Daniel tidak tahu lagi cara lain untuk melampiaskan
kemarahan dan kekesalannya. Jika saja bukan karena lembar tugasnya yang ditolak
mentah-mentah oleh profesornya karena kurang bagus, mungkin Daniel tidak perlu
menghabiskan waktunya di perpustakaan untuk memulai lagi risetnya mengenai
subyek yang tengah ia pelajari. Ia kesal, ia bosan, namun ia tahu bahwa ia
harus melakukannya.
Sudah dua tahun Daniel
kulaih di universitas yang ia tempati saat ini. Dan setiap kali ia membuat
tugas, entah kenapa profesornya selalu menunjukkan poin-poin yang salah dalam
setiap lembar tugasnya. Apa dia terlalu bodoh? Tidak. Daniel selalu membuat
nilai yang bagus saat sma. Tapi entah kenapa di bangku perkuliahan ini ia
selalu tertinggal dengan teman-temannya. Hal itu, membuatnya harus bekerja
ekstra keras untuk mendapatkan nilai yang baik.
Daniel tidak pernah menjadi
penggemar dari sebuah perpustakaan. Kenapa harus ke perpustakaan jika ia bisa
mencarinya lewat internet? Tapi tidak dapat dipungkiri bahwa kadang ia memang
harus membaca beberapa buku sebagai sumber makalahnya. Dan terpaksa, ia harus
mengunjungi perpustakaan.
Diantara sekian banyak
kesibukannya sebagai seorang mahasiswa, Daniel sulit untuk mengatur waktunya.
Akibatnya, ia tidak memiliki cukup waktu untuk pergi ke persutakaan. Ia hanya
bisa melakukannya saat malam tiba. Pukul sembilan malam, ia berjalan seorang
diri di lorong yang gelap, bergerak menuju perpustakaan tua di kampusnya yang
dijaga oleh seorang wanita gemuk dengan sikap yang tidak menyenangkan.
“Jangan berisik!” ucap
wanita gemuk berkacamata itu ketika Daniel bergerak memasuki perpustakaan.
Daniel hanya mendengus pelan, lalu bergerak ke arah rak buku.
Perpustakaan yang ia tempati
saat itu merupakan sebuah perpustakaan yang sudah cukup berumur. Mungkin sudah
ada sejak kampus ini dibangin 70 tahun yang lalu. Terdapat begitu banyak rak
buku yang tinggi, yang menciptakan koridor-koridor sempit, gelap, berdebu, dan
membuat suasananya sedikit tidak menyenangkan. Daniel bahkan sedikit kesulitan
untuk menemukan buku yang ia inginkan. Ia kadang harus memanjat tangga,
menggeser tangga, dan melakukan hal lain yang tidak ia senangi. Hanya demi
makalahnya.
Daniel membawa setumpuk buku
ke arah sebuah meja kecil yang terletak di samping sebuah rak. Tidak ia sangka
bahwa ia harus membaca buku sebanyak itu. Daniel tengah sibujk membuka-buka
buku ketika ia sadar bahwa keadaan begitu sepi dan sedikit membuatnya tidak
tenang. Sama sekali tidak ada suara lain, keculai suara halaman buku yang ia
buka.
Daniel berpikir, mungkin ia
bisa mati karena bosan. Cahaya temaram di ruangan itu membuat kedua matanya
berat, mengantuk, dan ia tidak tahu apakah kalimat-kalimat yang ia baca dapat
masuk ke dalam otaknya. Daniel menguap. Dan tiba-tiba saja…
“Bosan?”
Daniel hampir saja menjerit
saat mendengar suara itu. Sebuah suara seorang gadis dari arah sampingnya, yang
tidak ia ketahui kapan gadis itu duduk disana. Daniel tidak percaya bahwa ia
tidak sadar saat seroang gadis duduk beberapa meter darinya. Apakah gadis itu
sudah ada disana sejak tadi?
Gadis itu terlihat cukup
menarik bagi Daniel, yang hingga detik itu memang belum memiliki kekasih. Gadis
itu memiliki rambut priang sebahu yang mengombak, senyum manis, dan sepasang
mata hijau secerah zamrud. Gadis itu tengah membaca beberapa buku, ketika ia
melepaskan satu senyuman pada Daniel.
“Maaf mengagetkanmu.” Ucap
gadis itu.
