Ucapan orang-orang tua dari generasi lama kadang ada
benarnya kadang juga tidak. Dengan majunya teknologi, ucapan-ucapan para orang
tua yang berbau spiritual dan tabu sudah tidak dapat dipercaya lagi. Apakah
hantu dan kutukan itu benar ada? Melihat kini manusia sudah dapat terbang ke
luar angkasa, sepertinya cerita-cerita mengerikan seperti itu hanya ada dalam
film dan video game. Ada banyak sekali alasan dan teori untuk tidak mempercayai
hal-hal spiritual seperti. Salah satunya, adalah Travis Dent.
Travis bukanlah seorang
pakar dalam dunia teknologi atau seseorang yang memiliki pemikiran dan teori
jauh mengenai ada atau tidaknya hal-hal yang berbau spiritual seperti itu. Dia
memiliki agama, dan percaya pada adanya Tuhan. Namun sebagian besar waktunya ia
gunakan untuk mencari fakta-fakta yang membuktikan bahwa hal-hal semacam itu
hanyalah omong kosong belaka. Jadi dapat dikatakan, ia tidak benar-benar orang
yang religius.
“Jangan berkata kotor di
tempat sakral!” ucap seseorang pada Travis. Namun Travis hanya tertawa, dan
mengangap hal itu sebuah lelucon. Ia sudah sering melanggar aturan-aturan
seperti itu, dan hingga detik ini ia masih hidup dan tidak mendapatkan kutukan.
Adakah alasan yang cukup rasional untuk mempercayai kutukan?
Travis tengah berkendara
sendirian ke arah barat Sherland, menembus pekatnya hutan Bokoye saat ia
mendapatkan telepon dari seseorang. Dengan satu tangan berpegangan pada kemudi,
ia mengangkat ponselnya.
“Ah! Walker. Ada apa?”
“Kudengar kau sedang menuju
Silvermount.” Ucap kawannya dari seberang sambungan telepon. “Kau berkendara
lagi?”
“Ya.” Jawab Travis. “Aku
kini sedang melewati Bokoye. Mungkin aku akan menginap di salah satu tempat di
kota berikutnya.”
“Kau dekat dengan
Blackwood?”
“Mungkin.” Jawab Travis.
“Mungkin aku akan melewatinya.”
“Hati-hati, Travis!”
Travis tertawa seketika. Ia
sudah hafal dengan beberapa orang yang sering mengatakan hal-hal buruk mengenai
Blackwood. Hal-hal misterius, supranatural, kutukan, dan segala hal yang sama
sekali tidak mendapatkan perhatian khusu dari Travis.
“Jangan katakan…”
“Rumornya benar.” Potong
temannya. “Jika kau tidak membunyikan klakson tiga kali saat melewati
persimpangan Blackwood, kau akan celaka.”
“Kau sudah kenal aku, ‘kan,
Walker?” ucap Travis. “Kau kira aku akan percaya dengan hal-hal seperti itu?”
“Terserah apa katammu,
Travis. Kau sudah kuperingatkan.”
Travis menutup sambungan
telepon dengan satu tawa keluar dari mulutnya. Ya. Lagi-lagi ia mendapatkan
bualan mengenai kutukan. Apakah hantu peduli dengan klakson mobil? Hal itu
membuat Travis terkikik geli. Hal-hal spiritual yang sama sekali tidak masuk
akal. Seperti ritual yang mengharuskan seseorang memberikan makanan pada arwah
tak terlihat. Jika dipikir-pikir, bagaimana cara hantu makan?
Travis menginjak lebih dalam
pedal gas mobilnya. Ia ingin cepat sampai di Silvermount sebelum matahari
terbit. Untuk itu, ia harus mengambil jalan pintas, melalui sebuah kota yang
sudah dianggap sakral dan penuh kutukan oleh sebagian besar warga Sherland,
Blackwood. Seangker apa sebenarnya kota itu? Travis ingin mengetahuinya.
Jarum jam di dashboard
mobilnya menunjukkan pukul sebelas malam. Keadan hutan yang gelap, ditambah
dengan turunnya hujan membuat pandangan Travis sedikit kabur. Tapi, pria dengan
tipe nekat seperti Travis tidak akan gentar dengan hal-hal seperti itu. Jalanan
yang licin mungkin akan sedikit menghambatnya. Namun ia sama sekali tidak
menurunkan kecepatannya.
Travis tengah mendengarkan
sebuah lagu di radio mobilnya ketika ia sadari ia telah sampai di tempat yang
disebutkan oleh temannya tadi. Sebuah persimpangan jalan yang mengarah ke
Blackwood. Apakah ia kini harus membunyikan klaksonnya tiga kali?
