di malam hari. Jenna kembali tidur lagi, merasa lebih
damai dari sebelumnya.
Hari Senin datang dengan
kejutan baru. Jenna kini pergi kemana-mana bersama dengan gadis itu, Rose.
Mereka duduk berdekatan di kelas, dan makan bersama di kantin. Sama seperti
sebelumnya, Rose tidak banyak bicara, sementara Jenna membeberkan segalanya.
Apakah aneh rasanya jika
membicarakan lelaki yang ia cintai pada teman sekamar? Pertanyaan itulah yang
muncul dalam benak Jenna ketika ia sedang duduk di taman bersama Rose di sore
hari. Ia menceritakan rasa sukanya pada salah seorang teman lelakinya di kelas.
“Bagaimana denganmu?” tanya
Jenna. “Kau pasti punya seseorang yang kau sukai, ‘kan?”
“Aku belum lama disini.”
“Maksudku di sekolahmu yang
lama.” Ucap Jenna. “Kau mungkin tidak mau mengakuinya karena ada aku disini,
‘kan?”
“Bukan begitu.” Balas Rose.
“Bisa bersekolah dengan normal saja aku sudah dapat merasa senang.”
Kening Jenna berkerut. Apa
sebenarnya maksud dari ucapan itu tadi? Jenna tidak mengerti, namun ia juga tak
mau banyak bertanya. Obrolan mereka terbilang cukup lama. Ketika hari sudah
senja, mereka baru kembali ke kamar mereka.
Keduanya mengerjakan
pekerjaan rumah bersama malam itu. Udara sedikit dingin, dan mungkin akan ada
badai malam nanti. Tapi Jenna tidak merasa khawatir lagi dengan hal itu. Ia
memiliki Rose.
Rose ternyata lebih pandai
dari apa yang Jenna pikirkan. Gadis itu mampu mengerjakan soal-soal matematika
tersulit yang pernah Lauren temui, tanpa sedikitpun berpikir. Seolah soal
seperti itu layaknya sebuah soal umum. Jenna tidak mengerti. Rose sudah mencoba
menjelaskan cara mengerjakannya. Namun ternyata otak Jenna tidak mampu
menampung segala informasi.
Keduanya belajar selama
berjam-jam, hingga tak sadari mereka tertidur. Jenna bangkit dari lantai
sekitar pukul sebelas malam, dan Rose terlihat tertidur diatas tempat tidurnya
setelah membaca buku sejarah tebal. Rupanya keduanya sama-sama kelelahan.
Saat Jenna bangkit dari
lantai, ia sempat melihat sebuah buku kecil bersampul coklat yang tergeletak di
dekat buku pelajaran. Buku Rose. Jenna memungutnya tanpa berpikir dan membuka
halaman pertama. Disana tertulis nama Rose Sanchez. Itukah nama lengkap Rose?
Jenna tidak memikirkannya lagi. Ia segera membereskan buku-buku yang
berserakan, lalu tidur setelah mematikan lampu.
Jenna tidak tahu sudah
berapa lama ia tidur, saat sebuah suara petir membangunkannya. Ia lihat hujan
deras menerpa keras jendela kaca kamar asrama itu, dan suasananya benar-benar
tidak menyenangkan. Jenna melihat ke seberang tempat tidurnya, dimana Rose
terlihat masih tertidur pulas. Bagaimana mungkin Rose tidak terbangun setelah
petir menggelegar itu?
Jenna ingin kembali
meringkuk ke dalam selimutnya saat dengan samar ia dapat mendengar satu
rintihan tangis. Ya. Tangis seorang gadis yang terdengar jauh. Siapa yang
menangis malam-malam begini? Jenna kemudian ingat bahwa kemarin malam ia juga
mendengar tangis yang sama. Siapa? Jenna membawa pertanyaan itu ke dalam
mimpinya.
**
Seminggu telah berlalu sejak
kedatangan Rose ke dalam asrama Jenna. Keduanya kini sudah dapat dikatakan
sebagai teman baik, dan mengetahui rahasia satu sama lain. Wajah Rose terlihat
lebih bersinar lebih terang dari biasanya. Rona merah itu pun hadir di kedua
pipi gadis itu. Jenna merasa lebih bahagia dari sebelumnya. Meski ia juga punya
teman lain, namun berteman dengan Rose adalah segalanya.
