Trevor Beck merupakan seorang petani biasa, dengan kehidupan yang
biasa-biasa saja. Namun sebuah keganjilan yang terjadi beberapa bulan yang lalu
membuat Trevor berpikir bahwa, mungkin kehidupannya sebagai petani tidak
membosankan seperti apa yang sering orang-orang bicarakan. Bahkan ia dapat
berkata, ia senang kini menjadi seorang petani.
Trevor tinggal di desa
Lenchister, Boulder, yang terletak di dalam kawasan Northshire. Ia memiliki
sebuah ladang jagung yang cukup luas, yang bahkan sudah terkenal sebagai penyuplai
terbanyak kota tersebut. Trevor, pada awalnya, menganggap bahwa kegiatan
bertani bukanlah untuknya. Ia selalu memiliki impian lain. Namun karena warisan
dari keluarganya, ia harus mengurus ladang jagung yang cukup luas itu. Dan ia
tidak memiliki pilihan lain.
Ia tinggal bersama dengan
istrinya Matilda, dan memiliki dua orang anak remaja yang saat ini sedang
berkuliah di Boulder University. Kegiatan Trevor setiap harinya selalu sama. Ia
bangun di pagi hari, memeriksa ternak-ternaknya yang berada di kandang samping
rumah, lalu sarapan di dapur sambil membaca koran, dan sisa hari ia lakukan
dengan memeriksa ladang jagungnya. Tidak ada yang pernah berubah dari kegiatan
kesehariannya itu. Hingga suatu kala…, suatu hal terjadi.
Hari itu merupakan sebuah
hari di pertengahan tahun yang panas. Langit tiba-tiba saja menghitam dengan
cepat saat Trevor masih mengurus jagungnya di ladang. Hujan tiba-tiba saja
turun. Memaksa Trevor untuk segera kembali ke truknya dan bergerak kembali ke
rumah. Namun di persimpangan jalan yang terletak tak jauh dari rumahnya, ia
melihat sesosok gadis dalam balutan kaos hitam tengah berdiri di tepi jalan, di
tengah hujan, tanpa payung. Rambut hitam gadis itu terlihat basah kuyup,
menutupi wajahnya yang terlihat putih pucat. Trevor yang merasa penasaran
menghentikan truknya tepat di depan gadis itu. Gadis itu hanya mengangkat
wajahnya sedikit, lalu tersenyum.
“Apa yang kau lakukan di
tengah hujan seperti ini?” tanya Trevor. “Kau bisa sakit.”
“Aku sedang menunggu
seseorang.” Jawab gadis muda itu.
“Rumahku ada disekitar sini.
Kau mau mampir sambil menunggu? Aku memiliki baju gantiku untukmu.”
“Tidak usah.” Balas gadis
itu. “Temanku sebentar lagi akan datang. Terima kasih sudah menawari.”
Trevor tidak memiliki
pilihan lain selain bergerak meninggalkan gadis itu di tengah hujan. Meski
begitu, Trevor tidak dapat menghilangkan bayang-bayang gadis itu dari dalam
kepalanya. Entah apa yang salah. Apakah karena kenyataan agdis itu berdiri di
hujan? Atau karena alasan lain? Trevor pergi tidur malam itu dengan banyak
pertanyaan masih memenuhi kepalanya.
Keesokan harinya, Trevor
tiba-tiba saja teringat kembali dengan gadis yang berdiri di tengah hujan itu.
Karena ia tidak bisa menyimpannya sendiri, maka ia mencertakan hal itu pada
Matilda.
“Apanya yang aneh?” balas
Matilda. “Dia hanya gadis yang sedang menunggu temannya. Mungkin dia tidak
mengira akan hujan, dan tidak membawa payung.”
“Tapi aneh.” Balas Trevor.
“Aku merasa aneh saja. Ia basah kuyup, seolah ia sudah berdiri terlalu lama
disana. Dan pertanyaan lainnya, darimana sebenarnya gadis itu? Perempatan itu
jauh dari kawasan penduduk. Tidak mungkin dia bisa ada disana tanpa alasan, ‘kan?”
“Trevor!” ucap Matilda
sambil mendesah. Wanita itu seketika melupakan panci masakannya dan memandang
serius ke arah suaminya itu.
“Kau tidak perlu
memikirkannya.” Ucap wanita itu. “Yang perlu kau lakukan kini adalah apa yang
akan kau perbuat pada salah satu kudamu yang sakit itu?”