Travis tertawa. Alih-alih
melakukan apa yang seharusnya ia lakukan, ia malah memutar kenob volume
radionya hingga menggelegar, mengalahkan suara rintik hujan diluar mobilnya.
Dengan satu acungan ajri tengah ke arah perempatan itu, Travis menginjak
dalam-dalam pedal gasnya.
Travis menunggu seandainya
ada hal mistis yang akan terjadi. Ia sadar bahwa ia baru saja melanggar sebuah
aturan tabu. Apakah akan ada kepala setan yang muncul dari langit dan
menghadang jalannya? Konyol. Sama sekali tidak masuk akal.
“Ah! Blackwood.” Gumam
Travis senang saat ia melihat siluet kota yang berada di puncak bukit itu.
Travis mulai memelankan lajunya ketika ia melintasi sebuah papan nama yang
bertuliskan, ‘Selamat datang di Blackwood’. Apa yang harus ditakuti?
Travis menyalakan sebatang rokok
sembari melihat pemandangan kota Blackwood di malam hari. Kota kecil itu
terlihat begitu sepi. Tidak ada satupun kendaraan yang lewat semenjak Travis
memasuki kota itu. Ia sadari pula bahwa hujan telah berhenti, dan kini
tergantikan oleh adanya kabut tebal yang menghalangi pandangannya.
Travis merasa benar-benar
kesal dengan adanya asap tipis berwarna kelabu itu, karena kini ia tidak bisa
memacu kendaraannya. Sorot lampu mobilnya itu tidak dapat menembus pekatnya
kabut. Ia berkendara dengan buta. Hingga akhirnya, Travis terpaksa harus
menginjak pedal remnya dalam-dalam saat tiba-tiba saja muncul sesosok pria tua
tepat di depan mobilnya. Pria tua dengan punggung membungkuk itu menatap tajam
ke arah Travis selama beberapa detik, sebelum akhirnya bergerak pergi.
“Sialan!”
Travis menginjak pedal
gasnya lagi. Namun kini ia sadari bahwa ada yang tidak beres dengan mobilnya.
Ia merasakan getaran luar biasa pada roda kemudinya, dan ia tidak dapat
memasukkan gir dengan benar.
“Sialan. Kini apa lagi?”
Travis terpaksa menghentikan
mobilnya, mematikan mesin, dan menyalakannya lagi. Dan…, berhasil. Suara
mesinya telah kembali seperti semula. Perjalanan melewati kota Blackwood yang
sepi dan penuh dengan kabut seperti itu memang sedikit membuat Travis
merinding.
“Kota yang menyeramkan.”
Gumam Travis sambil terkikik geli. Ia membayangkan bahwa akan ada seekor
makhluk yang melompat keluar dari kegelapan ke arah mobilnya. Namun…, tidak.
Itu tidak mungkin terjadi.
Travis menyadari bahwa
perjalanannya menuju Silvermount masih cukup panjang. Dan adanya kabut yang
membuat pandangannya sedikit terbatas membuat berpikir bahwa mungkin ia perlu
beristirahat sejenak sambil menunggu kabut menghilang. Ia mengarahkan mobilnya
ke arah sebuah rumah makan yang entah kenapa masih buka selarut itu. Travis
yang merasa terlalu lapar tidak menggubris lagi pemikirannya.
Rumah makan kecil itu
terlihat kosong, dan hanya ditunggu oleh seorang pria gemuk yang berdiri diam
di belakang konter. Pria itu mengangguk ke arah Travis.
“Kau mau pesan sesuatu?”
tanya pria itu dengan suara berat. Kedua mata pria itu entah kenapa selalu
menatap curiga pada Travis.
“Ya.” Jawab Travis. Ia
memasan satu menu yang tersedia, lalu menunggu di salah satu meja. Pesanan
makanannya datang beberapa menit kemudian.
Pria gemuk itu yang
mengantar makanannya. Raut wajah aneh, tanpa senyum, membuat Travis mulai
berpikir yang tidak-tidak mengenai pria itu. Travis sempat bertanya kenapa ia
masih buka selarut itu, tapi ia tidak mendapatkan jawaban.
“Persetan denganmu.” Gumam
Travis sebelum akhirnya ia memutuskan untuk memakan hamburgernya. Travis
memandangi sekitarnya, yang terlihat cukup berantakan. Kata higienis sepertinya
tidak cocok disematkan pada rumah makan yang ia kunjungi itu. Ia melihat
bungkus-bungkus makanan berserakan di lantai, dan masih ada gelas-gelas kotor
di beberapa meja.