“Kau…, sudah ada disana
sejak tadi?” tanya Daniel. “Err…, maaf! Aku tidak menyadari kehadiranmu.”
Kebosanan yang Daniel
rasakan tiba-tiba saja menghilang dengan kedatangan gadis manis itu. Kini,
perasaannya digantikan dengan perasaan tak karuan karena telah melihat seorang
gadis yang mungkin…, dapat menjadi teman baginya.
Daniel mencoba melanjutkan
apa yang sedang ia lakukan. Membaca, sayangnya, kenyataan bahwa ada gadis
cantik duduk disampingnya membuat Daniel tidak dapat berkonsentrasi. Detik
berikutnya, ia membawa semua bukunya dan memindah posisi duduknya. Ia kini
berada di samping gadis itu.
“Aku merasa beruntung.” Ucap
Daniel ketika ia duduk di samping gadis pirang itu.
“Karena apa?”
“Karena aku tidak harus
membaca sendiri malam ini.” Jawab Daniel. “Aku, dan tugas-tugas menyebalkan
ini. Kau juga?”
“Ya.” Jawab gadis itu.
“Tugas.”
“Oh! Namaku Daniel.” Ucap
Daniel sambil mengulurkan tangannya. Gadis itu menjabat tangannya, terasa
dingin, namun Daniel mengabaikannya. Mulut manis gadis itu mengucapkan satu
nama yang akan selalu Daniel ingat.
“Rachel.”
Keadaan menjadi sedikit
canggung saat keduanya saling diam dan mulai membaca buku yang ada di hadapan
mereka. Jujur, Daniel merasa semakin tidak berkonsentrasi dengan bukunya. Ia
ingin berbicara dengan gadis itu, tapi ia tidak tahu apa yang harus ia ucapkan.
Sesekali Daniel melirik ke
arah gadis itu. Dan disaat yang bersamaan, gadis itu melirik ke arahnya.
Perasaan canggung semakin menjadi-jadi. Daniel sadar bahwa ia harus segera
mengucapkan sesuatu.
“Kenapa?” tanya Daniel
beberapa detik kemudian. Rachel mengenyit, bingung dengan apa yang Daniel
maksudkan.
“Maaf?”
“Maksudku…, kenapa kau
berada disini malam-malam? Gadis sepertimu…, err….”
“Suasananya cukup tenang
saat malam hari.” Jawab gadis itu. “Dan kau? Kau sepertinya bukan tipe orang
yang suka dengan perpustakaan.”
“Ya.” Jawab Daniel. “Tapi
kurasa…, ada baiknya membaca buku.”
Ketika Daniel merasa bahwa ia
telah membuka sebuah celah untuk sebuah percakapan, maka tidak ada lagi yang
dapat menghentikannya. Ia banyak bercerita mengenai kehidupan kampusnya,
bertanya pada Rachel mengenai jalur perkuliahan yang ia ambil, dan hal-hal lain
hingga mereka tak sadar bahwa kini keduanya telah melupakan buku yang seharunya
mereka pelajari.
“Dingin.” Ucap gadis itu.
“Ya.” Timpal Daniel. “Cuaca
memang sedang tidak bagus.”
Daniel merasa bahwa Rachel
mungkin dapat menjadi teman baiknya. Detik berikutnya, ia bertanya kapan ia
dapat menemui Rachel lagi.
“Aku selalu berada di tempat
ini setiap malam.” Jawab gadis itu. “Kau bisa menemukanku disini.”
“Bagaimana dengan tempat
lain?”
Gadis itu tidak menjawab.
Tatapan kedua matanya lurus ke arah buku yang terbuka di hadapannya. Mungkin
gadis itu tengah berkonsentrasi dengan buku yang ia baca. Daniel mencoba untuk
tidak mengganggunya lagi.
Daniel sempat pergi
meninggalkan gadis itu untuk mengambil buku lain yang berada di seberang
ruangan. Wanita gemuk yang menjadi penjaga perpustakaan itu mengucapkan
beberapa kata padanya.
“Hampir tutup. Sebaiknya kau
segera pergi.”
“Baik.” Jawab Daniel.
Daniel kembali ke arah meja
yang ia tinggalkan tadi. Dan anehnya, gadis itu telah menghilang dari
pandangan. Gadis itu sudah pergi? Tapi Daniel tidak menyadari kepergian gadis
itu.