Minggu-minggu berlalu sejak
kedatangan Rose. Dan sudah banyak kejadian yang mereka lakukan bersama. Seperti
belajar bersama, berbelanja bersama, dan melakukan aktivitas lainnya. Akan
tetapi, sebuah perubahan yang tidak Jenna harapkan terjadi. Kini, entah kenapa,
teman-temannya yang dulu mulai menjauh darinya. Apakaha karena Rose? Pemikiran
seperti itu adalah kesalahan. Jenna tidak mau menyalahkan Rose.
Hal aneh ini terus saja
terjadi setiap harinya. Saat Jenna bergerak ke kantin untuk sarapan, banyak
tatapan mata yang memandang aneh ke arahnya. Ia pun mendengar kasak-kusuk
mengenai dirinya yang tidak jelas. Jenna muak dengan semua itu. Dan Rose,
mengerti dengan apa yang Jenna rasakan.
“Jangan pikirkan mereka!”
ucap Rose sambil mengelus pundak teman sekamarnya itu.
“Mereka jadi aneh.” Ucap
Jenna mengutarakan apa yang ada di dalam pikirannya. “Tidakkah aneh?”
“Aku mengalami hal yang sama
di sekolahku yang dulu.” Ucap Rose. “Mereka tidak berarti. Apa yang kau
lakukan, adalah hal yang diperhitungkan. Tidak masalah jika kau tidak mempunya
kawan sekalipun. Hal itu tidak akan berpengaruh pada hasil akademis, ‘kan? Dan
kabar baiknya, aku akan selalu berada di sisimu.”
Jenna tersenyum lebar
mendengar ucapan Rose. Ya. Kenapa ia harus memikirkan apa yang mereka pikirkan?
Semua itu tidak berarti. Dan Rose terbukti telah menjadi teman terbaik baginya.
Persahabatan antara dua
gadis itu mulai terjalin begitu erat. Jenna kemudian mengetahui bahwa Rose
ternyata begitu pintar dalam bidang sains. Gadis itu sepertinya tidak mempunyai
kesulitan untuk menginat nama-nama ilmiah dan latin. Dan Rose terbukti banyak
membantu Jenna dalam pelajaran.
“Kenapa tidak ikut kompetisi
sains saja?” tanya Jenna di suatu sore, saat keduanya tengah bersantai di
kamar.
“Tidak.” Balas Rose sambil
tersenyum. “Aku pernah mencobanya di sekolahku yang lama. Tapi tidak…”
“Tidak kenapa?”
Rose hanya tersenyum sambil
menggeleng. Sepertinya ia tidak mau lagi bercerita tentang hal itu. Sore itu
mereka habiskan untuk belajar bersama, hingga larut malam. Pukul sebelas,
mereka memutuskan untuk pergi tidur.
Tidur Jenna tidak dapat
dikatakan nyenyak. Tengah malam, ia kembali dibangunkan oleh sebuah suara
tangisan yang asalnya tidak ia ketahui. Jenna duduk dalam gelap, mencoba untuk
menelisih, dan mencari darimana tangisan itu berasal. Namun…, dia tetap tidak
dapat menemukannya.
“Kau tidak mendengar suara
tangisan itu?” tanya Jenna pada Rose keesokan harinya. Rose hanya menggeleng
sebagai jawaban.
Selama pelajaan berlangsung,
Jenna tidak dapat melupakan apa yang terjadi semalam. Bahkan tangisan itu sudah
ia dengar berkali-kali, dan selalu pada jam yang sama. Siapa yang sebenarnya
menangis? Jenna sudah bertanya pada teman-teman yang lain, namun mereka tetap
tidak dapat memberikan jawaban.
Siang itu pelajaran bahasa
Inggris sedikit membosankan. Jenna duduk di kursi paling belakang, bersanding
dengan seorang gadis yang juga sudha menjadi teman dekat Jenna. Namanya Tori.
Gadis itu berkali-kali menolahkan kepalanya ke arah Jenna, dengan sikap ingin
tahu.
“Ada apa, Tori?” tanya
Jenna. “Kau sepertinya ingin mengucapkan sesuatu.”
“Sebenarnya…” ucap Tori.
