Rumah di ujung jalan Whisper Street sudah terkenal dengan
keangkerannya. Sebuah remah besar dan mewah, yang mungkin terlihat begitu
menawan saat masih dihuni itu, kini berubah menjadi sarang dari segala macam
teori, kisah horor, dan kegiatan spiritual yang sudah menyebar hingga ke ujung
kota kecil Blackwood.
Mungkin akan terdengar gila.
Namun keempat remaja usia sma itu memiliki ide yang bisa dikatakan ‘ekstrem’,
yang bisa disebut sebagai suatu kegiatan yang sia-sia dan tidak dapat dikatakan
akan mendatangkan hal bagus pada akhirnya.
Apa yang sebenarnya mereka
rencanakan?
Tobi, Nick, Jennifer, dan
Ashley sudah mempersiapkan acara yang akan mereka lakukan malam nanti. Hari
jumat malam, pukul sepuluh, mereka akan masuk ke dalam rumah besar itu dan
melakukan satu hal yang bisa dianggap cukup berbahaya, meski belum terbukti
kebenarannya.
Ouija board, adalah sebuah
instrumen yang kerap digunakan oleh kalangan remaja saat mereka melakukan pesta
piyama atau pada saat perkumpulan tertentu. Tulisan yang ditunjukkan oleh potongan
kayu kecil yang dipegangi oleh empat orang itu katanya adalah dorongan dari
alam gaib. Namun masih banyak yang percaya bahwa kegiatan berbicara dengan
arwah menggunakan papan ouija itu hanyalah sebuah rekaan dan tidak nyata.
“Kau, tidak benar-benar mempercayainya,
‘kan?” ucap Jennifer saat mereka makan siang di kantin sekolahan. Mereka terus
membicarakan mengenai rencana mereka malam nanti.
“Semua orang tahu papan
ouija hanyalah omong kosong. Seseorang dari antara pemegang papan kecil sengaja
menggerakkan pointer itu pada huruf-huruf yang dapat membuat teman-temannya
berteriak ketakutan.”
“Kalau begitu, Jenn, kau
tidak percaya dengan arwah?” tanya Ashley. Ashley adalah tipe gadis yang mudah
takut, dan dapat berteriak histeris saat mendengar satu suara aneh. Dialah yang
paling kecil diantara kelompok remaja itu.
“Aku percaya dengan arwah.”
Jawab Jenn. “Tapi mengenai ouija…”
“Hanya ada satu cara untuk
membuktikannya.” Sahut Tony yang duduk di hadapan Jennifer. Pandangan matanya
berapi-api.
“Oh, tidak dengan rumah
hantu itu lagi!” ucap Jenn.
“Itu ide utamanya.” Balas
Nick. “Kita akan masuk ke sana, melakukan ritual, dan mungkin kita bisa bicara
dengan arwah yang menghuni rumah mengerikan itu. Kau tahu kenapa rumah itu
ditinggalkan?”
“Kenapa?” tanya Ashley.
“Karena ada han…”
“Bukan!” sahut Jenn cepat.
“Mereka pergi karena ada masalah dengan keluarga mereka. Tidak ada hubungannya
dengan hantu, Ash.”
“Tapi..tapi…” Ashley mulai
melakukan aksi ketakutannya, meski saat itu hari masih siang dan penuh dengan
orang.
“Ayolah!” ucap Tony sambil
nyengir lebar. “Ini akan menjadi satu hal meanarik. Sebentar lagi kita akan
ujian. Anggap saja acara malam nanti sebagai sebuah…, er…, inisiasi, atau
ritual agar tes kita berjalan dengan lancar.”
“Dengan meminta bantuan pada
hantu?” Jenn terdengar sedikit skeptis soal apa yang mereka bicarakan. Ia
adalah tipe orang yang tidak begitu percaya dengan superstisi, terutama dengan
papan ouija. Dengan malas, ia menjilati french-friesnya.
“Pokoknya kita harus lakukan
malam nanti.” Ucap Nick sambil mengetuk permukaan meja. Ia mengangguk-angguk
sambil nyengir, mencoba untuk meyakinkan ketiga temannya.
“Hal ini akan aman, ‘kan?”
ucap Ashley. “Maksudku…, bagaimana jika kita malah membuat arwah atau hantu
disana marah?”
“Mudah.” Sahut Tony sambil
terkikik. “Kita tinggal minta maaf dan lari dari rumah itu.”
Benar-benar sebuah ide yang
sudah kelewat akal. Jika mereka melakukan ritual di rumah mereka sendiri,
sepertinya tidka begitu buruk. Namun mereka mau melakukannya di dalam rumah
yang usdah kosong selama bertahun-tahun itu. Mengesampingkan soal hantu, mereka
bisa saja jatuh ke dalam masalah karena menerobos masuk pekarangan orang lain
tanpa ijin. Dan itu sudah merupakan sebuah pelanggaran.