Daniel mengabaikan keanehan
yang ia rasakan. Mungkin Daniel hanya tidak sadar saat gadis itu keluar dari
perpustakaan. Daniel mencoba untuk membaca kurang lebih dua puluh menit,
sebelum akhirnya ia memutuskan untuk keluar dari perpustakaan. Dan ia berjanji
dalam hatinya bahwa ia akan kembali besok malam. Mungkin ia akan bertemu dengan
gadis itu lagi?
*
Mungkin terdengar sedikit
gila. Namun Daniel kini lebih banyak menghabiskan waktunya di perpustakaan tua
kampusnya itu. Sudah beberapa malam terakhir, Daniel selalu mengunjungi
perpustakaan ini. Alasan utamanya adalah mengenai makalah yang sedang ia
kerjakan. Yah…, paling tidak itu yang ia katakan pada teman-temannya. Alasan
lain, tentu saja karena Rachel.
Daniel tidak pernah
merasakan kedekatan seperti yang ia rasakan ketika ia sedang bersama dengan
Rachel. Entah kenapa, hanya dalam hitungan hari Daniel dapat menjadi orang yang
berbeda sepenuhnya. Ia yang biasanya selalu terlambat menyelesaikan
tugas-tugasnya, kini selalu rajin mengerjakannya dan mendapatkan nilai bagus.
Semua itu dikarenakan Rachel. Gadis itu mampu merubahnya dengan setiap
kata-katanya.
“Ini impianku.” Ucap Rachel
di suatu malam di perpustakaan, di tempat yang sama seperti malam-malam
sebelumnya.
“Bisa bersekolah di tempat
ini dan lulus, merupakan cita-citaku. Aku tidak akan membuang waktuku.”
Ucapan itu menyadarkan
Daniel bahwa ia tidak bisa selamanya bersekolah di tempat itu. Ia harus
berhasil dalam setiap pelajaran yang ia ikuti. Dan yang paling penting, ia
harus lulus dari tempat itu.
Daniel kembali mengunjungi
Rachel di malam-malam berikutnya. Daniel sebenarnya tidak suka jika ia harus
terus berbincang dengan Rachel di perpustakaan, dan telah mengusulkan tempat
lain. Tapi Rachel menolak dengan alasan yang tidak Daniel mengerti.
Malam itu, Rachel terlihat
berbeda dari biasanya. Wajahnya yang biasanya merona merah dan cantik itu kini
terlihat pucat dan tak bergairah. Dari sorot kedua mata zamrudnya, Daniel tahu
bahwa gadis itu tengah menghadapi masalah.
“Aku ingin pulang.” Ucap
Rachel.
“Kenapa?”
“Aku rindu dengan
keluargaku.”
Daniel tidak begitu mengerti
dengan apa yang Rachel bicarakan. Apakah Rachel tidak pernah pulang saat libur
natal? Daniel sudah mencoba bertanya tentang hal itu, tapi Rachel tidak
memberikan satupun penjelasan.
Daniel pergi tidur malam itu
masih dengan sejuta pertanyaan mengenai Rachel. Gadis itu berubah. Awalnya
gadis itu terlihat riang dan banyak berbicara, kini gadis itu hanya terdiam,
dan kadang terlihat seperti ingin menangis. Daniel masih teringat ucapan
terakhir Rachel malam itu. Dia berkata,
“Dingin.”
Daniel terabngun di tengah
malam saat ponselnya berdering. Nama yang tertera di layar ponselnya adalah
nama Rachel. Ya. Ia memang sudah memberikan nomornya apda gadis itu beberapa
hari yang lalu. Daniel tidak mengerti kenapa gadis itu meneleponnya
malam-malam. Dan gadis itu pun hanya mengucapkan satu kalimat sebelum menutup
kembali sambungan telepon.
“Temui aku besok di belakang
lapangan sepak bola.”
Daniel tidak mengerti. Dan
ia tak habis pikir. Ia terus bertanya-tanya dalam hati, mengenai segala
keanehan yang ditunjukkan oleh gadis itu. Keesokan harinya ia pun mengunungi
tempat yang telah ditunjukkan oleh Rachel.
Bagian belakang lapangan
sepak bola di kampus itu merupakan sebuah kawasan hutan kecil yang asri.
