Cahaya bulan masih menerangi sebagian besar dari padang
rumput dan perbukitan di Northshire. Cahaya keperakannya menyelimuti setiap
sudut, setiap tempat, dan menciptakan bayang-bayang yang sedikit meresahkan
hati di kelam dan sunyinya suasana.
Keadaan desa di Northshire
itu terlihat begitu tenang. Malam sudah begitu larut, dan kebanyakan dari para
penduduk sudah bergulat dengan mimpi di tidur mereka. Namun di salah satu
rumah, dua anak remaja belum dapat memejamkan kedua matanya mereka. Sarah dan
Tom adalah kakak beradik yang kebetulan memutuskan untuk tinggal di Northshire
selama libur musim panas mereka.
Keduanya masih tergolek
diatas tempat tidur namun dengan kedua mata terbuka lebar. Telinga mereka
menangkan tajam suara-suara khas malam hari di desa. Suara jangkrik dan
serangga lainnya membuat keadaan sedikit tentram dan damai. Namun keduanya
tetap tidak dapat menghilangkan perasaan cemas di dalam hati mereka.
“Apa akan muncul?” tanya
Sarah pada adiknya yang satu tahun lebih muda darinya. “Kau yakin makhluk itu
akan muncul?”
Tom menggelengkan kepalanya
tanda tidak tahu. Namun di dalam hati ia percaya bahwa apa yang mereka takutkan
itu akan datang. Sebenarnya, apa yang mereka bicarakan?
Ada sebuah cerita mistis
yang cukup terkenal di kawasan Northshire. Terutama di desa dimana mereka
tinggal saat itu. Dikatakan bahwa setiap malam purnama, akan ada sosok makhuk
misteris dengan badan bungku yang akan muncul di puncak bukit, yang disertai
dengan suara lolongan anjing. Banyak yang mengatakan bahwa makhluk itu adalam
makhluk penjaga perbukitan, yang keluar setiap malam purnama untuk mencari
mangsa. Malam itu belum malam purnama. Namun tidak ada yang benar-benar
menjamin bahwa makhluk itu tidak akan terlihat.
Sarah dan Tom sudah mencoba
bertanya pada paman dan bibi mereka yang sudah lama tinggal di Northshire. Dan
menurut mereka, penampakan itu memang benar-benar ada. Paman John sudah
mengatakannya sendiri. Ia melihat dengan mata kepalaya sendiri.
“Makhluk itu cukup tinggi,
namun bungkuk.” Ucap paman John sore tadi saat mereka makan malam.”
“Mungkin lebih dari 180 cm,
dan ada sesuatu di bagian depan tubuhnya, seperti cakar besar atau semacamnya.”
“Dia selalu muncul setiap
malam purnama?” tanya Tom.
“Ya.” Jawab pamansnya dengan
nada serius. “Setiap malam purnama, sosok itu akan muncul dan mengeluarkan
sebuah lolongan yang mirip anjing. Tapi kalian tidak perlu takut. Makhluk itu
kurasa tidak suka dengan manusia.”
“Apa belum pernah ada yang
menyelidiki kasus misterius ini?” tanya Sarah penuh dengan keingintahuan. “Ini
hanya cerita, ‘kan?”
“Tidak ada yang pernah
benar-benar bisa membuktikannya.” Jawab paman John. “Namun sosok itu
benar-benar ada.”
“Sudah banyak yang melihat,
kalau begitu?”
“Ya.” Jawab John. “Anehnya
si tua Willard yang tinggal dekat dengan bukit itu tidak tahu apa-apa mengenai
sosok itu. Ia berkata bahwa ia tidak pernah melihat sosok itu.”
“Si tua Willard?”
“Hanya seorang petani tua
yang hidup sendiri setelah istrinya pergi dan putrinya menghilang. Kasihan pria
itu. Seharusnya ia tidak hidup terlalu menyendiri.”