“Benar.” Jawab Trevor seraya
berdiri dari kursi yang ia duduki.
Dari pagi hingga siang hari
itu, Trevor sibuk di kandang mengurus kudanya yang entah kenapa tiba-tiba sakit
itu. Ia sadari pula bahwa gerak-gerik dari ternaknya yang lain tidak normal.
Sapi-sapi tidak berhenti melenguh, dan kuda-kuda lain yang masihs ehat terus
menghentak-hentakkan kakinya. Kambing terus mengembek, dan para angsa terlihat
tidak bisa diam. Seolah hewan-hewan itu ingin mengatakan sesuatu pada Trevor.
“Ada yang tidak beres dengan
hewan kita.” Ucap Trevor saat kembali ke dalam rumah. “Sebaiknya aku
mengunjungi dr. Stevenson. Aku ingin bertanya soal tingkah aneh ternak-ternah
ini.”
“Ke Boulder?”
“Ya.” Jawab Trevor.
Kota Boulder hanyalah sebuah
kota kecil yang terletak tak jauh dari peternakan dan pertanian Trevor. Trevor
berhasil menemui dokter hewan Stevenson, namun Trevor tidak mendapatkan jawaban
yang ia mau. Hewan-hewannya sepertinya tidak mengidap penyakit apapun. Lalu
kenapa?
Langit tiba-tiba kembali
menghitam saat Trevor keluar dari rumah dr. Stevenson. Hujan lagi, dan begitu
deras. Petir beberapa kali menyambar, dan angin bertiup dengan begitu kencang.
Bahkan sudah dapat dikatakan sebagai badai.
Trevor mengendarai truknya
dengan hati-hati di tengah guayaran hujan deras itu. Jalanan terlihat buram dan
tidak jelas. Namun ketika Trevor akan berbelok di perempatan yang mengarah ke
rumahnya, ia melihat kembali gadis itu. Gadis yang sama, dalam balutan kaos
hitam yang sama. Berdiri di posisi yang sama, di tengah hujan deras. Trevor,
tanpa sadar, mengehentikan kembali truknya tepat di depan gadis itu.
“Kau lagi.” ucap Trevor
setelah membuka kaca jendela mobilnya. Sedikit air masuk ke dalam kabin, namun
Trevor tidak mempedulikannya. Gadis itu kembali melepas satu senyum tipis.
“Apa yang sebenarnya kau
lakukan?” tanya Trevor mengutarakan rasa penasarannya. Karena ia berpikir
tingkah gadis itu sudah tergolong aneh dan tidak wajar.
“Aku menunggu temanku.”
Jawab gadis itu. Jawaban yang sama seperti yang terucap sehari sebelumnya. Yang
membuat Trevor semakin menekuk alisnya.
“Temanmu sepertinya bukan
teman yang baik, meninggalkanmu dalam hujan seperti ini.”
“Dia mungkin hanya
terlambat.” Ucap gadis itu. “Kurasa dia akan datang sebentar lagi.”
“Kau yakin?” tanya Trevor.
“Mampir ke rumahku! Kau bisa menggunakan telepon untuk…”
“Tidak apa-apa.” Potong
gadis itu. “Terima kasih.”
Sekali lagi, Trevor
meninggalkan gadis itu berdiri dalam hujan deras. Dan Trevor, kembali masuk ke
rumah dengan berjuta pertanyaan soal gadis misterius yang berdiri di tengah
hujan itu.
“Gadis itu lagi?” ucap
Matilda tidak percaya. “Kenapa? Kenapa dengan gadis itu? Kenapa dia selalu
berdiri disana, saat hujan?”
“Bukankah itu pertanyaan
yang kutanyakan pagi tadi?” balas Trevor sambil mencicip kopi panas. Hujan
masih belum berhenti.
“Jika kejadian ini
berlanjut,” lanjutnya. “Mungkin kita harus memanggil polisi. Sikap gadis itu
sudah terbilang aneh.”
“Tapi dia tidak melakukan
apapun.”
“Aku tahu.” Balas Trevor.
“Tapi firasatku mengatakan hal lain.”
Keesokan harinya merupakan
hari Sabtu, dimana seperti biasa, dua anak Trevor pulang kembali ke rumah.
Mereka adalah Adam dan Tracy, kakak adik yang hanya berjarak dua tahun. Mereka
sama-sama bersekolah di Boulder University.