“Aku mengkhawatirkan keadaanmu, Jenna. Bukan hanya aku. Teman-teman yang lain,
dan guru-guru.”
“Aku tidak mengerti apa
maksudmu.” Balas Jenna sambil mengerutkan dahinya. “Apa yang kau…”
“Tingkah anehmu selama
beberapa minggu terakhir.” Ucap Tori. “Kau sering menyendiri, dan menggumamkan
kata-kata tidak jelas. Bahkan kau sering duduk di kamar sendirian.”
“Apa?!”
“Bukan hanya itu.” Lanjut
Tori. “Temanmu yang ada di kamar sebelahmu mengatakan kau sering berbicara
sendirian di dalam kamar. Kau tertawa, bercanda,…, ada apa, Jenn? kau sedang
dalam masalah?”
“Aku tidak tahu apa yang kau
bicarakan.” Ucap Jenna dengan nada keras karena merasa sedikit tersinggung.
“Jika kau iri karena aku
memiliki teman baru…”
“Teman baru? Siapa?”
“Rose.” Jawab Jenna tanpa
ragu. “Di murid baru yang datang beberapa minggu yang lalu. Bukankah aku sudah
mengenalkannya padamu?”
Jenna tidak mendapat jawaban
yang cukup memuaskan. Temannya itu malah menghela nafas, seolah tengah
menghadapi sesuatu yang berat. Jenna berpikir, apakah ucapannya terlalu
berbelit-belit?
Tori bukanlah satu-satunya
orang yang menganggap Jenna aneh. Saat dikantin, mata-mata curiga memandang ke
arahnya. Bahkan ada yang bertanya, apakah Jenna sudah gila. Yang besar saja!
Jenna semakin muak dengan keadaan yang ia hadapi. Ada apa sebenarnya?
“Sudah kukatakan untuk tidak
memikirkannya.” Ucap Rose sore harinya saat Jenna bersantai di atas kasur
sambil mendengarkan musik dari ponselnya. Ia merasa benar-benar kesal.
“Semua membenciku.” Ucap
Jenna. “Apa aku melakukan kesalahan?”
Jenna tidak bisa tidur
karena terus memikirkan hal-hal aneh yang terjadi disekitarnya. Apa maksud dari
perkataan Tori siang tadi? Dan kenapa semua orang memandangnya curiga?
Jarum jam menyentuh pukul
satu dinihari saat Jenna mulai benar-benar mengantuk. Sesaat, ia dapat terlelap
dalam tidurnya. Namun beberapa detik kemudian, ia mendengar suara itu lagi.
Suara tangisan seorang gadis yang rasanya seperti dari kamar sebelah. Jenna
mencoba untuk mengabaikannya. Hal aneh ini sudah sering terjadi, dan Jenna
sudah merasa bahwa ia tidak bisa takut lagi.
Cahaya sinar matahari pagi
yang menerobos melalui kisi jendela membutakan mata Jenna. Hari sudah pagi.
Ketika ia bangun dari tempat tidurnya, ia temukan satu keadaan aneh yang tidak
ia pikirkan sebelumnya. Tempat tidur di seberang tempat tidurnya terlihat
kosong dan rapi. Apakah Rose sudah bangun sejak tadi?
Bukan hanya itu saja yang
membuat Jenna merasa aneh. Semua barang milik Rose juga sudah menghilang,
termasuk baju-baju yang ada di dalam lemari. Kenapa? Kenapa Rose pergi begitu
saja tanpa berpamitan padanya? Dan kemana gadis itu pergi?
Jenna mencoba untuk bertanya
pada salah satpam yang ada di gerbang depan. Ia bertanya apakah ada gadis
berambut hitam yang keluar dari area sekolah. Tapi satpam itu hanya menggeleng.
“Siapa nama temanmu itu?
Mungkin aku bisa membantu mencarinya.”
“Rose.” Jawab Jenna. “Rose
Sanchez.”
Kening Jenna langsung
berkerut ketika ia melihat ada perubahan yang signifikan dalam raut wajah
satpam itu. Seolah satpam itu baru saja melihat hantu, atau sesuatu yang
mengerikan.
“Jangan bercanda, Nona!”
ucap satpam itu. “Kau hanya mendengar cerita itu dari temanmu, ‘kan?”
“Cerita apa?”