Detak jarum jam terdengar
jelas di kelamnya suasana yang hening. Kedua remaja itu masih belum dapat menutup
kedua mata mereka. Bahkan hingga jarum jam sudah menunjukkan pukul satu, mereka
masih belum mengantuk. Mereka masih penasaran dengan sosok diatas bukit itu.
Sarah mulai memejamkan
matanya ketika ia sudah mulai lelah menunggu. Namun beberapa detik kemudian ia
dikejutkan oleh sebuah suara nyaring yang datangnya dari tempat yang jauh.
Sebuah suara lolongan, seperti lolongan serigala yang membuat bulu kuduknya
berdiri. Sarah dengan cepat bangkit dan membangunkan adiknya. Keduanya lalu
sama-sama melihat keluar dari jendela, ke arah punggung perbukitan yang
disirami oleh sinar keperakan bulan. Dan saat itu juga, Sarah dan Tom hampir
tidak mempercayai apa yang mereka lihat.
Sesosok makhluk yang tinggi
kurus dengan punggung membungkuk terlihat tepat berada di puncak bukit. Hanya
terlihat seperti bayangan, dengan latar belakang langit berbintang. Dan
lolongan itu terdengar dengan begitu jelas.
“Sarah!” Tom menggenggam
erat tangan kakaknya. Mereka takut. Anehnya, mereka tidak bisa bergerak dari
tempat mereka berdiri. Hingga akhirnya sosok itu menghilang seketika, seperti
tertelan oleh gelapnya malam.
Malam itu cuaca sedang cerah
namun tidak cukup panas. Tapi keringat terlihat membasahi wajah kedua remaja
itu. Hal itu terjadi karena rasa takut mereka yang berlebihan.
“Apa kita harus membangunkan
paman John?” tanya Tom.
“Tapi sudah terlalu malam.”
Balas Sarah. “Aku tidak mau mengganggu tidurnya.”
Maka keduanya sepakat untuk
pergi tidur dan melupakan apa yang baru saja mereka lihat dan dengar. Meski
sedikit susah untuk melepaskan pemikiran mengenai hal itu, namun pada akhirnya
kedua kakak beradik itu jatuh ke dalam mimpi mereka.
**
“Kalian melihatnya?” ucap
paman John keesokan harinya dengan raut wajah kaku, dan sedikit tidak percaya.
“Kau yakin?” tanyanya lagi.
“Ya.” Jawab Sarah dan Tom
serempak. Keduanya saling pandang, lalu menjelaskan apa yang mereka lihat.
Paman John mendengarkannya dengan sungguh-sungguh. Sesekali ia mengangguk.
“Aneh.” Ucapnya kemudian.
“Tidak ada warga yang pernah mengatakan bahwa makhluk itu akan muncul selain
saat purnama. Ini benar-benar aneh.”
“Memang aneh.” Ucap Sarah
dengan nada penuh keoptimisan. “Makhluk itu kurasa bukan makhluk astral.”
“Maksudmu?”
“Makhluk itu terlihat dengan
jelas di bawah sinar bulan. Berarti tidak terlalu superstisi, ‘kan?”
Paman John tertawa lantang
mendengar penjelasan dari keponakannya itu. Ia merasa sedikit bangga, namun
khawatir dalam waktu bersamaan.
“Kami akan menyelidikinya.”
Ucap Sarah dengan nada pasti. “Kami akan ke bukit hari ini.”
“Tunggu dulu! Kalian…”
“Tidak apa-apa, paman John.”
Ucap Sarah. “Jika ada sesuatu terjadi, kami akan berteriak. Lagipula, tidak ada
yang perlu ditakutkan saat siang hari, ‘kan?”
Paman John hanya dapat
mendesah pasrah. Ia tahu bahwa ia tidak akan bisa mencegah keinginan gadis itu.
“Tapi kuperingatkan satu hal
pada kalian.” Ucapnya. “Berhati-hatilah jika bertemu si tua Willard!”
“Kenapa dengannya?” tanya
Sarah. “Dia berbahaya?”
“Dia hanya tidak begitu
ramah. Itu saja.”