“Kau tidak melihat ada yang
aneh saat kemari?” tanya Trevor pada putranya sulungnya, Adam. “Di perempatan,
dekat ladang jagung?”
“Tidak.” Jawab Adam.
“Memangnya ada apa?”
“Bukan apa-apa.” Ucap
Trevor. “Tidak perlu kau pikirkan.”
Pemikiran Trevor mengenai
gadis misterius itu terpecah saat ia mendengar suara gonggongan anjing. Pintu
depan tiba-tiba saja terbuka, dan seorang gadis berambut pirang bergerak masuk
sambil membawa seekor anjing berwarna hitam dan coklat. Anjing itu adalah
anjing Tracy, yang biasanya ditipkan di tempat penitipan hewan saat Tracy
kuliah. Dan setiap akhir pekan, Tracy selalu membawa anjing itu kembali ke
rumah.
“Halo Pollie!” ucap Trevor.
Anjing itu, Pollie, langsung mengibas-ibaskan ekornya sambil menjilati tangan
tuannya.
“Hai, ayah! Kau sudah baca
berita hari ini?” tanya Adam seketika sambil mengangkat koran yang ada di
tangannya.
“Berita bagus?”
“Mayor Larsen ingin maju
lagi dalam pemilihan tahun depan.”
“Oh, ya?” balas Trevor.
“Boleh pinjam?”
Trevor membentangkan koran
di tangannya, dan membaca headline hari itu yang memang berkutat pada masalah
kampanye calon-calon mayor Boulder. Lalu ada beberapa artikel kecil lainya yang
tidak begitu penting, dan secara tak sengaja Trevor menemukan sebuah berita
kecil yang menarik di halaman dua. Sebuah berita yang membuat kedua matanya
terbelalak.
“INI DIA!” seru Trevor tanpa
sadar. Perhatian istri dan kedua anaknya segera terarah padanya.
“Ada apa, Ayah?” tanya
Tracy.
Trevor segera membentangkan
koran yang ia pegang di atas meja. Perhatian semua orang yang ada di tempat itu
segera saja terfokus pada artikel kecil yang dimuat di dalam koran itu. Sebuah
artikel yang berjudul,
MAHASISWI MENGHILANG.
Mahasiswi yang disebutkan di
dalam artikel itu memiliki ciri-ciri yang begitu mirip dengan gadis yang sellau
Trevor temui di persimpangan jalan itu. Berambut hitam sebahu, terlihat
terakhir kali memakai kaos hitam lengan panjang, dengan tinggi sekitar 170 cm.
Nama gadis yang menghilang itu adalah Cassandra Lowe, berusia 22 tahun yang
tinggal di sebuah kamar asrama dekat dengan Boulder University, dimana gadis
itu kuliah. Cassandra terakhir kali terlihat tanggal 12. Tepat di saat Trevor
melihat gadis itu untuk yang pertama kalinya.
“Kau yakin, Ayah?” tanya
Adam. “Maksudku…, apa benar memang Cassandra ini yang kau lihat? Mungkin hanya
memiliki ciri-ciri yang sama dengan…”
“Terlalu pas untuk sebuah
kebetulan.” Potong Trevor. “Gadis itu memiliki ciri-ciri persis dengan apa yang
ditulis disini. Dan tanggal 12, adalah hari pertama aku melihat gadis itu.”
“Dan kemarin kau melihatnya
lagi?”
“Ya.” Jawab Trevor. “Di
tempat yang sama.”
“Berarti dia saat ini berada
di kawasan kita ini?” tanya Matilda. “Trevor! Apa yang harus kita lakukan?
Gadis itu mungkin butuh pertolongan kita.”
“Apa mungkin dia tersesat?”
tanya Tracy. “Tapi rasanya mustahil, ‘kan? Kota Boulder hanya berjarak lima
kilo dari pertanian ini. Dan apa yang ia lakukan di tengah area ladang?”
“Dia berkata, temannya akan
menjemputnya.” Ucap Trevor. “Paling tidak itu yang ia katakan.”
“Lalu sekarang bagaimanaya?”
Trevor bangkit dari kursi
yang ia duduki, lalu bergerak ke arah jendela. Langit di sebelah barat mulai
menghitam, dan mungkin sore nanti akan turun hujan lagi. Jika Trevor ingin
menemukan gadis itu, mungkin saat ini adalah waktu yang tepat.