Pukul sepuluh kurang lima
belas menit malam itu, keempat remaja itu sudah berdiri di perempatan jalan
yang terletak tak jauh dari rumah besar itu. Jenn terlihat malas seperti biasa.
Di lain sisi, Ashley terlihat seperti tikus di ujung got yang nyaris terendam
air. Wajahnya menunjukkan rasa takut yang berlebihan. Tony dan Nick terlihat
begitu ‘normal’, dalan skala yang mereka buat sendiri. Sudah menjadi tugas
keduanya untuk menjaga para gadis jika hal buruk terjadi.
“Aku bawa senter, dan korek
api.” Ucap Tony. “Siapa tahu kita bisa menyalakan perapiannya.”
“Dan aku…” ucap Nick. Ia
meraih sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah papan kayu dengan abjad alfabet di
permukaannya. Papan ouija itu.
“Oh, aku tidak tahu apa yang
harus aku rasakan.” Ucap Ashley dengan tangan gemetar. Sedari tadi ia selalu
bersembunyi di belakang punggung Jenn.
“Tenang, Ash!” ucap Nick.
“Mungkin hantunya hantu ganteng yang akan tertarik padamu.”
“Diam, Nick!” sentak Ashley
dengan wajah memerah seperti tomat. Kedua matanya bergerak tidak tenang.
“Apa yang kita tunggu?”
tanya Tony. Ia bergerak di depan, memimpin ketiga kawannya.
Rumah besar itu terlihat
begitu megah diantara rumah-rumah lainnya. Gaya eropa, dengan dua sayap
bangunan yang sudah porak-poranda. Akibat dari cuaca dan angin, dan juga hujan,
rumah itu terlihat begitu berantakan.
Gerbang besi di depan rumah
sudah cukup berkarat dan sulit untuk dibuka. Tony hanya dapat menyelip di celah
yang terbuka, diikuti oleh ketiga kawannya. Tony bergerak melewati halaman yang
dipenuhi dengan sampah dan langsung mengarah ke pintu besar yang ada di depan.
Ia memutar kenob pintunya, tapi…
“Tentu saja!” ucapnya sambil
mengumpat. “Kita harus cari jalan lain.”
Keempat remaja itu bergerak
mengeliling rumah besar itu. Cahaya bulan menciptakan bayangan yang mengerikan,
saat mereka melewati sebuah pohon besar di halaman samping. Keempat remaja itu
bergerak perlahan, mencoba untuk tidak tersandung pada barang-barang yang
berserakan di sekitar rumah itu.
“Itu!” ucap Tony sambil
menunjuk pada sebuah pintu yang mengarah ke ruang bawah tanah. Dengan satu
tenaga ekstra, Tony dan Nick membuka pintu yang mengarah ke basement rumah
besar itu. Tidak terkunci. Sepertinya mereka beruntung.
Cahaya senter Tony membelah
kegelapan yang ada di dalam ruang bawah tanah. Ia memimpin ketiga temannya
seperti tadi. Ia melihat sekeliling ruang bawah tanah, yang dipenuhi dengan
barang-barang rongsokan yang sudah dipenuhi dengan debu dan sarang laba-laba.
“Lewat sini!” ucapnya,
sambil bergerak ke arah tangga yang akan mengantarkan mereka ke lantai satu
rumah besar itu.
Ada semacam kekaguman dari
empat remaja itu saat mereka sudah sampai di dalam rumah. Meski terlihat tak
terawat, namun kemegahan dari panel dinding dan segalanya membuat keempat
remaja itu menggelngkan kepalanya mereka. Ada terlalu banyak barang seni kelas
tinggi di rumah itu, yang dibiarkan berdebu begitu saja. Sarang laba-lana
berada di setiap tempat.
“Kenapa belum ada pencuri
yang membobol rumah ini?” gumam Nick saat melihat sebuah vas cantik di tangga.
“Mereka takut hantu.” Ucap
Ashley. Ia masih terus bersembunyi di balakng punggung Jenn. wajahnya terlihat
lebih cemas dari ketiga temannya.
“Oke. Kita sudah di dalam.”
Ucap Tony. Saat itu mereka berada di tengah bangunan, menghadap pada satu
tangga besar yangmengarah ke lantai dua.
“Kita lakukan disini saja.”
Ucap Nick. Ia menari sebuah meja kecil ke tengah ruangan, dan meletakkan empat
kursi di sisinya. Ia mengeluarkan beberapa batang lilin dari dalam tas yang ia
bawa, dan mulai menyalakannya, meletakkan di beberapa tempat. Rumah besar itu
terlihat sedikit lebih terang dengan adanya cahaya lilin. Namun bayangan yang
bergoyang dari api lilin itu membuat seolah ada yang selelu bergerak di dalam
rumah itu. Ashley bersumpah, bahwa ia sempat melihat sekelebatan bayangan
hitam.