“Kami akan berhati-hati.”
Ucap Sarah dengan penuh kepercayaan. Wajahnya terlihat cerah, penuh dengan
semangat.
Kedua remaja itu seegra
beranjak dari rumah begitu mereka menyelesaikan sarapan mereka. Sinar matahari
pagi yang cerah menyiram tubuh keduanya, saat mereka bergerak perlahan
menyusuri jalan desa diantara barisan bukit-bukit.
Bukit bermasalah itu dapat
dengan jelas terlihat. Untuk sesaat, keduanya ragu untuk naik ke atas bukit
itu. Bagaimana jika ada yang melihat mereka dan melarang mereka? Semua penduduk
desa itu sudah termakan oleh ketakutan akibat dari sosok misterius yang
menghuni bukit itu.
“Tidak apa-apa. Ayo!”
Sarah bergerak mendahului
adiknya. Ia melompati sebuah pagar rendah, dan mulai bergerak menaiki bukit
berumput yang sebenarnya tidak begitu terjal itu. Lima menit kemudian, keduanya
sudah berdiri di punggung bukit. Dan dari sana mereka dapat melihat hamparan
ladang dan perumahan penduduk. Rumah yang mereka tempati pun terlihat dari sana.
“Lalu apa yang harus kita
lakukan?” tanya Tom. Ia bergerak bersama dengan kakaknya menyusuri punggung
bukit itu namun tidak menemukan satu hal aneh sekalipun.
“Aku juga tidak tahu.”
Balasa Sarah. Ia sapukan pandangannya ke setiap sudut, mencari, dan ia temukan
rupa sebuah rumah di kejauhan yang letaknya terpisah dari deretan rumah warga.
Rumah siapa itu?
Sarah kemudian teringat
dengan ucapan paman John mengenai sosok si tua Willard, yang katanya tinggal
menyendiri. Mungkin ia rumah pria tua itu.
Perhatian Sarah terebut saat
ia mendengar teriakan adiknya. Sarah bergerak cepat menghapiri Tom yang berdiri
beberapa meter darinya.
“Ada apa?” tanyanya. Tom
hanya menggunakan jari telunjuknya untuk mengatakan maksud dari teriakannya
tadi.
Sarah melihat ada dua batu
besar berada di punggung bukit itu, yang ditata rapi, dikelilingi dengan
batu-batu kecil seukuran bola tenis. Terdapat beberapa tangkai bunga di tempat
itu, dan tanahnya sedikit basah.
“Seperti sebuah tanda.” Ucap
Sarah. Ia bergerak mendekat ke arah batu-batuan itu, dan mengulurkan tangannya.
Namun tiba-tiba saja…
“Apa yang kalian lakukan?”
Sarah dan Tom secara reflek
memutar tubuh mereka ke arah datangnya suara serak itu. Dan di depan kedua mata
mereka, sesosok pria tua dengan rambut putih menatap mereka melalui mata tajam
seperti elang itu. Ia kelihatannya marah.
“Maaf!” ucap Sarah secara
spontan.
“Kalian tidak boleh berada
di bukit ini!” teriak pria tua itu. “Kalian, dan para penduduk. Apa kalian
belum mendengar cerita itu?”
“Ya. Kami…”
“Tidak usah berkata apa-apa
lagi!” ucap pria tua itu. “Aku ingin kalian turun sekarang juga, dan jangan
pernah kembali!”
Sarah dan Tom tidak punya
pilihan lain. Keduanya segera bergerak menuruni bukit, dan baru sadar sesaat
ketika mereka melompati pagar. Pria yang mereka lihat barusan adalah si tua
Willard. Seperti kata paman John, pria itu memang tidak ramah.
“Kita tidak menemukan
apapun.” Ucap Tom sedikit kecewa. “Dan karena tanahnya kering, tidak ada jejak
sedikitpun.”
“Tapi susunan batu itu
terlihat sedikit aneh, ‘kan?” ucap
Sarah. “Ada sebuah maksud dari tumpukan batu itu.”