“Mengenai Rose Sanchez.”
Ucap satpam itu. “Gadis yang bunuh diri tiga tahun lalu.”
**
Tidak mungkin!
Jenna terus meneriakkan
kata-kata itu di dalam kepalanya. Tidak mungkin gadis yang tidur sekamar
dengannya itu adalah Rose yang sudah meninggal sejak tiga tahun lalu. Tidak
mungkin.
“Kau boleh untuk tidak
mempercayainya.” Ucap Ny. Turner, sang kepala sekolah kepada Jenna siang
harinya.
“Rose Sanchez, benar itu
nama temanmu? Dan dia menghilang pagi ini?”
“Ya.” Jawab Jenna. “Dia
nyata. Dia bukan hantu. Mungkin hanya namanya saja yang sama. Dia sudah
bersekolah disini selama beberapa minggu. Anak-anak yang lain pasti sudah
melihatnya.”
“Itu yang kukhawatirkan,
Jenna.” Ucap wanita itu. “Teman-temanmu sudah bercerita padaku, bahwa kau
sering berbicara sendirian di taman, dan kau tertawa sendirian di dalam
kamarmu.”
“Tidak mungkin!”
“Itulah kenyataannya.” Ucap
Ny. Turner. “Kau mau percaya atau tidak, itu pilihanmu. Tapi kurasa kau baru
saja menjadi seorang teman dari gadis yang kesepian itu.”
Jenn tidak tahu harus
berkata apa. Apakah benar yang berada di sisinya selama ini adalah hantu dari
gadis yang meninggal tiga tahun yang lalu itu?
Jenn kemudian mendapat
cerita selengkapnya dari salah satu penjaga sekolah yang usdah tahunan bekerja
di sekolah itu. Pria tua itu mengatakan bahwa seorang gadis bernama Rose
meninggal di ruang olahraga, gantung diri. Dialah Rose Sanchez, yang terkenal
karena kejeniusannya dalam bidang sains. Namun hal itu menjadi bumerang bagi
kehidupan Rose. Gadis itu mendapatkan bullying dari teman-teman sebayanya, dan
tidak kuat lagi menerima siksaan. Pada akhirnya, ia memutuskan untuk bunuh
diri.
“Aku masih sulit untuk
mempercayainya.” Ucap Jenna pada Tori sore harinya dalam perlajanan menuju
gedung asrama. “Kalian semua melihatku berbicara sendirian?”
“Lupakan masalah itu,
Jenna!” ucap Tori. “Dia sudah pergi. Kurasa dia bisa pergi dengan tenang
sekarang.”
Jenna berdiri kaku di depan
pintu kamarnya. Apa yang akan ia temukan ketika membuka pintu itu? Apakah
mungkin sosok Rose akan muncul lagi, mungkin dengan satu senyum? Perlahan, Jenna
mendorong pintu kamarnya sampai terbuka. Dan yang terlihat hanyalah satu
ruangan kosong.
Jenna menghembuskan
nafasnya. Sepertinya cerita itu benar. Dan ia baru saja mengalami kejadian
supranatural yang sesungguhnya. Rose. Seandainya saja dia bisa bersekolah
dengan Rose, mungkin Rose tidak perlu merasa kesepian dan harus bunuh diri.
Tapi…, tidak ada yang dapat Jenna lakukan.
Jenna bergerak ke arah
jendela, tepat ketika satu buku tebal jauh dari meja. Buku itu membuka sebuah
halaman, dimana di dalamnya tersisip selembar kertas yang terlipat. Rose
membuka lipatan kertas itu, dan kedua matanya langsung melebar.
“Terima kasih telah menjadi
teman baik bagiku.”
Hanya itu yang tertulis di
selembar kertas kosong itu. Namun Jenna tahu pasti, bahwa tulisan tangan itu
adalah tulisan tangan Rose. Rose, mengucapkan terima kasih padanya.
Jenna tersenyum. Segala
ketakutan di dalam dirinya sirna seketika ketika ia menyadari bahwa ia telah
membantu seseorang mencapai sesuatu yang benar-benar diharapkan. Rose hanya
membutuhkan seorang teman. Dan Jenna berhasil menjadi teman yang baik. Jenna
kemudian menatap langit sambil berkata,
“Selamat jalan, Rose.”
****