“Adam, bantu aku!” ucap
Trevor seraya bergerak meraih jaketnya. “Bawa Pollie! Dia mungkin bisa
membantu.”
Dalam sekejap, Trevor dan
Adam sudah berada di perempatan dimana gadis itu terlihat sebelumnya. Namun
sejauh mana mereka mencari, mereka tetap tidak menemukan keberadaan gadis
berkaos hitam itu. Bahkan tidak ada tanda-tanda sama sekali.
“Terlalu aneh untuk gadis
muda berdiri di tengah ladang seperti ini.” Ucap Adam. “Kurasa memang ada yang
tidak beres.”
“Dia juga bersekolah di
Boulder University. Kau tidak mengenalnya?”
“Ada ribuan murid disana.”
jawab Adam. “Tentu aku tidak mengenal semuanya.”
Setelah lelah mencari dan
tidak menemukan apapun, Trevor dan Adam kembali ke rumah. Langit hitam mulai
membuung tinggi, siap untuk mengguyur kawasan itu.
“Sebaiknya aku melaporkannya
pada polisi.” Ucap Trevor.
Malam harinya, hujan turun
dengan deras. Jarum jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam namun Trevor
masih belum bisa tidur. Ia masih memikirkan soal gadis yang ditemuinya di
tengah hujan itu. Apakah benar gadis itu adalah Cassandra? Dan kenapa Cassandra
ada di tengah pertanian seperti ini? Apakah ia mencoba lari dari sesuatu?
Sesuatu yang mengancam nyawanya?
John yang mulai merasakan
matanya berat lambat laun terserap ke dalam alam mimpi. Namun baru satu menit,
ia bangkit ke posisi duduk dengan seketika saat ia mendengar gonggongan Pollie
dari lantai bawah. Tidak biasnaya Pollie bersuara di malam hari. Ada yang tidak
beres.
Trevor memutuskan untuk
tidak membangunkan Matilda yang sedang tertidur pulas. Setelah meraih jaket, ia
bergerak turun ke lantai satu, dimana ia menemukan pollie sudah berdiri di
pintu depan dan terus menggonggong tidak tenang.
“Ada apa, Pollie?” tanya
Trevor. “Ada yang tidak beres?”
Pollie terus
menggeruk-garukkan kaki depannya pada pintu, seolah ingin dibukakan pintu.
Trevor menuruti permintaan anjingnya itu. Pollie langsung berlari ke halaman,
di tengah hujan, begitu pintu dibukakkan. Namun gonggongan anjing itu tidak
berhenti. Pollie berlari ke sana-kemari. Trevor sadar bahwa Pollie meminta
dirinya untuk mengikuti anjing itu.
Trevor dengan segera meraih
jas hujan dan senter dari dapur, lalu seketika keluar dair rumah. Hujan masih
mengguyur dengan deras, dan kawasan pertanian seperti itu di malam hari
terlihat begitu gelap, apalagi di tengah badai. Perlahan, Trevor mengikuti
Pollie yang bergerak menyusuri jalan keluar dari area pertanian. Dan anehnya,
Pollie mengarah pada perempatan yang bermasalah itu.
“Apa yang ingin kau
tunjukkan, Pollie?” gumam Trevor sambil menyorotkan senternya ke setiap tempat.
Dan beberapa saat kemudian, barulah Trevor tahu apa yang Pollie inginkan.
Di kejauhan, Trevor dapat
melihat sosok gadis berkaos hitam itu, yang lagi-lagi berdiri di perempatan, di
bawah tiang lampu. Ini adalah kesempatan Trevor untuk menolong gadis itu.
“Trevor segera berlari ke
arah gadis itu. Namun sebelum ia sampai, gadis itu mulai bergerak menjauh dari
area lampu.
“TUNGGU! KAU!” Trevor
berteriak. Namun suaranya sia-sia saja di tengah guyuran hujan yang lebat itu.
“Kejar gadis itu, Pollie!”
seru Trevor sambil terus berlari. Pollie bergerak di depan, mengikuti kemana
arah perginya gadis itu. Akan tetapi…
Trevor menghentikan
langkahnya seketika saat ia mencaai sebuah jalan buntu. Ya. Jalan buntu. Gadis
itu mengarah langsung pada ladang jagung. Tidak ada jalan lain. Dan gadis itu
telah hilang.