“Oh, ya?”
“Aku tidak yakin.” Ucap
Sarah. “Mungkin.”
Ketika keduanya pulang,
mereka menanyakan mengenai susunan batu itu pada paman John. Namun paman mereka
itu tidak tahu mengenai adanya tumpukan batu. Dan ia menjadi sedikit tertarik
dengan cerita keduanya.
“Tepat saat kami melihatnya,
pria itu datang.”
“Maksudmu Willard?”
“Ya.” Jawab Sarah. “Dan dia
memang tidak ramah. Ia membentak kami dan menyuruh kami turun.”
“Dan ia memepringatkan kami.”
Tambah Tom.
Tidak ada lagi yang dapat
dilakukan oleh kedua remaja itu. Mereka menghabiskan hari mereka di kamar,
memikirkan segala kemungkinan dari kemisteriusan sosok di atas bukit itu. Namun
pada akhirnya, mereka sama sekali tidak mendapatkan jawaban.
Malam kembali tiba. Jarum
jam bergerak cepat, dan tanpa keduanya sadari, hari sudah mencapai tengah
malam. Keadaan menjadi sepi lagi. Paman John dan istrinya mungkin sudah tidur.
Tapi tidak dengan mereka.
Sarah dan Tom melirik ke
arah jam yang ada di atas meja. Jarumnya menunjukkan pukul dua belas malam.
Akankah sosok itu muncul lagi?
Sarah dan Tom belum terlepas
dari dugaan mereka saat tiba-tiba saja terdengar suara lolongan anjing yang
meresahkan hati. Keduanya melompat seketika dari tempat tidur mereka dan
bergerak ke arah jendela. Dari sana dapat mereka lihat dengan jelas, sosok
tinggi dan bungkuk itu bergerak menyusuri punggung bukit. Sosok itu terlihat
seperti tengah menengadahkan wajahnya ke langit, dan lolongan anjing itu
terdengar dengan nyaring.
“Muncul lagi!” ucap Tom.
Rasa takut mulai merayapi tubuhnya.
“Sosok diatas bukit.”
**
Sarah dan Tom tidak
mengatakan apapun mengenai kejadian semalam pada paman John keesokan harinya.
Keduanya bungkam, dan seolah tidak mendengarkan apa-apa semalam. Tapi, apakah
paman John tidak mendengarkannya?
Paman John terlihat tenang
pagi itu. Duduk di meja makan sambil membaca koran, sementara bibi ada di
dapur. Sarah dan Tom saling lirik. Apa yang harus mereka lakukan?
Seharian itu keduanya
menghabiskan waktu di kamar sambil menerka-nerka sosok apa yang sebenarnya ada
diatas bukit itu. Jawabannya tidak mereka ketahui. Dan tiba-tiba saja, Sarah
mendapatkan ide yang cukup gila.
“Apa?!” Tom hampir tidak
mempercayai apa yang Sarah katakan.
“Kau…” lanjutnya. “Kau mau
pergi ke atas bukit malam nanti? Kau gila? Bagaimana jika…, malam nanti adalah
malam purnama!”
“Itu dia!” seru Sarah. “Kita
akan membongkar misteri ini. Kurasa tidak ada yang namanya hantu atau monster.
Segala hal memiliki penjelasan yang rasional.”
Tom tidak dapat lagi
membantah ucapan kakaknya. Sarah memang terkenal sebagai gadis pemberani dan
berjiwa petualang. Tidak sama seperti Tom. Tapi, dia juga tidak mau ditinggal
sendiri di kamar. Ia menyetujui ajakan kakaknya untuk menghampiri bukit itu.
Malam pun tiba. Paman John
dan bibi sudah pergi tidur, saat jarum jam menunjukkan pukul sebelas malam.
Sarah dan Tom berpura-pura tidur awal. Mereka segera memakai jaket mereka saat
malam sudah begitu larut.
“Kau siap?” tanya Sarah pada
Tom. Tom terlihat mengigil. Mungkin dia merasa sedikit takut.