“Hanya bayangan lilin, Ash.
Tenang!”
Keempat remaja itu mulai
duduk diatas kursi, menghadap pada papan ouija yang sudah terbuka di depan
mereka. Satu pointer diletakkan di tengah, dan keempat remaja itu mulai
menempelkan ujung jari mereka pada pionter tersebut.
Tony dan Nick tersenyum
lebar, merasa begitu bersemangat melakukan hal yang berbahaya ini. Di lain
sisi, Jenn dan Ashley terlihat cemas.
“Tenang saja!” ucap Nick.
“Jika hantu memang ada, mereka tembus pandang dan tidak padat. Mereka tidak
bisa membunuh kita.”
“Jangan bercanda!” sentak
Ashley. “Jangan membuat mereka marah.”
“Mereka, siapa?”
“Siapapun yang ada di tempat
ini.” Jawab Ashley lirih.
Keempat remaja itu saling
pandang, bingung dengan apa yang harus mereka lakukan selanjutnya. Belum ada
satupun dari remaja itu yang pernah melakukan ritual ouija.
“Apakah harus ada mantra
untuk memulai hal ini?” tanya Nick. Ia arahkan pandangan matanya pada Tony yang
duduk di depannya.
“Entahlah.” Jawab Tony.
“Kurasa kita harus mencobanya.”
Keempat remaja itu diam,
berkonsentrasi pada pointer kecil yang ada di tengah papan ouija. Ashley
bergetar, terlalu takut untuk melakukannya.
“Aku akan mulai.” Ucap Tony.
Ia berdehem melonggarkan tenggorokannya.
“Halo?” ucapnya dengan suara
keras. “Ada yang menunggu tempat ini?”
Keempat remaja itu masih
menunggu. Namun pointer yang ada di tangan mereka sama sekali tak bergeming.
“Ulangi lagi!” bisik Nick.
“HALO!” Tony berseru. “JIKA
ADA SESEORANG…”
“Oh!!!” Ashley nyaris
berteriak saat pointer yang ada di tangannya mulai bergetar, dan sedikit
bergeser dari posisinya semula. Ketiga remaja lainnya sadar akan perubahan itu.
“Berhasil!” ucap Nick.
“Lakukan lagi!”
“Boleh kami berbicara?”
tanya Tony, dengan nada bicara yang ia buat sejelas mungkin. Ia memberikan
penekanan dalam setiap kata yang ia ucapkan.
Pointer itu tiba-tiba saja
bergerak, mengarah pada kata ‘YES’. Untuk sesaat, keempat remaja itu terdima.
Mereka saling pandang.
“Bukan salah satu dari
kalian yang menggerakkannya, ‘kan?” tanya Tony sedikit ragu. Ia curiga ada yang
curang dalam permainan itu.
“Ehm…, kau masih tinggal
disini?” tanya Tony lagi. Pointer itu bergerak memutari papan untuk sesaat, dan
kembali pada kata ‘YES’.
“Ini nyata.” Bisik Nick.
“Ada sesuatu…”
“Siapa namamu?” tanya Tony
lagi. Pointer kayu itu mulai bergerak pada huruf-huruf yang ada di papan itu.
Membentuk sebuah nama.
“Mary.” Gumam Nick. Ia
memandang lagi pada Tony.
“Kami ingin tahu…, bagaimana
kau meninggal?”
Tony seketika mendapatkan
tatapan tajam dari ketiga temannya. Ia sadar kemudian, bahwa pertanyaan itu
terlalu ekstrim.
“Maafkan aku!” ucapnya.
“Boleh kami tahu, tentang siapa dirimu sebenarnya, Mary?”
Pointer itu bergerak lagi.
kali ini menunjukkan kata ‘NO’.
“Oke.” Ucap Tony. Ia
menghela nafasnya, dan siap untuk melakukan percakapan lagi.
“Kau sendiri disini, atau
ada yang lain?”
Keempat remaja itu menunggu
selama beberapa detik. Namun pointer itu sama sekali tidak bergerak. Satu
menit, menjadi lima menit, dan begitulah.
“Hanya itu? Payah!” keluh
Nick. Keempat remaja itu melepaskan tangan mereka dari pointer. Namun tiba-tiba
saja pointer itu bergerak dengan sendirinya. Membuat sebuah kata ‘PERGI’.