Terdapat banyak pohon-pohon tua yang masih berdiri di tempat itu, tanpa ada
tanda-tanda bahwa akan di tebang. Daniel menunggu di bawah naungan sebuah pohon
besar. Tapi…, gadis yang ia tunggu tidak juga muncul.
Daniel sadar bahwa Rachel
tidak pernah mengatakan jam berapa ia harus menemuinya. Daniel mencoba menunggu
lebih lama, tapi gadis itu tak muncul juga.
Daniel kembali ke hutan
kecil itu sore harinya. Di bawah siraman cahaya senja, Daniel mencoba untuk
bersabar, dan menunggu kedatangan gadis bermata hijau itu. Ia ingin menemui
Rachel. Karena Rachel kini menjadi seseorang yang cukup berarti baginya.
Pukul enam sore, saat
matahari sudah mulai terbenam, Daniel masih berdiri di bawah naungan pohon.
Tanpa ada tanda-tanda kedatangan gadis itu. Daniel berjalan berputar-putar,
sedikit merasa kesal, namun tidak benar-benar marah. Kenapa gadis itu tidak
juga datang?
Daniel mencoba menyepak
beberapa tumpukan dedaunan kering dengan sepatunya. Hingga akhirnya ia merasa
telah menedang sesuatu. Suatu benda yang rasanya cukup berat, dan terasa
menyakitkan ketika ia menendangnya. Benda itu terletak di bawah tumpukan
dedaunan kering. Daniel membungkukkan badannya, dan mencoba untuk menyingkirkan
daun-daun kering. Hingga akhirnya ia melihat…
Daniel menjerit seketika
saat melihat benda yang ada di depan kedua matanya. Benda putih kusam,
berbentuk bulat, dengan rambut-rambut kering berada di permukaannya. Warna
rambut itu terlihat sama persis dengan rambut yang selalu ia ingat dari Rachel.
Benda itu adalah sebuah tengkorak.
Terdengar derap langkah kaki
mendekat sesaat setelah Daniel menjerit. Seorang pria, yang Daniel kenal adalah
salah satu pegawai di kampus itu, datang dan berhenti seketika ketika melihat
benda yang berada di hadapan Daniel. Dengan satu helaan nafas pria itu itu
berucap,
“Astaga!”
*
Daniel masih merasakan
tubuhnya yang bergetar. Melihat ada tengkorak yang terkubur di bagian belakang
sekolahnya memang benar-benar bukan hal yang ia harapkan. Yang lebih tidak ia
harapkan lagi adalah cerita mengerikan dibalik hal itu.
“Rachel Summers.” Ucap
seorang penjaga sekolah yang sudah bekerja cukup lama di kampus itu.
“Dia adalah seorang gadis
yang dilaporkan menghilang sepuluh tahun yang lalu. Dan siapa sangka bahwa ia
dikuburkan di belakang sekolah ini?”
Daniel tidak dapat menerima
kenyataan itu. Rachel, sudah meninggal? Lalu, bagaimana dengan malam-malam yang
sudah ia lewati bersama dengan gadis itu? Bahkan gadis itu sudah dapat merubah
dirinya.
Daniel tahu, setelah
mendengar cerita lengkap dari sang penjaga sekolah, bahwa Rachel adalah seorang
gadis yang sering mendapatkan bullying dari para seniornya. Dia gadis yang
pintar. Namun karena hal itulah ia sering menjadi bulan-bulanan para senior.
Dan seperti ulah para senior itu sudah keterlaluan, dan sebagai akibatnya,
Rachel harus kehilangan nyawanya. Jenazahnya dikuburkan dibagian belakang
sekolah. Tidak ada yang pernah tahu, hingga Daniel menemukannya.
Polisi dan keluarga Rachel
datang beberapa jam setelah penemuan kerangkanya. Daniel mendapatkan berbagai
macam pertanyaan, yang sama sekali tidak mengenakkan bagi Daniel. Barulah
beberapa jam kemudian, Daniel dapat kembali ke kamarnya.
Daniel duduk di dalam
kamarnya yang gelap, termenung, dan masih tidak memeprcayai apa yang baru saja
terjadi. Ia yang melamun terkagetkan oleh dering ponselnya. Ada satu pesan
masuk ke dalam ponselnya. Daniel meraih ponselnya itu, dan lagi-lagi harus
melonjak.
Rachel. Gadis itu
mengirimkan satu pesan kepada Daniel yang berbunyi,
“Terima kasih, Daniel.”
***