Travis mengunyah gigitan
keduanya saat ia merasakan ada yang aneh dengan apa yang ada di dalam mulutnya.
Sesuatu yang mengganjal, terasa licin, dan ketika ia gerakkan lidahnya, ia merasakan
sesuatu bergerak di dalam mulutnya. Ketika ia coba merogoh ke dalam mulutnya,
ia menarik sesuatu berwarna hitam mengkilat, yang seketika membuat Travis mual
dan ingin muntah.
Seekor kecoak, berada di
dalam hamburger yang ia makan. Travis menyemburkan makanan di dalam mulutnya ke
lantai, dengan jantung berdebar karena amarah yang mulai memuncak. Restoran
yang kotor, pelayan yang tidak ramah, dan seekor kecoak? Adakah hal lain yang
dapat membuat Travis lebih marah?
Travis bangkit dari kursinya
seketika, lalu bergerak ke bagian belakang dari rumah makan itu. Ia ingin memberikan
pelajaran, atau paling tidak teguran keras pada si pemilik rumah makan. Pria
gendut itu? Pria itu mungkin akan marah. Tapi Travis bukanlah tipe pria yang
akan pergi begitu saja.
“Hei!” teriak Travis. Pria
gendut itu sudah tidak ada di belakang konter. Travis bergerak masuk lebih
dalam, dan membuka sebuah pintu ganda yang mengantarkannya ke dapur. Tapi,
sebuah pemadangan yang cukup menjijikkan tersaji di depan kedua matanya.
Dapur itu memiliki
penerangan yang buruk. Dan apa yang membuat Travis lebih mual adalah adanya
seonggok daging diatas sebuah meja yang terlihat seperti tumpukan usus atau
bagian orgasn dalam dari hewan. Tak jauh dari meja itu, Travis melihat
kait-kait daging yang penuh dengan darah. Dan di bagian ujung, Travis melihat
sebuah kepala anjing yang terpotong, dan masih mengucurkan darah segar.
Travis memutar tubuhnya dan
berlari ke arah pintu depan. Persetan dengan tempat itu. Ia tidak akan membayar
atas apa yang baru saja ia makan, karena kenyataannya ia malah tidak makan
apapun. Apa yang sebenarnya baru saja ia lihat? Kegilaan sebuah restoran?
Travis hampir tidak memeprcayai bahwa tempat seperti ini ada.
Travis mengarah ke mobilnya
dan berniat untuk pergi dari tempat itu. Tapi, kejutan lain telah menunggunya.
Ia lihat keempat ban mobilnya itu kempes tanpa alasan yang jelas. Hal ini
semakin membuat Tarvis ingin mengutuk kota kecil itu.
Travis memutar kepalanya
saat ia mendengar suara benda diseret dari arah samping rumah makan itu. Ia
sempat melihat sekelebatan pria gendut dengan apron putih bergerak ke arah
belakang rumah makan. Pria gendut itu?
Travis bergerak cepat
menghampiri arah asal suara itu, dan memang ia menemukan pria gendut itu. Pria
itu terlihat tengah membungkuk ke arah sebuah tumpukan benda yang tidak dapat
terlihat jelas.
“Kau, keparat!” teriak
Travis. “Kau yang mengempeskan roda mobilku?”
Travis semakin marah saat
pria gendut itu sama sekali tak menjawabnya dan terus melakukan pekerjaannya.
Travis bergerak maju, dengan kepalan tangan siap ia luncurkan. Akan tetapi,
beberapa langkah kemudian ia harus menghentikan langkahnya saat pria gendut itu
memutar tubuhnya. Kedua mata pria gendut itu menatap tajam ke arahnya. Tapi
bukan itu yang membuat Travis terkejut. Sebuah benda, yang ada di tangan pria
gendut itulah yang membuat Travis berpikir bahwa ia kini tengah berada di
sebuah kota yang gila.
Sebuah kepala manusia dengan
wajah terkoyak terlihat menggantung di tangan kiri pria gendut itu. Di tangan
kanannya, terdapat sebuah pisau daging yang berlumuran darah.
“Tidak mungkin.”
Travis seketika memutar
tubuhnya dan berlari. Ia tidak peduli lagi dengan mobilnya dan terus
menggerakkan kakinya menembus tebalnya kabut, mencoba untuk menyelamatkan
dirinya dari si pria gendut itu tadi. Siapa dia sebenarnya? Pembunuh?