“Aku gugup.” Ucap Tom.
“Bagaimana jika sesuatu yang buruk terjadi pada kita?”
“Kita masih memiliki mulut,
‘kan?” Balas Sarah. “Kita berteriak sekencang mungkin.”
Ide yang lumayan. Namun
keduanya tidak tahu apakah hal itu akan berhasil atau tidak. Mereka tidak
memikirkan hal lain selain sosok misterius itu.
Dalam sepuluh menit,
keduanya sudah berada di luar rumah, berada di hamparan rumput yang luas, yang
berwarna keperakan karena tersiram cahaya bulan yang bersinar terang seperti
matahari. Keduanya bergerak menyusuri jalanan desa, lalu mengarah pada tempat
dimana mereka naik ke atas bukit kemarin.
Sarah dan Tom nyaris tidak
memerlukan senter mereka sebab segalanya bersinar malam itu. Mereka dapat
melihat dengan jelas wajah masing-masing.
“Kita…” ucap Tom. “Apa yang
akan kita lakukan?”
“Kita akan menunggu.” Ucap
Sarah. “Kita tunggu sosok itu muncul, dan kita akan menyergapnya.”
“Bagaimana caranya?”
Sarah terdiam. Ia tidak mau
mengatakan rencananya pada Tom sebab mungkin Tom akan tidak setuju. Ia memimpin
petualangan malam hari itu. Mereka bergerak menaiki bukit bermasalah itu, lalu
mengarah ke tumpukan batu yang mereka lihat sebelumnya.
“Sosok itu akan muncul di
sekitar tempat ini.”
“Bagaimana kau tahu?” tanya
Tom.
“Aku tahu.”
Sarah kemudian menarik
lengan adiknya dan bergerak beberapa meter menuruni bukit, lalu bersembunyi
dibalik gundukan tanah yang dapat menyembunyikan tubuh mereka dari puncak
bukit. Puncak bukti itu dapat terlihat dengan jelas oleh kedua mata mereka.
Menit-menit berlalu. Di
tengah udara dingin, keduanya mencoba bertahan dan melihat apakah sosok itu
akan muncul lagi atau tidak. Dan tepat ketika mereka merasa ragu, terdengarlah
suara lolongan anjing itu.
“Dia datang!”
Sosok tinggi dan sedikit
bungkuk itu akhirnya nampak di puncak bukit. Bayangan itu bergerak perlahan di
sepanjang punggung bukit, mengarah pada dua batu yang ada di ujung. Sosok itu
berhenti beberapa kali, namun tetap bergerak beberapa detik kemudian. Namun
ketika sosok itu berhenti tepat di depan tumpukan batu, sosok itu berdiri diam.
Sarah dan Tom dapat melihat dengan jelas, saat wajah dari sosok itu menatap
mereka. Dengan tatapan murka, dan geraman anjing pun terdengar seketika.
**
Tom berteriak seketika. Ia
kira bahwa nyawanya akan berakhir begitu sosok itu melihatnya. Spontan ia ingin
lari. Namun tangan sarah memegang lengannya.
“Tidak ada yang perlu
ditakutkan.” Ucap Sarah dengan suara lantang. Ia kemudian berdiri dari tempat
persembunyiannya, dan memandang lurus ke arah bayangan tinggi di atas bukit,
yang masih berdiri tegak itu.
“Sudah kuduga.” Lanjutnya.
“Sosok itu memang hanyalah ketakutan yang berlebihan.”
“Apa yang kau bicarakan?
Siapa sosok itu?” tanya Tom cepat.
Seketika, cahaya senter
menyala dari tangan Sarah, mengarah pada sosok yang berdiri diatas bukit itu.
Dan terlihat jelas, raut wajah pucat, penuh dengan kerutan dan sepasang mata
seperti elang. Pria tua itu terlihat sedikit murka dengan apa yang terjadi.
“Si tua Willard.”