Trevor tidak begitu saja
menyerah. Ia berteriak, berseru mencoba untuk memanggil gadis itu keluar. Ia
berpikir, mungkin gadis itu bersembunyi diantara tanaman jagung. Tapi…, Trevor
tidak menemukannya.
Pollie pun sepertinya sudah
menyerah. Ia sudah berhenti mengonggong. Hujan yang deras masih mengguyur.
Langit hitam, di tengah kawasan pertanian yang gelap. Gadis itu menghilang
tanpa jejak.
“Mustahil!” seru Adam
keesokan harinya saat Trevor menceritakan kejadian semalam. “Kau benar-benar
melihatnya? Kau tidak berteriak memintanya untuk berhenti?”
“Tentu aku sudah melakukan
hal itu.” Ucap Trevor. “Tapi seperti kataku, gadis itu aneh. Seolah ia sudah
tidak memiliki emosi lagi di dalam dirinya, dan yang tersisa hanya senyuman
tipis itu. Seolah bagian dalam dirinya sudah mati.”
“Kenapa kau berkata seperti
itu?”
“Apakah orang normal akan
terus berdiri di tempat yang sama selama beberapa hari, di tengah hujan?”
Tidak ada yang
mempertanyakan ucapan Trevor itu. Sebab memang betul, tingkah laku yang
ditunjukkan oleh gadis itu sudah tidak wajar. Dan kenyataan bahwa Trevor
melihatnya berkali-kali, semakin menunjukkan bahwa keadaannya tidak beres.
“Biarkan Pollie di rumah
selama seminggu.” Ucap Trevor kemudian. “Mungkin ia bisa membantuku menemukan gadis
itu lagi.”
Adam dan Tracy kembali ke
Boulder di hari Senin. Trevor hari itu tidak melakukan kegiatan seperti
biasanya. Ia merasa terlalu khawatir dengan gadis berkaos hitam itu. Apakah
betul ia Cassandra Lowe yang menghilang itu?
Trevor, bersama dengan
Pollie kembali ke perempatan jalan yang bermasalah itu. Trevor memeriksa segala
tempat, segala permukaan tanah, ada kemungkinan benda dari gadis itu ada yang
terjatuh, yang bisa ia gunakan sebagai petunjuk. Namun nyatanya tidak ada.
Hingga matahri meninggi, Trevor tidak menemukan satupun petunjuk. Ia akhirnya
pulang tanpa hasil.
“Sampai kapan kau akan terus
memikirkan soal gadis itu?” tanya Matilda. “Mungkin dia kabur dengan pacarnya,
atau temannya ke suatu tempat.”
“Tapi kenapa dia selalu
muncul di tempat itu?” balas Trevor. “Aku tahu hal ini memang aneh, dan…, ya.
Memang bukan urusanku. Tapi aku merasa tidak akan tenang sebelum menemukan
kenyataan mengenai menghilangnya Cassandra. Aku seolah ikut terlibat dalam hal
ini.”
Hujan kembali mengguyur sore
itu, hingga malam. Pukul sepuluh malam, Matilda sudah tidur. Tapi Trevor masih
duduk termenung di meja dapur sambil menikmati secangkir kopi. Pollie tidur di
sebelahnya. Trevor masih menunggu, seandainya saja Pollie bangkit lagi seperti
malam sebelumnya. Hal itu pun terasa begitu aneh bagi Trevor. Kenapa Pollie
yang berada di dalam rumah bisa tahu keberadaan gadis itu di perempatan jalan?
Trevor hendak menyicip
kembali kopinya, saat tiba-tiba saja ia bangkit berdiri dari kursi yang ia
duduki. Telinganya baru saja menangkap tajam sebuah suara di kejauhan, yang
terdengar seperti teriakan seorang gadis. Sepertinya bukan hanya Trevor saja
yang mendengar. Pollie pun bangkit dan mulai mengarah ke pintu.
“Ayo, Pollie!” seru Trevor
seraya meraih senter dan berlari ke tengah hujan tanpa mempedulikan jas hujan.
Dengan cepat, Trevor mengarahkan kakinya ke arah perempatan yang bermasalah
itu. Dan tiba-tiba saja ia melihat sosok gadis itu berlari menuju ladang
jagung. Dan Trevor mendengar kembali teriakan itu.
“Pollie, kejar gadis itu!”