Travis tidak percaya bahwa
apa yang baru saja ia lihat adalah kenyataan. Tapi…, memang itu kenyataannya.
Hal tergila yang pernah ia lihat seumur hidupnya. Hamburger dari daging anjing,
atau mungkin…, manusia?
Travis menghentikan
langkahnya ketika dadanya terasa sesak dan seolah terbakar. Ia berhenti di
depan sebuah gedung besar, yang sepertinya adalah gedung balai kota. Di bagian
depan gedungnya, terdapat tulisan ‘BALAI KOTA LUCASVILLE’
“Apa?!”
Travis mencoba membaca ulang
tulisan yang ada di bagian depan gedung besar itu. Dan memang, ia membaca
tulisan ‘Balai Kota Lucasville’.
Lucasville? Travis ingat
bahwa ia pernah mendengar legenda mengenai kota itu dari salah satu temannya.
Lucasville adalah sebuah kota hantu yang penuh dengan hal-hal gaib, dan yang
peling terkenal dari Lucasville adalah bahwa kota itu sebenarnya tidak pernah
ada. Lucasville seperti sebuah kota yang berada di dimensi yang berbeda dengan
dimensi yang ditinggali manusia. Lalu, kenapa Tarvis bisa berada di tempat itu?
“Ini bukan Blackwood.” Gumam
Travis dengan nafas yang mulai memburu. Jantungnya berdegup kencang, saat ia
sadari bahwa ia kini berada di dunia yang benar-benar berbeda. Dunia hantu yang
sesungguhnya. Apa yang selama ini tidak ia percayai, kini hadir di depan kedua
matanya. Satu hal nyata yang tidak akan pernah Travis lupakan.
Tubuh Travis menegang
seketika saat ia sadari kenyataan pahit itu. Apa yang dapat ia lakukan di dunia
yang aneh dan penuh kegilaan itu? Suara bergemerisik di pepohonan dan
semak-semak kini semakin membuat Travis bergetar. Akankah ada sesuatu yang akan
melompat keluar dari semak-semak dan menerkamnya?
Keadaan yang dingin menusuk
tulang baru Travis rasakan beberapa detik kemudian. Ia rasakan bahwa kabut semakin
tebal dan membuatnya tidak dapat melihat dengan jelas. Kedua matanya kini buta,
dan telinganya terasa semakin peka. Ia dengar langkah-langkah itu, suara
bergemerisik di semak-semak, dan lengkingan suara anjing di kejauhan. Travis
sadari bahwa ia tidak bisa hanya berdiam diri. Cepat atau lambat
keanehan-keanehan dari kota ini akan mendatanginya. Ia harus lari.
Travis tidak tahu kemana ia
harus bergerak. Yang ia sadari kemudian, bahwa ia telah bergerak jauh memasuki
pemukiman di Lucasville. Kabut tebal menghalangi pandangannya. Dan ia rasakan
bahaya mulai bergerak mendekat.
Ya. Seketika, tanpa diduga,
sesuatu melompat keluar dari tepi jalan yang gelap dan hampir saja menyambar
tubuhnya. Travis tidak tahu apa yang baru saja menyerangnya. Tapi ia yakin bahwa
apapun itu, pasti bisa membunuhnya. Anjing? Ya. Ia rasa yang baru saja melompat
keluar adalah seekor anjing. Ia masih dapat mendengar desahan dari hewan itu,
yang kini bergerak cepat di belakangnya.
Travis berlari sekuat tenaga
menyusuri jalanan yang gelap, hingga akhirnya ia tiba di sebuah persimpangan
yang hanya diterangi oleh sebuah lampu jalan yang terlihat redup. Mungkin
karena tebalnya kabut, cahaya dari lampu itu tidak benar-benar dapat menerangi
jalanan. Tapi paling tidak Travis dapat merasa lebih tenang. Ia berdiri di
bawah lampu itu untuk beberapa detik, sambil mengawasi sekitarnya. Tidak.
Anjing itu sudah pergi.
Travis merogoh saku
celananya dan mengeluarkan ponselnya. Tidak. Tidak ada jaringan sama sekali di
kota yang hanya hadir dalam khayalan ini. Lalu bagaimana cara ia bisa keluar
dari tempat terkutuk itu?