Tom memandang dengan tidak
percaya dengan apa yang ia lihat. Sosok itu memang benar-benar Willard, yang
bertemu dengannya kemarin di bukit itu. Tapi Tom masih tidak mengerti dengan
kenyataan sebenarnya.
“Sosok yang dilihat oleh
warga setiap malam itu adalah Anda, benar ‘kan, Tn. Willard?” ucap Sarah.
“Kenapa?”
“Aku tidak tahu kenapa.”
Jawab Sarah atas pertanyaan adiknya. “Tapi kurasa ada hubungannya dengan dua
batu itu. Yang dapat kukatakan, mungkin, sebuah simbol. Atau memang ada sesuatu
disana. Sebuah makam, ‘mungkin?”
“Apa?!”
Willard masih berdiri tegak.
Di tangannya terlihat ada sebuah tali, yang mengarah pada satu sosok besar yang
duduk di sampingnya. Seekor anjing besar berwarna coklat, yang tidak mau
berhenti melolong.
“Lolongan itu bukan berasal
dari Willard, namun dari anjingnya itu.” Ucap Sarah. “Aku tidak tahu alasannya
kenapa Anda berjalan malam-malam di bawah cahaya bulan di bukit ini, Tn.
Willard. Anda mau menjelaskannya?”
Si tua Willard kemudian
tertawa kecil. Ia tersenyum ke arah dua remaja itu, dan menatap mereka, bukan
dengan tatapan menakutkan lagi. Namun ada perasaan senang di dalam sorot
matanya.
“Aku akan menceritakannya.”
Ucap Willard. “Jika itu yang kalian mau.”
**
Tom duduk di ujung tempat
tidur Sarah, dan masih belum bisa mempercayai kejadian yang baru saja ia
rasakan. Dua jam telah berlalu, namun ia masih dapat merasakan kengerian saat
sosok itu muncul.
“Dua batu itu…” ucap Sarah.
“Adalah makan putrinya yang tiba-tiba jatuh sakit dan meninggal. Alasan kenapa
Willard menguburkannya disana, karena putrinya itu memang suka dengan bukit
itu.”
“Dan alasan kenapa Willard
selalu pergi ke makan itu? Lalu kenapa saat malam purnama?”
“Karena putrinya menyukuai
langit di malam purnama.” Ucap Sarah. “Si tua Willard selalu pergi ke bukit itu
setiap malam purnama untuk menemani putrinya. Sekaligus melakukan perawatan
terhadap makam itu. Kenapa ia menyembunyikannya dari warga, kurasa ia hanya
tidak mau makam putrinya diketahui.”
“Karena jika sampai
ketahuan, dia akan dipaksa untuk memindahkan makamnya, ‘kan?”
“Ya.” Jawab Sarah. “Kurasa
yang memulai rumor mengenai sosok misterius itu juga si tua Willard. Ia
berusaha menakuti warga agar tidak naik ke bukit itu dan mengganggu makam
putrinya. Satu hal bagus, yang tidak dijalankan dengan bagus.”
“Sosok itu menjadi nyata
karena ketakutan warga.” Ucap Tom. Ia akhirnya dapat mengerti apa yang
sebenarnya terjadi di desa itu.
“Apa kau akan
menceritakannya pada paman John mengenai hal ini?” tanya Tom beberapa detik
kemudian.
Sarah berpikir mengenai hal
itu. Ia baru saja memecahkan sebuah misteri. Haruskah ia berbangga akan hal
itu? Bagaimana dengan pria tua itu?
“Kurasa tidak.” Jawab Sarah
sambil tersenyum. “Biar segalanya berjalan sebagaimana mestinya. Willard sangat
menyayangi putrinya. Bahkan hingga putrinya meninggal. Kurasa, aku akan
membiarkannya saja.”
“Aku tidak tahu apakah ini
keputusan yang baik atau buruk.”
“Paling tidak…” ucap Sarah.
“…kita berhasil belajar satu hal.”
“Apa itu?”
“Bahwa segala sesuatunya
memiliki penalaran yang cukup rasional.”
****