Keempat remaja itu saling
pandang. Apakah hantu di rumah itu tidak ingin diganggu? Dan apa yang akan
terjadi jika…
“AHHH!!!” Ashley berteriak
nyaring saat papan ouija itu tiba-tiba saja terlempar ke udara. Keempat remaja
itu berdiri seketika dari kursi mereka. Dan disaat bersamaan, ada angin kencang
bertiup, entah dari mana. Cahaya api lilin kembali bergoyang, dan keadaan
semakin mencekam.
“Sudah cukup!” ucap
Jennifer. “Kita harus pergi dari tempat ini.”
Tidak ada yang menolak
rencana itu. Ya. Mereka sudah mendapatkan apa yang mereka mau, dan mereka
sadari bahwa memang ada arwah di dalam rumah tua itu. Namun sesaat ketika
mereka akan bergerak, cahaya lilin-lilin yang mereka pasang padam seketika. Membuat
mereka berdiri di dalam kegelapan.
“Oh, tidak!!” Ashley
berteriak lagi. Dia terdengar nyaris menangis.
“Tenang!” ucap Tony. Ia
mengeluarkan senternya, dan menyalakannya. Untuk sesaat, cahaya senter dapat
menerangi wajah keempat remaja. Namun detik berikutnya, senter itu mati
mendadak.
“Apa yang…”
“Apa itu?” tanya Jenn saat
ia seperti mendengar suara langkah kaki di dalam rumah itu. Padahal tidak ada
yang bergerak. Langkah kaki itu semakin dekat, dan…
“AARGHHHH!!!”
Nick berteriak keras,
melengking, dan terdengar suara bergedebuk tak jauh dari tempat remaja itu
berdiri.
“Nick!” teriak Tony. Ia
memukul-mukul senternya, dan cahayanya hidup lagi. Dan mereka menemukan Nick
tergeletak di lantai. Namun ada yang aneh dengan tubuh Nick.
“Oh, tidak!” teriak Ashley
histeris saat melihat kepala Nick sudah berputar 180 derajat, dengan darah
mengucur keluar dari mulut dan hidungnya. Nick tewas.
“Kita harus pergi, cepat!”
Ketiga remaja itu segera
berlari kembali ke ruang bawah tanah. Namun ketika mereka tiba di lantai, Ashley
berteriak. Tony mengarahkan senternya pada Ashley, dan ia melihat ada sebuah
tangan hitam kurus dengan kulit keriput memegangi pergelangan kaki Ashley.
Ashley meronta, namun kejadiannya begitu cepat, bahkan Tony dan Jenn tidak tahu
harus melakukan apa. Ashley diseret naik kembali ke arah lantai satu. Suara
jeritannya menggema di dalam rumah besar itu, lalu terdima.
“Kita keluar, Jenn. cepat!”
“Bagaimana dengan Ash, dan
Nick, dan…”
“Tidak ada waktu!” ucap Tony
seraya menarik lengan Jenn mengarah ke tangga yang mengarah pada halaman luar.
Mereka berhasil keluar dari
basement. Namun ketika mereka bergerak melewati halaman samping, keduanya
mendengar suara dentingan logam yang tak jauh dari tempat mereka berdiri.
“Jenn?”
Tony berjingkat saat cahaya
senternya menemukan tubuh Jennifer sudah tergeletak di tanah dengan garpu taman
menembus perutnya. Jennifer juga mati.
“Astaga!”
Tony berlari sekuat
tenaganya, mengarah ke gerbang depan. Ketika ia akan menyelip keluar, ia
merasakan ada cengekraman di lengannya, yang mencengkeram begitu kuat, dan rasa
panas menjalar di sekujur tubuhnya.
“TIDAK!!!” Tubuh Tony
terbang sekitar dua meter ke udara dan terjerembab di kaki tangga depan rumah
tua itu. Tony mencoba untuk berdiri lagi, namun ia sadari kemudian bahwa sudah
ada sosok besar hitam seperti asap berdiri tepat di depannya. Wajah dari sosok
itu turun ke arah wajah Tony, dan Tony melihat kengerian yang sebenarnya.
Sebuah wajah tanpa bola mata dan mulut tanpa bibir berada tepat di hadapannya.
Sebelum Tony sempat berteriak, jemari dari sosok itu sudah terlebih dahulu
menusuk kedua bola matanya. Tony, terkulai lemah, dan menjadi korban terakhir
malam petaka itu.
Rumah besar itu masih
berdiri dalam kemegahannya yang tertutup oleh misteri. Apa sebenarnya yang
membuat rumah itu ditinggalkan? Dan apa sebenarnya yang hidup di dalam rumah
itu? Misteri dari rumah besar itu belum terpecahkan. Dan mungkin, tidak akan
terpecahkan. Keempat remaja itu menjadi korban dari apa yang hidup di dalam
sana. Yang mungkin, menunggu korban selanjutnya.
****