Travis bergetar seketika
saat ia lihat siluet-siluet besar mulai berdatangan menghampiri posisinya. Ia
rasa, itu adalah sekumplan orang yang bergerak ke arahnya. Apa yang akan
terjadi? Travis menunggu dalam kengerian. Ia persipakan kepalan tangannya,
bersiap untuk melawan apapun yang datang ke arahnya. Tapi…
Mustahil! Yang datang ke
arahnya adalah sekumpulan tubuh-tubuh manusia yang tercabik-cabik. Sebagian
dari tubuh itu telah kehilangan beberapa bagian tubuh mereka. Satu makhluk yang
datang ke arahnya menyeringai, dengan tubuh penuh luka bakar. Satu mata dari
makhluk itu telah hilang, menyisakan sebuah lubang hitam menganga.
Travis seketika berlari
menghindari sekelompok mayat hidup itu, dan bergerak lebih dalam ke dalam
pekatnya kabut. Travis sudah benar-benar kehilangan akal sehatnya. Ia tidak
tahu apa yang harus ia lakukan, saat tubuhnya mulai terasa begitu lelah karena
terus berlari. Namun makhluk-makhluk itu terus mengejarnya, menggapai-gapai
ingin melukai tubuh Travis.
“TIDAK!!!” Travis berteriak
dengan sekuat tenang hingga akhirnya ia benar-benar kehilangan kekuatannya. Ia
pasrah, terbaring di atas aspal dingin. Makhluk-makhluk itu mulai mendekat, dan
semakin dekat. Travis tidak peduli lagi dengan apa yang akan terjadi pada
dirinya. Jika ia harus mati, ia sudah siap. Tapi…, kerumunan mayat hidup itu
berhenti seketika, tanpa melakukan apapun. Sedetik kemudian, dari arah tengah
kerumunan, munculah pria gendut pemilik restoran itu, yang datang dengan pisau
daging di tangan. Pria itu menyeringai, lalu dengan satu aksi, melemparkan
pisau itu ke arah kepala Travis. Travis tergeletak seketika saat tengkoraknya
hancur oleh pisau daging itu.
**
Travis tersentak seketika
saat ia sadari tajamnya pisau daging itu membelah kepalanya. Namun…
Travis memandang dengan
kebingungan saat ia sadari bahwa ia telah berada tempat yang berbeda. Kedua
matanya terbutakan oleh cerahnya sinar matahari. Ia memandang ke sekitarnya,
dan ia dapati ia telah terbaring di atas sebuah bangku taman, tepat di depan
sebuah gedung besar, yang merupakan sebuah balai kota. Travis kembali membaca
tulisan besar di gedung tersebut, yang kini bertuliskan ‘Balai Kota Blackwood.”
“Blackwood?” gumamnya dengan
penuh tanda tanya. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa ia kini bisa kembali ke
dunianya?
Bayangan mengenai pisau
daging yang melayang tepat ke arah wajahnya itu masih menghantui Travis. Ia
seolah masih dapat merasakan tajamnya pisau dagng itu, perlahan membelah daging
di kepalanya. Namun kini…, semuanya hilang.
“Kau tidak apa, nak?”
Seorang pria tua bertubuh
bungkuk, ia ia lihat semalam di tengah kabut, kini hadir lagi di depan kedua
matanya. Pandangan mata pria tua itu tajam memandang Travis, namun tidak ada
niat jahat dibalik ketajaman sorot mata itu. Pria itu tersenyum beberapa detik
kemudian.
“Kau…” ucap Travis
kebungungan. “Apa yang…”
“Kau pingsan.” Ucap pria tua
itu. “Kau hampir menabrakku semalam, dan tiba-tiba saja kau langsung jatuh tak
sadarkan diri di atas kemudi. Orang-orang berdatangan, dan membantumu keluar
dari mobil. Dan meninggalkanmu diatas bangku ini semalaman. Seharusnya mereka
membawamu ke rumah sakit.”
“Mobilku?”
“Maksudmu mobil itu?”
Travis melihat mobilnya
masih dalam keadaan utuh di tepi jalan. Keempat rodanya masih dalam keadaan
utuh, dan tidak kempes seperti yang ia lihat semalam. Lalu apa yang sebenarnya
terjadi? Dia hanya bermimpi?
“Kau sebaiknya segera pergi,
anak muda.” Ucap pria tua itu sembari memutar tubuhnya, dan bergerak pergi.
“Tunggu!” teriak Travis.
“Kau tahu apa yang terjadi denganku?”
Pria tua itu memutar
kepalanya, lalu memberikan satu seringai aneh pada Travis. Perlahan ia ucapkan,
“Kau beruntung masih bisa
keluar dari Lucasville. Jika tidak, mungkin kini kau sudah ada di neraka. Bersama
mereka.”
****