Trevor mengejar gerak Pollie
hingga perempatan jalan. Namun mereka sudah kehilangan jejak gadis itu. Trevor
menyorotkan senternya ke segala arah, mencoba mencari. Namun ia tidak menemukan
apapun.
Satu hal aneh yang Trevor
sadari kemudian adalah, tidak adanya jejak kaki seorangpun di perempatan jalan
yang basah itu. Yang ada hanya jejak kakinya dan kaki Pollie. Untuk sesaat,
pikiran Trevor terpenuhi dengan hal itu. Namun sedetik kemudian…
“TOLONG!!”
Trevor seketika memutar
tubuhnya ke arah teriakan, yang asalnya dari dalam ladang jagung. Pollie, tanpa
disuruh, langsung berlari menerobos tanaman jagung, diikuti oleh Trevor.
Trevor sudah tidak tahu
seberapa jauh ia masuk ke dalam formasi tanaman jagung itu. Namun sedetik
kemudin, ia seketika menghentikan langkahnya. Kedua matanya terbelalak melaihat
apa yang ada di depan matanya. Senter yang ia pegang nyaris terjatuh dari
tangannya saat ia melihat benda yang mengejutkan itu, yang tergeletak di
tengah-tengah ladang jagung. Yang Trevor temukan adalah, mayat Cassandra Lowe
yang sudah membusuk.
*
Malam itu menjadi malam yang
begitu berat bagi Trevor. Setelah ia menemukan jenasah gadis itu, ia kembali ke
rumah dan menghubungi polisi. Polisi pun datang tidak lama kemudian, dan
jenasah Cassandra diambil dari antara tanaman jagung. Hasil penyelidikan
sementara menunjukkan bahwa mayat itu memang benar adalah mayat dari Cassandra
Lowe, yang sudah menghilang sejak tanggal 12.
“Bagaimana Anda bisa
menemukan jenasah korban?” tanya inspektur polisi yang berwenang saat itu.
Trevor sedikit kesulitan untuk menjelaskan hal itu. Ia sudah mencoba bercerita
mengenai pengalamannya selama beberapa hari terakhir. Namun hal itu tentu saja
tidak masuk akal. Cassandra Lowe sudah meninggal sejak tanggal 12. Lalu, gadis
yang sellau ia lihat di perempatan itu…
“Sulit untuk dipercaya.”
Ucap Adam beberapa hari kemudian saat ia memutuskan untuk pulang setelah
mendengar kabar mengenai ayahnya yang menemukan tubuh Cassandra.
“Jadi siapa yang kau lihat
selama ini, Ayah?” tanya Tracy. “Mungkinkah…, aku sulit untuk mempercayai hal
ini tapi…, kau mungkin bertemu dengan arwahnya?”
“Banyak hal yang belum bisa
dijelaskan oleh manusia hingga saat ini.” Jawab Trevor. “Mengenai hantu, dan
hal-hal spiritual lainnya. Namun apa yang kulihat saat itu adalah kenyataan.
Mungkin hantu memang ada. Atau paling tidak, arwah yang belum tenang di alam
kubur. Cassandra seolah memintaku untuk menemukan jenasahnya, agar ia dapat
dikuburkan dengan tenang.”
“Mungkin seperti itu.” Sahut
Matilda.
Trevor tahu di kemudian hari
bahwa pembunuh dari Cassandra adalah kekasihnya sendiri, teman satu kelas di
Boulder University. Pada tanggal 12, Cassandra pergi minum-minum dengan
teman-temannya di suatu baru. Namun karena suatu alasan, Cassandra pergi dengan
kekasihnya.
Meski begitu, Trevor masih
tidak tahu apa motif di balik pembunuhan Cassandra. Apakah mungkin karena
kecemburuan atau masalah romantikan semacamnya? Ia rasa hal itu menjadi urusan
polisi, dan bukan miliknya.
Namun yang pasti, kini
Trevor dapat mengatakan bahwa hidup di pertanian tidaklah membosankan seperti
apa yang sering orang-orang bicarakan. Sehari setelah penemuan mayat itu,
banyak wartawan yang datang ke rumahmnya. Trevor tentu saja merasa senang. Ia
tidak eprnah sepopuler itu sebelumnya. Semua hal itu, berkat Cassandra. Dan
Trevor hanya bisa berdoa, agar Cassandra beristirahat dengan tenang di alam
sana.
****